JAYAPURA-Penyerangan yang dilakukan Kelompok Sipil Bersenjata (KSB) pimpinan Egianus Kogoya di Pos Satgas Mupe Yonif Marinir-3, di Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga pada Sabtu (26/3) memberikan isyarat kepada negara.
“Kejadian 26 Maret lalu mengirim pesan kepada negara untuk lebih serius menangani kelompok sipil bersenjata di Papua, harus ada upaya nyata dan cepat,” kata Ketua Komnas HAM Papua Frits Ramandey kepada Cenderawasih Pos saat ditemui di Kantornya, Senin (28/3) kemarin.
Dalam catatan Komnas HAM, 9 tahun lalu tepatnya tahun 2013 pernah terjadi penyerangan Pos TNI di Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya yang dilakukan KSB. Dalam serangan itu, delapan anggota TNI gugur dan empat warga sipil tewas. Namun untuk kejadian di Nduga menurut Frits, skalanya besar setelah kasus Puncak Jaya.
“Ini menunjukan KSB telah memiliki senjata yang modern dan juga personel yang terlatih dari aspek penggunaan senjata serta terlatih dari aspek gerilya,” terangnya.
Selain itu lanjut Frits, senjata yang digunakan KSB adalah senjata yang berkelas yang mungkin secara otodidak teknik menggunakan senjata tapi juga dimungkinkan di antara mereka ada orang yang memang secara pengetahuan terlatih untuk mengoperasikan senjata tersebut.
Di sisi lain kata Frits, kelompok ini juga sudah punya kemampuan untuk mengatur pola pola gerilya. Terlebih serangan yang dilakukan di Pos Marinir dilakukan dari dua arah. Artinya, kelompok ini sudah punya kemampuan untuk mendesain sebuah penyerangan kepada pos-pos militer.
“Peristiwa ini peristiwa head to head, karena di wilayah Nduga sejak tahun 2019 hingga saat ini ada kelompok sipil bersenjata yang eksis. Selain itu, ada juga pengerahan kekuatan TNI-Polri yang banyak di Nduga,” tuturnya.
Untuk itu lanjut Frits, aparat yang berada di wilayah-wilayah rawan konflik seperti Intan Jaya, Nduga, Puncak, Pegunungan Bintang dan Yahukimo tidak boleh sedikitpun lengah. Intensitas pengawasan perlu ditingkatkan.
“Peristiwa Nduga akan menambah panjang trauma masyarakat yang ada di sekitar lokasi kejadian. Mungkin saja sebelum kelompok (KSB-red) ini melakukan penyerangan, mereka sudah melintas di situ dan menekan masyarakat sekitar. Pasca kejadian pasti masyarakat mengungsi karena akan ada operasi penegakan hukum, operasi pemulihan dan korbannya adalah masyarakat setempat,” paparnya.
Dikatakan Frits, Komnas HAM dari aspek HAM menyerukan gerakan-gerakan kekerasan menggunakan senjata tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan tidak akan mendapat simpati dan itu akan ditolak semua mekanisme nasional dalam aspek hukum.
“Kekerasan menggunakan senjata itu mekanisme yang akan ditolak dan itu tidak akan menyelesaikan masalah. Kekerasan bersenjata hanya akan menghilangkan hak hidup warga sipil, hak hidup aparat dan mereka yang melakukan penyerangan. Termasuk hak atas rasa aman,” tegasnya.
Selaku Ketua Komnas HAM, Frits juga mengingatkan Pos-pos TNI-Polri di daerah rawan konflik harus mengantisipasi kemungkinan adanya penyerangan susulan. Selain itu, aparat yang ada di daerah rawan konflik tidak bisa bekerja sendiri. Mereka harus mendekati pemerintah daerah.
Pemerintah daerah menurutnya juga harus bisa berkomunikasi dengan aparat yang ada di daerahnya dan sebaliknya. Jika tidak, maka tidak menyelesaikan konflik.
“Upaya pendekatan damai tetap dilaksanakan tetapi kesiapsiagaan tidak boleh lengah. Selain itu operasi penegakan dan pemulihan yang akan dilakukan TNI-Polri pasca kejadian tetap menjunjung prinsip HAM dan memberi perlindungan kepada sipil. Karena tujuannya upaya penegakan hukum,” pintanya.
Sebelumnya terjadi penyerangan terhadap Pos TNI di Nduga, dalam penyerangan tersebut dua meninggal dunia, 1 kritis dan lainnya luka-luka. (fia/cr-268/nat)