“Jika pemberitahuan sudah diterima dan lengkap, Polri wajib memberikan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP). Polisi tidak berhak melarang atau menolak aksi berdasarkan setuju atau tidak terhadap isi tuntutan,” jelasnya.
Bahkan, lanjut Thomas, kegiatan mimbar bebas di lingkungan kampus tidak memerlukan pemberitahuan kepada kepolisian karena tergolong kegiatan akademik yang dilindungi otonomi kampus. Ia menilai tindakan represif terhadap mahasiswa sebagai ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi dan pengkhianatan terhadap hak asasi manusia.
“Kebebasan berpendapat secara damai adalah hak asasi yang wajib dihormati, dilindungi, dan difasilitasi oleh negara. Seperti kata Voltaire, ‘Saya tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tapi saya akan membela sampai mati hak Anda untuk mengatakannya,” ujarnya mengutip filsuf asal Prancis.
Thomas menegaskan bahwa tujuan aksi mahasiswa bukan untuk melawan institusi mana pun, termasuk kepolisian, melainkan untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah pusat melalui lembaga politik daerah seperti DPRP dan MRP. Karena itu, ia meminta aparat kepolisian agar mengawal setiap aksi damai dengan pendekatan humanis.
“Jika ada peserta aksi yang melanggar hukum, proses secara hukum tanpa harus membubarkan keseluruhan aksi. Polisi harus menjadi mitra rakyat, bukan monster yang menakutkan masyarakat,” katanya.
Ia pun mendorong Kapolri dan seluruh Kapolda di Tanah Papua, termasuk Kapolda Papua, untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tindakan represif aparat di lapangan.
“Negara wajib memenuhi dan melindungi hak warga dalam menyampaikan pendapat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E UUD 1945, UU No. 9 Tahun 1998, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta Pasal 19 Deklarasi Universal HAM dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik,” tutup Thomas. (*/tri)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos