Ia juga mengatakan, menyelamatkan nyawa manusia (pasien) dimulai dari hal yang paling mendasar, mulai dari pasien tersebut di puskesmas hingga ke rumah sakit. “Pasien yang datang harus dilayani sesuai dengan kewenangan, dibarengi dengan kelengkapan yang harus dimiliki oleh layanan kesehatan. Mulai dari sumber daya manusia hingga peralatan,” pungkasnya.
Lebih dalam disampaikan Marthen Sege S.Kep, Ns, M.Kep, FISQua selaku pemerhati dan pelayanan kesehatan di Papua. Ia melihat ini seperti tamparan keras bagi para pelaku pelayanan kesehatan, sekeras pernyataan Gubernur Papua Matius Derek Fakhiri ketika melakukan sidak di RSUD milik Provinsi Papua baru – baru ini.
“ Pelayanan kesehatan harus menjadi yang utama dan tidak boleh menolak pasien yang membutuhkan pertolongan “ kalimat ini yang seharusnya menjadi angin segar bagi masyarakat Papua.
Ia melihat pernyataan gubernur sesungguhnya menjadi pesan etika moral yang sejalan dengan semboyan Salus Aegroti Suprema Lex Est atau Keselamatan Pasien adalah Hukum Tertinggi, semboyan yang menjadi akar lahirnya sumpah Hippocrates – sumpah dokter yang hidup 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter.
Kewajiban – kewajiban dokter tersebut diharapkan menjadi obat mujarab dalam memberikan rasa aman bagi para pasien dan masyarakat. Namun, beragam kasus sengketa medik yang terjadi dan diekspos di berbagai media hanyalah merupakan sebagian kecil kasus yang muncul di permukaan, muncul sebagai puncak dari gunung es (iceberg).
“Siapa yang salah ? pertanyaan yang muncul di ujung setiap suatu kasus yang terjadi. Jika mengacu pada regulasi UU nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan pasal 173 :1b menyebutkan bahwa Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang bermutu dan mengutamakan keselamatan pasien,” beber Sege. Ini tentunya tidak serta merta menjadi amunisi paling ampuh untuk menelanjangi pihak fasilitas pelayanan kesehatan ketika berhadapan dengan suatu sengketa medik yang dialami oleh pasien.
Ia berpendapat perlu dikaji lebih dalam baik dari sisi regulasi terkait dan prinsip etika moral serta situasi kondisi ketika suatu kejadian itu terjadi. Pembelaan dari kedua belah pihak dengan berbagai dasar ditambah dengan persepsi masyarakat yang berhambur liar dalam berbagai media sosial. Dirincikan pertama, pasien yang datang ke IGD suatu rumah sakit dapat dikelompokkan berdasarkan pada asal pasien : datang sendiri/ diantar keluarga dan dirujuk dari suatu fasilitas pelayanan kesehatan (faskes).
Pasien yang memerlukan surat rujukan tentunya pasien yang dirujuk dari suatu faskes, sedangkan pasien yang datang sendiri tidak memerlukan surat rujukan tersebut. Pasien rujukan yang membawa surat rujukan akan ditangani sesuai dengan tujuan dari surat rujukan tersebut, alasannya yaitu karena pasien membutuhkan perawatan lebih lanjut yang tidak dapat diberikan oleh faskes perujuk.