Saturday, April 27, 2024
30.7 C
Jayapura

Negara Harus Seret Semua Pelaku Pelanggaran HAM Berat Paniai ke Pengadilan

Sidang Perdana Paniai Berdarah Dihaga Ratusan Aparat di Pengadilan Makassar

JAYAPURA – Pengadilan Negeri (PN) Makassar menggelar sidang perdana kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat di Paniai, Rabu (21/9). Dalam sidang tersebut menghadirkan terdakwa Mayor Inf (Purn) Isak Sattu.

Terdakwa Isak Sattu adalah anggota TNI yang saat terjadinya peristiwa bertugas sebagai Perwira Penghubung Komando Distrik Militer (Kodim) 1705/Paniai. Dalam sidang Isak Sattu didakwa pasal HAM.

Adapun jaksa penuntut umum dalam sidang perdana Pelanggaran HAM Berat Paniai yakni Direktur Pelanggarab HAM Berat Dr. Erryl Prima Putera Agoes, Kepala Seksi Wilayah pada Sub Direktorat Pelanggaran HAM Berat Suhardi, S.H., M.H, Kepala Sub Bagian Tata Usaha pada Direktorat  Pelanggaran HAM Berat Melly Suranta Ginting, Jaksa Ahli Madya pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Reinhart M Marbun.

Akibat perbuatannya, Mayor Inf (Purn) Idak Sattu didakwa Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam dakwaan kedua, Isak dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyampaikan, belajar dari persidangan perkara pelanggaran HAM Berat sebelumnya, maka pentingnya perlindungan terhadap saksi, korban bahkan perlindungan terhadap jaksa dan hakim yang membutuhkan.

“Persidangan ini sekedar gimmick, belajar dari pengalaman sidang terdahulu yang berujung dengan tanpa penghukuman terhadap para pelaku,” tegas Usman Hamid yang turut melakukan pemantauan jalannya persidangan di Pengadilan Makassar.

Usman sendiri belum bisa menjawab terkait apakah terdakwa yang dihadirkan di Persidangan merupakan pelaku yang sesungguhnya, yang benar benar bertanggung jawab atas peristiwa yang keji itu.

Baca Juga :  Daftar Calon Pemain Persipura Jayapura

“Sedari awal keluarga ragu bahwa Negara sungguh sungguh dalam memberikan keadilan kepada mereka. Pengadilan Makassar membawa beban yang sangat besar kali ini, kalau gagal bisa disalahkan,” tegas Usman.

Menurut Usman, persiapan sidang kasus pelanggaran HAM Berat Paniai tidak matang. Bahkan, dari 180 hari sudah termakan waktu 90 hari.

“Banyak pihak yang meragukan bahwa pelakunya adalah 1 orang, bahkan pembacaan  dakwaan ada yang terputus kronologinya. Terutama dari segi siapa  yang melakukan perbuatan penganiayaan terhadap anak anak kala itu, itu harus dibuktikan terlebih dahulu dan kenapa pasalnya tidak digunakan,” paparnya.

Sebagaimana kata Usman adanya penganiayaan di tanggal 7 Desember  dan penembakan di tanggal 8 Desember. Pada kejadian 7 Desember hanya berakibat luka fatal terhadap korban, namun tidak dijelaskan siapa pelakunya.

“Ada celah kosong yang harus diisi dalam persidangan berikutnya. Saya berharap segala  kekosongan bisa diisi dalam pembuktiannya dengan menghadirkan para saksi, termasuk saksi ahli dan lainnya,” ucapnya.

Secara terpisah, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi manusia (ELSHAM) Papua, Pdt.Matheus Adadikam menyampaikan, dalam kasus ini walaupun sidang sedang bergulir namun Negara terkesan tidak serius mengurusnya.

“Persidangan mulai digulirkan dan yang diajukan sebagai tersangka hanya satu orang. Terus yang Komando dan lainnya ke mana ? Ini menunjukan kejanggalan, sehingga kami menyatakan Negara mendorong ini terburu buru untuk mengangkat citra mereka di mata dunia seakan mereka sedang serius mengurus pelanggaran HAM di Papua, namun nyatanya tidak terbukti dalam persidangan Paniai Berdarah,” ungkapnya.

Elsham menilai sidang Paniai Berdarah ini seperti sidang biasa, bukan Ad Hoch untuk pelanggaran HAM. Yang harusnya mengangkat harkat atau menunjukan citra baik dari Negara namun justru memperburuk citra Negara karena ketidak seriusannya.

Baca Juga :  Ada Jaksa Nakal, Laporkan!

“Arahnya seperti mau dijadikan pelanggaran biasa yang tidak akan membuahkan hasil manis terlebih rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban juga masyarakat Papua,” ucapnya.

Menurut Elsham, kasus Paniai yang hari ini disidangkan hanya mencitrakan pemerintahan di masa Jokowi  yang nyatanya penuh omong kosong.

“Jika Negara benar benar serius menangani kasus ini, harusnnya menyeret semua pelaku yang pada saat itu ada di lapangan yang sudah teridentifikasioleh Komnas HAM duduk di meja persidangan. Selama itu tidak ada, maka Negara ini tipu tipu saja,” bebernya.  “Masih berlaku praktek negara menyembunyikan pelaku yang sebenarnya, dan ini sudah berulang kali terjadi di Papua,” sambungnya.

Ia juga menyayangkan sidang perdana yang digelar di Pengadilan Makassar kemarin dijaga ratusan aparat yang berseragam lengkap dan bahkan mondar mandir. Menurutnya, hal ini terkesan mengintimidasi

Sekadar diketahui, kejadian Paniai terjadi pada 8 Desember 2014. Kala itu, warga sipil tengah melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap pemuda di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Paniai.

Dalam peristiwa itu, empat pelajar tewas di tempat usai ditembak oleh pasukan gabungan militer. Sementara, satu orang lain tewas usai mendapat perawatan di rumah sakit beberapa bulan kemudian.

Dalam peristiwa tersebut, 17 orang lainnya luka-luka. Dalam hal ini, KontraS menyebutkan bahwa lima orang yang tewas bernama Otianus Gobai (18), Simon Degei (18), Yulian Yeimo (17), Abia Gobay (17) dan Alfius Youw (17).  Adapun sidang selanjutnya digelar Rabu (28/9) dengan agenda pemeriksaan saksi. (fia/wen)

Sidang Perdana Paniai Berdarah Dihaga Ratusan Aparat di Pengadilan Makassar

JAYAPURA – Pengadilan Negeri (PN) Makassar menggelar sidang perdana kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat di Paniai, Rabu (21/9). Dalam sidang tersebut menghadirkan terdakwa Mayor Inf (Purn) Isak Sattu.

Terdakwa Isak Sattu adalah anggota TNI yang saat terjadinya peristiwa bertugas sebagai Perwira Penghubung Komando Distrik Militer (Kodim) 1705/Paniai. Dalam sidang Isak Sattu didakwa pasal HAM.

Adapun jaksa penuntut umum dalam sidang perdana Pelanggaran HAM Berat Paniai yakni Direktur Pelanggarab HAM Berat Dr. Erryl Prima Putera Agoes, Kepala Seksi Wilayah pada Sub Direktorat Pelanggaran HAM Berat Suhardi, S.H., M.H, Kepala Sub Bagian Tata Usaha pada Direktorat  Pelanggaran HAM Berat Melly Suranta Ginting, Jaksa Ahli Madya pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Reinhart M Marbun.

Akibat perbuatannya, Mayor Inf (Purn) Idak Sattu didakwa Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam dakwaan kedua, Isak dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyampaikan, belajar dari persidangan perkara pelanggaran HAM Berat sebelumnya, maka pentingnya perlindungan terhadap saksi, korban bahkan perlindungan terhadap jaksa dan hakim yang membutuhkan.

“Persidangan ini sekedar gimmick, belajar dari pengalaman sidang terdahulu yang berujung dengan tanpa penghukuman terhadap para pelaku,” tegas Usman Hamid yang turut melakukan pemantauan jalannya persidangan di Pengadilan Makassar.

Usman sendiri belum bisa menjawab terkait apakah terdakwa yang dihadirkan di Persidangan merupakan pelaku yang sesungguhnya, yang benar benar bertanggung jawab atas peristiwa yang keji itu.

Baca Juga :  Produk UMKM Papua Perlu Diperbaiki Agar Tembus Pasar Internasional

“Sedari awal keluarga ragu bahwa Negara sungguh sungguh dalam memberikan keadilan kepada mereka. Pengadilan Makassar membawa beban yang sangat besar kali ini, kalau gagal bisa disalahkan,” tegas Usman.

Menurut Usman, persiapan sidang kasus pelanggaran HAM Berat Paniai tidak matang. Bahkan, dari 180 hari sudah termakan waktu 90 hari.

“Banyak pihak yang meragukan bahwa pelakunya adalah 1 orang, bahkan pembacaan  dakwaan ada yang terputus kronologinya. Terutama dari segi siapa  yang melakukan perbuatan penganiayaan terhadap anak anak kala itu, itu harus dibuktikan terlebih dahulu dan kenapa pasalnya tidak digunakan,” paparnya.

Sebagaimana kata Usman adanya penganiayaan di tanggal 7 Desember  dan penembakan di tanggal 8 Desember. Pada kejadian 7 Desember hanya berakibat luka fatal terhadap korban, namun tidak dijelaskan siapa pelakunya.

“Ada celah kosong yang harus diisi dalam persidangan berikutnya. Saya berharap segala  kekosongan bisa diisi dalam pembuktiannya dengan menghadirkan para saksi, termasuk saksi ahli dan lainnya,” ucapnya.

Secara terpisah, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi manusia (ELSHAM) Papua, Pdt.Matheus Adadikam menyampaikan, dalam kasus ini walaupun sidang sedang bergulir namun Negara terkesan tidak serius mengurusnya.

“Persidangan mulai digulirkan dan yang diajukan sebagai tersangka hanya satu orang. Terus yang Komando dan lainnya ke mana ? Ini menunjukan kejanggalan, sehingga kami menyatakan Negara mendorong ini terburu buru untuk mengangkat citra mereka di mata dunia seakan mereka sedang serius mengurus pelanggaran HAM di Papua, namun nyatanya tidak terbukti dalam persidangan Paniai Berdarah,” ungkapnya.

Elsham menilai sidang Paniai Berdarah ini seperti sidang biasa, bukan Ad Hoch untuk pelanggaran HAM. Yang harusnya mengangkat harkat atau menunjukan citra baik dari Negara namun justru memperburuk citra Negara karena ketidak seriusannya.

Baca Juga :  Banyak Peluang Kasus Suap di Kementerian

“Arahnya seperti mau dijadikan pelanggaran biasa yang tidak akan membuahkan hasil manis terlebih rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban juga masyarakat Papua,” ucapnya.

Menurut Elsham, kasus Paniai yang hari ini disidangkan hanya mencitrakan pemerintahan di masa Jokowi  yang nyatanya penuh omong kosong.

“Jika Negara benar benar serius menangani kasus ini, harusnnya menyeret semua pelaku yang pada saat itu ada di lapangan yang sudah teridentifikasioleh Komnas HAM duduk di meja persidangan. Selama itu tidak ada, maka Negara ini tipu tipu saja,” bebernya.  “Masih berlaku praktek negara menyembunyikan pelaku yang sebenarnya, dan ini sudah berulang kali terjadi di Papua,” sambungnya.

Ia juga menyayangkan sidang perdana yang digelar di Pengadilan Makassar kemarin dijaga ratusan aparat yang berseragam lengkap dan bahkan mondar mandir. Menurutnya, hal ini terkesan mengintimidasi

Sekadar diketahui, kejadian Paniai terjadi pada 8 Desember 2014. Kala itu, warga sipil tengah melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap pemuda di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Paniai.

Dalam peristiwa itu, empat pelajar tewas di tempat usai ditembak oleh pasukan gabungan militer. Sementara, satu orang lain tewas usai mendapat perawatan di rumah sakit beberapa bulan kemudian.

Dalam peristiwa tersebut, 17 orang lainnya luka-luka. Dalam hal ini, KontraS menyebutkan bahwa lima orang yang tewas bernama Otianus Gobai (18), Simon Degei (18), Yulian Yeimo (17), Abia Gobay (17) dan Alfius Youw (17).  Adapun sidang selanjutnya digelar Rabu (28/9) dengan agenda pemeriksaan saksi. (fia/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya