Saturday, April 27, 2024
25.7 C
Jayapura

Kami Memikirkan Nasib Saudara-Saudara Kami di Ukraina

Dari Jerman, Mereka Tak Lelah Menentang Invasi Rusia ke Ukraina

Sejak hari pertama serangan sampai kemarin, gelombang protes di depan Kedutaan Rusia di Berlin tak surut. Bahkan, bantuan 1.000 senjata antitank dan 500 rudal stinger dari Jerman pun mereka anggap belum cukup.

Dinarsa Kurniawan, Berlin

’’KAMI meminta perang dihentikan. Kami mengutuk aksi militer yang dilancarkan Putin dan pasukannya yang kejam,’’ seru orator dengan pengeras suara itu dalam bahasa Jerman. Dia berkumpul bersama ribuan demonstran lainnya di depan gedung Kedutaan Besar Rusia di Berlin pada Sabtu (26/2) malam untuk menyatukan suara mengecam aksi Rusia menyerbu Ukraina.

Teriakan lantangnya sesekali ditimpali para demonstran dengan teriakan dan sumpah serapah kepada Putin. Berbagai spanduk yang isinya memprotes Rusia dan bendera biru-kuning Ukraina dibawa para demonstran tersebut. Mereka tak menghiraukan hawa musim dingin pada Februari yang biasanya paling dingin di ibu kota Jerman tersebut. Saat itu suhu drop sampai 0 derajat Celsius.

Hari itu, dua hari setelah serangan pertama Rusia ke Ukraina (24/2), sejak siang para demonstran berkumpul di depan kawasan Unter den Linden, Berlin. Awalnya, mereka menggelar aksi di depan tetenger Kota Berlin, Brandenburger Tor (Gerbang Brandenburg). Kemudian, mereka bergeser di depan gedung Kedutaan Besar Rusia yang letaknya hanya sekitar 500 meter dari gerbang yang selesai dibangun pada 1791 itu.

Puluhan polizei yang berjaga memisahkan antara para demonstran dan gedung Kedutaan Rusia yang bersebelahan dengan kantor marketing maskapai Aeroflot (maskapai penerbangan milik pemerintah Rusia). Sedangkan di puncak gedung kedutaan, bendera putih-biru-merah Rusia tampak masih berkibar dengan gagah. Seolah menatap angkuh para demonstran yang menyandang bendera biru-kuning.

Baca Juga :  Setelah Bebas Diharapkan Mantan Napi Mampu  Mandiri

Brandenburger Tor sempat memancing perhatian dunia pada hari pertama Rusia menyerbu Ukraina. Pada malam pertama penyerangan Ukraina oleh Rusia, sekujur dinding dan pilar Brandenburger Tor dihiasi video mapping bergambar bendera Ukraina untuk menunjukkan dukungan Jerman kepada negeri yang beribu kota di Kiev tersebut.

Salah seorang demonstran itu adalah Oleksandra Zayets. Perempuan yang datang bersama sejumlah temannya yang sama-sama berdarah Ukraina itu tampak menyelimuti tubuhnya dengan bendera biru-merah. ’’Kami merasa marah dan sedih. Kami memikirkan nasib saudara-saudara sebangsa kami di Ukraina,’’ ungkap Zayets yang mengaku kakek-neneknya berasal dari Lviv, Ukraina.

Perempuan berambut blonde itu mengaku lahir dan besar di Jerman, tapi masih merasa sangat terikat dengan tanah leluhurnya tersebut. Karena itulah, dia bertekad terus turun ke jalan sampai negeri pecahan Uni Soviet tersebut bebas dari cengkeraman agresi Negeri Beruang Merah.

Sama seperti para pengunjuk rasa lainnya yang datang saat itu, dia juga menuntut dunia tidak memalingkan muka dari krisis yang dihadapi Ukraina akibat serangan Rusia. Dia meminta NATO dan PBB memberikan solusi nyata atas masalah tersebut.

Tuntutan lain juga dialamatkan kepada Uni Eropa dan negara-negara Barat lainnya agar melakukan aksi konkret menyikapi kondisi di Ukraina yang kian buruk setiap menit. ’’Sanksi saja dari negara-negara Barat tidak cukup untuk menghentikan aksi brutal Hitler Putin,’’ teriak orator.

Salah satu sanksi paling mutakhir yang diterima Rusia adalah dihapus dari Society of Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). Sistem itu menghubungkan 9.000 lembaga sekuritas dan nasabah korporasi di 209 negara.

Baca Juga :  Kerinduan ke Tanah Suci yang Dinanti-nanti

Menjadi salah satu negara paling berpengaruh di Uni Eropa membuat dunia dan warga Ukraina menaruh harapan besar juga kepada Jerman. Pada Sabtu, pemerintahan Jerman yang dipimpin Kanselir Jerman Olaf Schlotz telah mengumumkan bahwa negaranya akan mengirimkan senjata dan perlengkapan lainnya kepada militer Ukraina. Bantuan itu berupa 1.000 senjata antitank dan 500 rudal stinger. Namun, para demonstran menganggap itu saja belum cukup.

Pada sidang istimewa Bundestag kemarin (27/2), penerus Angela Merkel itu mengutuk keras invasi Rusia ke Ukraina. Dia menegaskan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin bertanggung jawab penuh atas serangan tersebut. ’’Itu tidak manusiawi. Ini bertentangan dengan hukum internasional,’’ katanya seperti dikutip DW.

Sementara itu, sampai hari ketiga invasi Rusia ke Ukraina, belum ada tanda-tanda untuk mereda. Kendati sejumlah sanksi sudah dijatuhkan kepada Rusia, itu tidak mengendurkan niat mesin-mesin perang Putin untuk terus melaju menggilas negara tetangganya tersebut.

Di sisi lain, para demonstran di Berlin juga belum menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti. Kemarin (27/2) demonstrasi besar-besaran kembali terjadi di tengah kota Berlin. Sekitar 20.000 orang melakukan long march di Distrik Mitte, yang tentu saja kembali melintasi gedung Kedutaan Besar Rusia dan Brandenburger Tor.

Berharap suara mereka didengar dunia karena berharap suara mereka didengar Putin, tampaknya, sia-sia. Buktinya, dia tak mendengar suara penduduknya sendiri yang berdemonstrasi di dalam negeri untuk meminta perang dihentikan. (*/c19/ttg)

Dari Jerman, Mereka Tak Lelah Menentang Invasi Rusia ke Ukraina

Sejak hari pertama serangan sampai kemarin, gelombang protes di depan Kedutaan Rusia di Berlin tak surut. Bahkan, bantuan 1.000 senjata antitank dan 500 rudal stinger dari Jerman pun mereka anggap belum cukup.

Dinarsa Kurniawan, Berlin

’’KAMI meminta perang dihentikan. Kami mengutuk aksi militer yang dilancarkan Putin dan pasukannya yang kejam,’’ seru orator dengan pengeras suara itu dalam bahasa Jerman. Dia berkumpul bersama ribuan demonstran lainnya di depan gedung Kedutaan Besar Rusia di Berlin pada Sabtu (26/2) malam untuk menyatukan suara mengecam aksi Rusia menyerbu Ukraina.

Teriakan lantangnya sesekali ditimpali para demonstran dengan teriakan dan sumpah serapah kepada Putin. Berbagai spanduk yang isinya memprotes Rusia dan bendera biru-kuning Ukraina dibawa para demonstran tersebut. Mereka tak menghiraukan hawa musim dingin pada Februari yang biasanya paling dingin di ibu kota Jerman tersebut. Saat itu suhu drop sampai 0 derajat Celsius.

Hari itu, dua hari setelah serangan pertama Rusia ke Ukraina (24/2), sejak siang para demonstran berkumpul di depan kawasan Unter den Linden, Berlin. Awalnya, mereka menggelar aksi di depan tetenger Kota Berlin, Brandenburger Tor (Gerbang Brandenburg). Kemudian, mereka bergeser di depan gedung Kedutaan Besar Rusia yang letaknya hanya sekitar 500 meter dari gerbang yang selesai dibangun pada 1791 itu.

Puluhan polizei yang berjaga memisahkan antara para demonstran dan gedung Kedutaan Rusia yang bersebelahan dengan kantor marketing maskapai Aeroflot (maskapai penerbangan milik pemerintah Rusia). Sedangkan di puncak gedung kedutaan, bendera putih-biru-merah Rusia tampak masih berkibar dengan gagah. Seolah menatap angkuh para demonstran yang menyandang bendera biru-kuning.

Baca Juga :  Sebagai Alumni, Perjalanan Karir BTM Tidak Terlepas Dukungan Muhammadiyah

Brandenburger Tor sempat memancing perhatian dunia pada hari pertama Rusia menyerbu Ukraina. Pada malam pertama penyerangan Ukraina oleh Rusia, sekujur dinding dan pilar Brandenburger Tor dihiasi video mapping bergambar bendera Ukraina untuk menunjukkan dukungan Jerman kepada negeri yang beribu kota di Kiev tersebut.

Salah seorang demonstran itu adalah Oleksandra Zayets. Perempuan yang datang bersama sejumlah temannya yang sama-sama berdarah Ukraina itu tampak menyelimuti tubuhnya dengan bendera biru-merah. ’’Kami merasa marah dan sedih. Kami memikirkan nasib saudara-saudara sebangsa kami di Ukraina,’’ ungkap Zayets yang mengaku kakek-neneknya berasal dari Lviv, Ukraina.

Perempuan berambut blonde itu mengaku lahir dan besar di Jerman, tapi masih merasa sangat terikat dengan tanah leluhurnya tersebut. Karena itulah, dia bertekad terus turun ke jalan sampai negeri pecahan Uni Soviet tersebut bebas dari cengkeraman agresi Negeri Beruang Merah.

Sama seperti para pengunjuk rasa lainnya yang datang saat itu, dia juga menuntut dunia tidak memalingkan muka dari krisis yang dihadapi Ukraina akibat serangan Rusia. Dia meminta NATO dan PBB memberikan solusi nyata atas masalah tersebut.

Tuntutan lain juga dialamatkan kepada Uni Eropa dan negara-negara Barat lainnya agar melakukan aksi konkret menyikapi kondisi di Ukraina yang kian buruk setiap menit. ’’Sanksi saja dari negara-negara Barat tidak cukup untuk menghentikan aksi brutal Hitler Putin,’’ teriak orator.

Salah satu sanksi paling mutakhir yang diterima Rusia adalah dihapus dari Society of Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). Sistem itu menghubungkan 9.000 lembaga sekuritas dan nasabah korporasi di 209 negara.

Baca Juga :  Jadi Uskup Bukan Suatu Kebetulan Tetapi Bukti Atas Mujizat Tuhan

Menjadi salah satu negara paling berpengaruh di Uni Eropa membuat dunia dan warga Ukraina menaruh harapan besar juga kepada Jerman. Pada Sabtu, pemerintahan Jerman yang dipimpin Kanselir Jerman Olaf Schlotz telah mengumumkan bahwa negaranya akan mengirimkan senjata dan perlengkapan lainnya kepada militer Ukraina. Bantuan itu berupa 1.000 senjata antitank dan 500 rudal stinger. Namun, para demonstran menganggap itu saja belum cukup.

Pada sidang istimewa Bundestag kemarin (27/2), penerus Angela Merkel itu mengutuk keras invasi Rusia ke Ukraina. Dia menegaskan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin bertanggung jawab penuh atas serangan tersebut. ’’Itu tidak manusiawi. Ini bertentangan dengan hukum internasional,’’ katanya seperti dikutip DW.

Sementara itu, sampai hari ketiga invasi Rusia ke Ukraina, belum ada tanda-tanda untuk mereda. Kendati sejumlah sanksi sudah dijatuhkan kepada Rusia, itu tidak mengendurkan niat mesin-mesin perang Putin untuk terus melaju menggilas negara tetangganya tersebut.

Di sisi lain, para demonstran di Berlin juga belum menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti. Kemarin (27/2) demonstrasi besar-besaran kembali terjadi di tengah kota Berlin. Sekitar 20.000 orang melakukan long march di Distrik Mitte, yang tentu saja kembali melintasi gedung Kedutaan Besar Rusia dan Brandenburger Tor.

Berharap suara mereka didengar dunia karena berharap suara mereka didengar Putin, tampaknya, sia-sia. Buktinya, dia tak mendengar suara penduduknya sendiri yang berdemonstrasi di dalam negeri untuk meminta perang dihentikan. (*/c19/ttg)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya