Lalu Kerap Menyalahkan Pemerhati HAM
#Jika Anggota TNI-Polri yang Jadi Korban Akibat Ditembak oleh OPM itu Bukan Pelanggaran HAM, itu Dikategorikan sebagai Tindakan Kriminal Pelanggaran Hukum
JAYAPURA – Komnas HAM dan Pembela HAM turut disorot setiap kali peristiwa penembakan yang terjadi di tanah Papua. Pasalnya, mereka dianggap diam ketika korban penembakan adalah TNI-Polri. Namun bersuara ketika korban penembakan adalah sipil atau KKB.
Bahkan di laman Instagram Cenderawasihposreal saat postingan anggota TNI-Polri yang tewas tertembak saat mengamankan salat tarawih, banyak warganet yang menanyakan suara dari pembela HAM.
“HAM, kamu dimana,” tulis Irfakpapua. “HAM tutup mata,” timpal komentar @ahmad.a1717.
“Trada yang mo kas suara HAM kalau anggota yang dapat tembak. Nanti kalau KKB baru teriak HAM sana sini. Biasaa,” sambung @astridzettira dalam komentarnya.
Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (Pembela Ham) Theo Hesegem menyatakan sebagian orang kurang paham dengan definisi HAM. Menurutnya, definisi HAM jika masyarakat sipil menjadi korban atau meninggal yang diakibatkan oleh aparat TNI-Polri.
Sering kali masyarakat mempertanyakan pembela HAM tidak bersuara ketika TNI-Polri menjadi korban dari OPM. Namun yang pasti kata Theo, hak hidup mereka terlanggar.
“Jika anggota TNI-Polri menjadi korban akibat ditembak oleh OPM itu bukan suatu pelanggaran HAM, itu dikategorikan sebagai tindakan kriminal pelanggaran hukum. Sebab, OPM pegang senjata bukan diberikan oleh sebuah negara resmi atau negara yang diakui oleh PBB. Sementara TNI-Polri memegang senjata diberikan langsung oleh negara,” terang Theo saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Rabu (29/3).
Itulah sebabnya kata Theo, Presiden dan Menkopolhukam kerap menyampaikan operasi di Papua adalah operasi penegakan hukum. Dimana TNI-Polri memegang senjata diberikan mandat oleh negara untuk melawan OPM, atau orang orang yang melawan negara.
“Jika TNI-Polri yang dapat tembak oleh OPM itu arena mereka, yang jelas TNI-Polri mencari OPM untuk dilakukan penegakan hukum,” ucapnya.
Sehingga itu kata Theo, OPM yang merupakan pelaku penembakan dan kejahatan di Papua mestinya ditangkap lalu diproses. Mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. Terlebih, senjata yang digunakan OPM merupakan senjata rampasan milik TNI-Polri.
“OPM juga merupakan warga negara Indonesia, mereka masih berada dalam bingkai NKRI hanya saja memperjuangkan untuk ingin bebas. Tugas TNI-Polri untuk menangkap dan memproses mereka, sehingga ada pertanggungjawaban pelaku di depan hukum,” terangnya.
Menurut Theo, pemerintah Indonesia tidak mampu mengatasi konflik di Papua. Tidak pernah mencari tahu peluru dan senjata masuk darimana. Lebih mirisnya kata Theo, Oknum TNI-Polri juga turut terlibat dalam penjualan senjata dan amunisi kepada OPM.
“Jadi anggap saja jika ada anggota oknum TNI-Polri yang menjual senjata dan di lain sisi ada anggota yang ditembak oleh OPM, istilahnya teman jual teman,” ungkapnya.
Tak ingin pembela HAM semakin dipojokkan, Theo juga menyebut bahwa OPM dengan sengaja dipelihara di Papua agar konflik terus terjadi. Dengan begitu, proyek mengalir ke Papua untuk biaya pengamanan.
“Bukan rahasia umum lagi jika TNI-Polri perang dengan OPM di Papua merupakan proyek, sementara kita pembela HAM kerap disalahkan. Padahal kita tidak pernah dapat uang, hanya membicarakan kemanusiaan dan nyawa manusia tidak boleh hilang dirampas oleh siapapun di tanah ini,” tegasnya.
Sebagai pemerhati HAM, Theo mengaku prihatin atas kondisi yang terjadi di Papua. Konflik dan kontak senjata yang tidak berkesudahan dengan korban adalah masyarakat sipil, TNI-Polri maupun OPM. Dimana mereka adalah sama sama warga negara Indonesia
“Hingga kini, Presiden menganggap kejadian di Papua merupakan hal yang biasa. Kerap menganggap Papua aman, padahal banyak orang meninggal akibat ditembak. Anggota TNI-Polri yang menjadi korban memiliki keluarga, anak dan istri. Mereka mengorbankan dirinya bertaruh demi mempertahankan NKRI namun pemerintah seakan menganngap semua ini biasa saja,” bebernya.
Menurut Theo, pemerintah harus melihat secara jeli situasi di Papua. Sampai kapan anggota TNI-Polri dan sipil terus menjadi korban penembakan. Diperlukan dialog untuk menyudahi konflik Papua.
“Kalau memang pemerintah merasa Papua menjadi bagian dari Indonesia, kenapa takut untuk melakukan dialog. Pemerintah harus membuka diri agar konflik segera berakhir, sehingga tak ada lagi cerita orang orang yang tak berdosa mati sia sia di tanah ini,” tegasnya.
Theo menilai Presiden boleh berhasil dalam hal apapun selama kepemimpinannya, namun tidak berhasil menyudahi konflik bersenjata di tanah Papua. Ia dianggap sebagai pemimpin yang gagal.
“Belasan kali berkunjung ke Papua, namun Presiden tidak punya solusi untuk Papua. Ini artinya, presiden tidak mampu mengatasi konflik di bumi cenderawasih, masyarakat sipil dan TNI-Polri terus berjatuhan dan konflik tidak pernah usai,” pungkasnya. (fia/wen)