Sunday, April 28, 2024
24.7 C
Jayapura

Pemkab Dogiyai Harus Lebih Proaktif Redam Potensi Konflik

Komnas HAM: Tak Bisa Sepenuhnya Diserahkan ke TNI/Polri

JAYAPURA – Belakangan ini, Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua Tengah kerap terjadi konflik atau pertikaian yang berujung pada aksi pembakaran.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai, Kabupaten Dogiyai merupakan suatu daerah yang rawan terjadi berbagai peristiwa kekerasan. Sehingga itu, pemerintah setempat perlu menyikapi dan mengantisipasi hal ini.

Kepala Komnas HAM Papua Frits Ramandey menyatakan, sepanjang tahun 2022 dan tahun 2023 setelah adanya Daerah Otonomi Baru (DOB). Komnas menangani empat kasus besar yang terjadi di Dogiyai.

“Sebelumnya juga ada peristiwa yang diikuti dengan kejadian pembakaran, ini menunjukan wilayah Dogiyai menjadi daerah baru yang rawan konflik,” kata Frits kepada Cenderawasih Pos.

Frits juga menyatakan keprihatinannya atas peristiwa yang terjadi pada Kamis (13/7) di Dogiyai, dimana dilaporkan ada seorang warga yang tewas hingga berujung pada aksi pembakaran. Massa membakar puluhan bangunan, selain itu tiga aparat keamanan terluka dalam kejadian tersebut.

Baca Juga :  Jubir TPNPB: Ditembak Karena Bawa Logistik TNI Polri

“Komnas HAM sedang melakuan resum terhadap kronologi, tetapi Komnas juga berkomunikasi dengan bupati setempat dan memberikan masukan tentang bagaimana upaya penanganan atas peristiwa yang terus berulang,” terang Frits.

Menurut Frits, yang harus dikedepankan dari setiap peristiwa di Dogiyai adalah pemerintah daerahnya. Sebab, tugas aparat sebatas menghentikan suatu kejadian, tetapi pemulihan kondisi pasca peristiwa harus diserahkan kepada Pemda setempat.

Karena itu Komnas HAM Papua sudah berkomunikasi dengan Bupati Dogiyai, semoga ada langkah yang lebih tepat dalam rangka penanganan kasus dogiyai. Selain itu, peristiwa tersebut juga sudah dilaporkan ke Komnas Jakarta.

“Kita ingin mendorong bupati untuk sama sama dengan pihak TNI-Polri mendiskusikan sebenarnya fenomena baru yang muncul di Dogiyai dengan maraknya berbagai tindakan kekerasan, ini sebenarnya ada problem baru apa,” bebernya.

“Apakah karena perubahan pembangunan, atau ada kecemburuan sosial yang kemudian ada  kasus-kasus sosial yang belum diselesaikan. Inilah yang harus dipikirkan akar masalahnya,” sambungnya.

Baca Juga :  Kapolda: Sudah Tiga Kepala Daerah Diproses Hukum

Frits berharap dalam waktu dekat bupati sudah mengambil langkah langkah untuk penanganan peristiwa di dogiyai, termasuk akan meminta petunjuk dan dukungan dari gubernur setempat.

Sementara itu Frits mengatakan, rata-rata kasus di Dogiyai dipicu oleh misalnya keributan, perselisihan yang kemudian berbuntut pada adanya korban hingga terjadinya pembakaran.

“Seruan dari komnas HAM mari menghormati kemanusiaan, para pihak harus menahan diri dan tidak terprovokasi,” kata Frits.

Selain itu lanjut Frits, Kepala Daerah tetap berada di tempat untuk mampu mengendalikan situasi yang ada. Selalu berkoordinasi dengan DPR setempat, Kepala Kampung dan masyarakatnya.

“Tidak bisa kita serahkan sepenuhnya kepada TNI-Polri, karena ketika aparat datang lalu mereka terdesak. Maka yang terjadi adalah penggunaan kekuatan baik itu personel maupun penggunaan kekuatan senjata,” pungkasnya. (fia/wen)

Komnas HAM: Tak Bisa Sepenuhnya Diserahkan ke TNI/Polri

JAYAPURA – Belakangan ini, Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua Tengah kerap terjadi konflik atau pertikaian yang berujung pada aksi pembakaran.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai, Kabupaten Dogiyai merupakan suatu daerah yang rawan terjadi berbagai peristiwa kekerasan. Sehingga itu, pemerintah setempat perlu menyikapi dan mengantisipasi hal ini.

Kepala Komnas HAM Papua Frits Ramandey menyatakan, sepanjang tahun 2022 dan tahun 2023 setelah adanya Daerah Otonomi Baru (DOB). Komnas menangani empat kasus besar yang terjadi di Dogiyai.

“Sebelumnya juga ada peristiwa yang diikuti dengan kejadian pembakaran, ini menunjukan wilayah Dogiyai menjadi daerah baru yang rawan konflik,” kata Frits kepada Cenderawasih Pos.

Frits juga menyatakan keprihatinannya atas peristiwa yang terjadi pada Kamis (13/7) di Dogiyai, dimana dilaporkan ada seorang warga yang tewas hingga berujung pada aksi pembakaran. Massa membakar puluhan bangunan, selain itu tiga aparat keamanan terluka dalam kejadian tersebut.

Baca Juga :  Kapolda: Sudah Tiga Kepala Daerah Diproses Hukum

“Komnas HAM sedang melakuan resum terhadap kronologi, tetapi Komnas juga berkomunikasi dengan bupati setempat dan memberikan masukan tentang bagaimana upaya penanganan atas peristiwa yang terus berulang,” terang Frits.

Menurut Frits, yang harus dikedepankan dari setiap peristiwa di Dogiyai adalah pemerintah daerahnya. Sebab, tugas aparat sebatas menghentikan suatu kejadian, tetapi pemulihan kondisi pasca peristiwa harus diserahkan kepada Pemda setempat.

Karena itu Komnas HAM Papua sudah berkomunikasi dengan Bupati Dogiyai, semoga ada langkah yang lebih tepat dalam rangka penanganan kasus dogiyai. Selain itu, peristiwa tersebut juga sudah dilaporkan ke Komnas Jakarta.

“Kita ingin mendorong bupati untuk sama sama dengan pihak TNI-Polri mendiskusikan sebenarnya fenomena baru yang muncul di Dogiyai dengan maraknya berbagai tindakan kekerasan, ini sebenarnya ada problem baru apa,” bebernya.

“Apakah karena perubahan pembangunan, atau ada kecemburuan sosial yang kemudian ada  kasus-kasus sosial yang belum diselesaikan. Inilah yang harus dipikirkan akar masalahnya,” sambungnya.

Baca Juga :  Pemprov Papua Diminta Tidak Potong Dana Otsus

Frits berharap dalam waktu dekat bupati sudah mengambil langkah langkah untuk penanganan peristiwa di dogiyai, termasuk akan meminta petunjuk dan dukungan dari gubernur setempat.

Sementara itu Frits mengatakan, rata-rata kasus di Dogiyai dipicu oleh misalnya keributan, perselisihan yang kemudian berbuntut pada adanya korban hingga terjadinya pembakaran.

“Seruan dari komnas HAM mari menghormati kemanusiaan, para pihak harus menahan diri dan tidak terprovokasi,” kata Frits.

Selain itu lanjut Frits, Kepala Daerah tetap berada di tempat untuk mampu mengendalikan situasi yang ada. Selalu berkoordinasi dengan DPR setempat, Kepala Kampung dan masyarakatnya.

“Tidak bisa kita serahkan sepenuhnya kepada TNI-Polri, karena ketika aparat datang lalu mereka terdesak. Maka yang terjadi adalah penggunaan kekuatan baik itu personel maupun penggunaan kekuatan senjata,” pungkasnya. (fia/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya