Karena itu ia meminta semua pihak untuk menghormati mekanisme yang sementara berjalan saat ini di KPU Papua. “Kami berharap situasi tetap kondusif. Mari kita selesaikan tahapan ini dengan baik demi menjaga kepercayaan publik terhadap proses pemilu,” pungkasnya.
Sementara kekhawatiran Komnas HAM Papua atas pelaksanaan PSU akhirnya terjadi. Komnas mencatat bahwa ada ketidaknetralan polisi, kemudian cawe-cawe kepala daerah, penggelembungan suara hingga sebagian orang tak diberikan wadah untuk menggunakan hak suaranya.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sebelum PSU sudah mengumumkan tentang potensi kerawanan. Dan potensi kerawanan itu sebagian besar terjadi pasca PSU. Misalnya, upaya penggelembungan suara, sebagian hak suara warga negara hilang, netralitas aparat, ada yang meninggal dunia namun masih memiliki undangan, molornya pleno hingga dugaan intimidasi.
”Dan kerawanan PSU itu terjadi di PSU kali ini,” kata Kepala Sekretariat Komnas HAM RI di Papua, Frits Ramandey, saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Selasa (19/8). Diakui PSU berjalan baik kendati kelompok rentan tidak mendapatkan pelayanan dan itu menurutnya melanggar HAM. Namun yang lebih membuat miris dan satu indikator biang masalah adalah ketidaknetralan aparat, baik penyelenggara maupun pejabat politik di daerah.
”PSU terciderai pasca pelaksanan. Hal ini akibat tindakan-tindakan kelompok dan individu yang merusaknya, terutama soal ketidaknetralan aparat,” tegasnya lagi.
Namun juga kata Frits, jelang PSU bebarapa persoalan terjadi. Misalkan, Kapolsek Jayapura Selatan sempat membuat situasi tegang di Kampung Tobati Kota Jayapura, anggota polisi yang dilaporkan melakukan cipta kondisi dengan masyarakat di Yapen Barat.