Sunday, April 28, 2024
30.7 C
Jayapura

Dibaca Jutaan Kali, Diterjemahkan dalam Enam Bahasa

Dari Titik Terendah, Komikus Maria Rengganis Melambung Bersama The Witch’s Heart

Pemutusan kontrak oleh publisher asal Korsel sempat membuat Maria Rengganis berbulan-bulan tak menelurkan karya. The Witch’s Heart yang mengangkat namanya tak semata bertutur tentang kekuatan sihir, tapi ada bumbu asmara dan komedi pula.

ILHAM WANCOKO, Banyumas

SEBELUM karyanya yang bertutur tentang penyihir dibaca jutaan kali, sebelum karya yang sama diterjemahkan dalam enam bahasa, Maria Rengganis pernah berada di titik terendah. Saat kabar buruk datang dari Korea Selatan (Korsel).

”Diputus kontrak begitu saja, seakan-akan membunuh karakter komik saya,” ujar komikus yang bernama pena Blacklapiz tersebut ketika dihubungi Jawa Pos dua pekan lalu (12/9).

Kendati ada klausul dalam kontrak yang melindunginya sebagai komikus, jarak yang begitu jauh dengan basis publisher-nya di Korsel membuat Maria tak bisa berbuat banyak. ”Komik The Blue Bird yang dikontrak itu akhirnya tidak terbit di mana pun,” ungkap perempuan 24 tahun tersebut.

Padahal, untuk membuat The Blue Bird, pengorbanan Maria sungguh besar. Komik yang lantas ditayangkan di kanal Webtoon pada 2017 itu akhirnya dilirik publisher asal Korsel tadi setahun berselang. ”Mereka minta untuk kontrak,” katanya.

Mereka tertarik karena karya Maria secara kualitas dinilai setara dengan karya para komikus Negeri Ginseng. ”Persaingannya jelas dengan komikus asal Korea karena publisher-nya kan dari sana,” jelasnya.

Ketika kemudian terjadi pemutusan kontrak, pemicunya pun bukan persoalan kualitas. Penerbit asal Korsel itu berganti kepemilikan alias diambil alih. ”Mereka lalu hanya berfokus pada komik Korea. Otomatis, komikus Indonesia out,” ujarnya.

Pemutusan kontrak itu terjadi pada awal 2019. Baru pada pertengahan tahun yang sama, alumnus Universitas Atma Jaya Yogyakarta itu mulai menguasai keadaan. Kekecewaan dan kesedihan perlahan justru dia balik menjadi booster semangat untuk menghasilkan karya yang melampaui komikus Korsel. Setidaknya sama.

Baca Juga :  Jeda Kemanusiaan Harus Muncul dari Pihak yang Terlibat Dalam Konflik

”The Witch’s Heart. Itulah yang saya buat,” tuturnya. The Witch’s Heart atau Hati si Penyihir ini menceritakan seorang penyihir dari peradaban Eropa. Namun, ceritanya tak hanya berkutat soal kekuatan sihir. Ada pula bumbu asmara dan komedi yang mewarnai.

Dari segi cerita dan kualitas gambar, banyak orang yang akan mengira komik itu berasal dari Korsel. ”Memang kiblatnya Korea. Tapi, di episode awal, memang gambarnya agak kasar,” jelasnya.

Dalam menyusun cerita, Maria tak main-main. Risetnya dilakukan selama berbulan-bulan. Mulai membangun plot, latar belakang cerita, penamaan karakter, hingga belajar kepangkatan ala Eropa. ”Saya juga melakukan riset pasar,” ungkapnya.

Setelah menyelesaikan semua plot cerita dari awal hingga akhir, barulah Maria membuat episode demi episode komik tersebut. Pada fase awal diunggah, komik itu belum diminati di situs komik populer, Webtoon. Namun, lama-kelamaan karya Maria itu meledak. Sampai waktu wawancara, komik tersebut telah dibaca 3,5 juta kali. Hampir setiap minggu The Witch’s Heart selalu nangkring sebagai salah satu komik paling favorit.

Akhirnya, karyanya diterjemahkan dalam enam bahasa. Yaitu, Rusia, Inggris, Portugis, Filipina, Thailand, dan Arab. Semua pihak yang menerjemahkan komik Maria telah mendapatkan izin. ”Kan saya sudah daftar sebagai hak atas kekayaan intelektual (Haki). Lalu, saya akhirnya ditawari kontrak menjadi official di Webtoon,” ujarnya.

Official merupakan status komikus di Webtoon yang mendapatkan kontrak dengan nilai yang cukup besar. Namun, mereka wajib update secara rutin. ”Saya menolak untuk masuk official. Saya lebih suka di canvas, komikus yang dibayar per view,” jelas Maria yang menghabiskan masa SMP sampai SMA di Purwokerto, Jawa Tengah.

Baca Juga :  Protes Berlanjut, Rekapitulasi Pemilu Kota Jayapura Molor

Apalagi, Maria mengerjakan komik The Witch’s Heart secara solo. Tak ada asisten yang membantu dari episode 1 hingga episode 26. ”Baru dua minggu ini saya memiliki asisten, sebelumnya tidak ada,” ujarnya.

Keberhasilan dan daya tahan Maria ini ternyata terasah sejak kecil. Dia menceritakan, sejak sekolah dasar, dirinya memang gemar menggambar, khususnya karakter-karakter manga. ”Tapi, begitu sampai SMP, saya mulai merasa tidak berbakat,” ucap perempuan kelahiran 13 Mei 1997 tersebut.

Sebab, saat SMP itulah begitu banyak temannya yang punya kemampuan menggambar jauh lebih baik. Maria saat itu memutuskan untuk gantung pensil dan pena. Barulah pada usia 17 tahun, Maria kembali berminat menekuni komik. Kemampuannya jelas telah tertinggal jauh. Saat semua komikus beralih ke digital, Maria masih belajar menggambar secara konvensional.

Dia mengungkapkan, dirinya tumbuh ketika Instagram dan Facebook sudah menjadi ”makanan” sehari-hari. Jagat media sosial itu pula yang mungkin menjadi pemicunya. Saat berkuliah di jurusan akuntansi pun, Maria masih belajar menggambar. Namun, peralatan menggambar digital yang mahal menjadi salah satu ganjalannya untuk belajar.

Setelah Maria menabung dan mampu membeli peralatan menggambar digital, masih ada tantangan lain yang menghadang: beradaptasi dengan peralatan menggambar. Maria membutuhkan waktu lebih dari tiga bulan. ”Bahkan, saya merasa kok tidak bisa-bisa,” katanya, lantas tertawa.

Ada momen ketika Maria merasa nyesek. Salah satunya, saat dia membikin latar belakang gambar, banyak komikus yang membuatnya dengan detail dan indah. ”Saya buat sendiri kok beda kualitasnya. Eh, setelah berbulan-bulan, baru saya tahu ada aplikasi yang sangat memudahkan bernama 3D Background,” terangnya.

Dengan segala yang telah dicapainya sekarang, Maria mengaku masih harus terus belajar banyak. ”Saya tidak hebat. Di atas langit, masih ada langit,” tandasnya. (*/c14/ttg/JPG)

Dari Titik Terendah, Komikus Maria Rengganis Melambung Bersama The Witch’s Heart

Pemutusan kontrak oleh publisher asal Korsel sempat membuat Maria Rengganis berbulan-bulan tak menelurkan karya. The Witch’s Heart yang mengangkat namanya tak semata bertutur tentang kekuatan sihir, tapi ada bumbu asmara dan komedi pula.

ILHAM WANCOKO, Banyumas

SEBELUM karyanya yang bertutur tentang penyihir dibaca jutaan kali, sebelum karya yang sama diterjemahkan dalam enam bahasa, Maria Rengganis pernah berada di titik terendah. Saat kabar buruk datang dari Korea Selatan (Korsel).

”Diputus kontrak begitu saja, seakan-akan membunuh karakter komik saya,” ujar komikus yang bernama pena Blacklapiz tersebut ketika dihubungi Jawa Pos dua pekan lalu (12/9).

Kendati ada klausul dalam kontrak yang melindunginya sebagai komikus, jarak yang begitu jauh dengan basis publisher-nya di Korsel membuat Maria tak bisa berbuat banyak. ”Komik The Blue Bird yang dikontrak itu akhirnya tidak terbit di mana pun,” ungkap perempuan 24 tahun tersebut.

Padahal, untuk membuat The Blue Bird, pengorbanan Maria sungguh besar. Komik yang lantas ditayangkan di kanal Webtoon pada 2017 itu akhirnya dilirik publisher asal Korsel tadi setahun berselang. ”Mereka minta untuk kontrak,” katanya.

Mereka tertarik karena karya Maria secara kualitas dinilai setara dengan karya para komikus Negeri Ginseng. ”Persaingannya jelas dengan komikus asal Korea karena publisher-nya kan dari sana,” jelasnya.

Ketika kemudian terjadi pemutusan kontrak, pemicunya pun bukan persoalan kualitas. Penerbit asal Korsel itu berganti kepemilikan alias diambil alih. ”Mereka lalu hanya berfokus pada komik Korea. Otomatis, komikus Indonesia out,” ujarnya.

Pemutusan kontrak itu terjadi pada awal 2019. Baru pada pertengahan tahun yang sama, alumnus Universitas Atma Jaya Yogyakarta itu mulai menguasai keadaan. Kekecewaan dan kesedihan perlahan justru dia balik menjadi booster semangat untuk menghasilkan karya yang melampaui komikus Korsel. Setidaknya sama.

Baca Juga :  Didatangkan dari Luar Negeri, Hendak Dibawa ke Pegunungan

”The Witch’s Heart. Itulah yang saya buat,” tuturnya. The Witch’s Heart atau Hati si Penyihir ini menceritakan seorang penyihir dari peradaban Eropa. Namun, ceritanya tak hanya berkutat soal kekuatan sihir. Ada pula bumbu asmara dan komedi yang mewarnai.

Dari segi cerita dan kualitas gambar, banyak orang yang akan mengira komik itu berasal dari Korsel. ”Memang kiblatnya Korea. Tapi, di episode awal, memang gambarnya agak kasar,” jelasnya.

Dalam menyusun cerita, Maria tak main-main. Risetnya dilakukan selama berbulan-bulan. Mulai membangun plot, latar belakang cerita, penamaan karakter, hingga belajar kepangkatan ala Eropa. ”Saya juga melakukan riset pasar,” ungkapnya.

Setelah menyelesaikan semua plot cerita dari awal hingga akhir, barulah Maria membuat episode demi episode komik tersebut. Pada fase awal diunggah, komik itu belum diminati di situs komik populer, Webtoon. Namun, lama-kelamaan karya Maria itu meledak. Sampai waktu wawancara, komik tersebut telah dibaca 3,5 juta kali. Hampir setiap minggu The Witch’s Heart selalu nangkring sebagai salah satu komik paling favorit.

Akhirnya, karyanya diterjemahkan dalam enam bahasa. Yaitu, Rusia, Inggris, Portugis, Filipina, Thailand, dan Arab. Semua pihak yang menerjemahkan komik Maria telah mendapatkan izin. ”Kan saya sudah daftar sebagai hak atas kekayaan intelektual (Haki). Lalu, saya akhirnya ditawari kontrak menjadi official di Webtoon,” ujarnya.

Official merupakan status komikus di Webtoon yang mendapatkan kontrak dengan nilai yang cukup besar. Namun, mereka wajib update secara rutin. ”Saya menolak untuk masuk official. Saya lebih suka di canvas, komikus yang dibayar per view,” jelas Maria yang menghabiskan masa SMP sampai SMA di Purwokerto, Jawa Tengah.

Baca Juga :  Komnas HAM Rekomendasikan Penundaan Pilkada di Papua

Apalagi, Maria mengerjakan komik The Witch’s Heart secara solo. Tak ada asisten yang membantu dari episode 1 hingga episode 26. ”Baru dua minggu ini saya memiliki asisten, sebelumnya tidak ada,” ujarnya.

Keberhasilan dan daya tahan Maria ini ternyata terasah sejak kecil. Dia menceritakan, sejak sekolah dasar, dirinya memang gemar menggambar, khususnya karakter-karakter manga. ”Tapi, begitu sampai SMP, saya mulai merasa tidak berbakat,” ucap perempuan kelahiran 13 Mei 1997 tersebut.

Sebab, saat SMP itulah begitu banyak temannya yang punya kemampuan menggambar jauh lebih baik. Maria saat itu memutuskan untuk gantung pensil dan pena. Barulah pada usia 17 tahun, Maria kembali berminat menekuni komik. Kemampuannya jelas telah tertinggal jauh. Saat semua komikus beralih ke digital, Maria masih belajar menggambar secara konvensional.

Dia mengungkapkan, dirinya tumbuh ketika Instagram dan Facebook sudah menjadi ”makanan” sehari-hari. Jagat media sosial itu pula yang mungkin menjadi pemicunya. Saat berkuliah di jurusan akuntansi pun, Maria masih belajar menggambar. Namun, peralatan menggambar digital yang mahal menjadi salah satu ganjalannya untuk belajar.

Setelah Maria menabung dan mampu membeli peralatan menggambar digital, masih ada tantangan lain yang menghadang: beradaptasi dengan peralatan menggambar. Maria membutuhkan waktu lebih dari tiga bulan. ”Bahkan, saya merasa kok tidak bisa-bisa,” katanya, lantas tertawa.

Ada momen ketika Maria merasa nyesek. Salah satunya, saat dia membikin latar belakang gambar, banyak komikus yang membuatnya dengan detail dan indah. ”Saya buat sendiri kok beda kualitasnya. Eh, setelah berbulan-bulan, baru saya tahu ada aplikasi yang sangat memudahkan bernama 3D Background,” terangnya.

Dengan segala yang telah dicapainya sekarang, Maria mengaku masih harus terus belajar banyak. ”Saya tidak hebat. Di atas langit, masih ada langit,” tandasnya. (*/c14/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya