Saturday, April 27, 2024
28.7 C
Jayapura

Berharap Kunjungan Jokowi Tak Hanya Seremonial Belaka

JAYAPURA – Presiden Jokowi telah tiba di Papua sejak tadi malam, Sejak menjadi orang nomor 1 di Indonesia, Jokowi sudah 16 kali mengunjungi Tanah Papua.  Kali ini Kunjungan kunjungan orang nomor 1 di Indonesia itu untuk meresmikan Gedung Papua Youth Crative Hub (PYCH) dan melakukan kunjungan ke beberapa wilayah.

Jaringan Damai Papua (JDP) prihatin atas rencana kunjungan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo ke tanah Papua yang lagi-lagi bersifat seremonial belaka.

Juru Bicara JDP Yan Cristian Warinussy menyebut, didalam catatan rundown rencana kunjungan Jokowi sebagai Kepala Negara hari ini ke tanah Papua sama sekali tidak berisi langkah nyata seorang Presiden untuk merubah situasi sosial politik dan keamanan serta mendorong terbangunnya perdamaian di tanah Papua.

“Saya menduga Presiden justru menafikan terjadinya perdamaian di tanah Papua sepeninggal berakhir masa jabatannya tahun depan. Apalagi dengan kunjungan yang justru melahirkan adanya pengerahan pasukan keamanan berjumlah sekitar 3.600 personil ke tanah Papua,” terang Yan kepada Cenderawasih Pos, Senin (20/3)

Menurut Yan, ini semua semakin menunjukkan bahwa pilihan pendekatan keamanan tidak akan ditinggalkan oleh pemerintah Indonesia terhadap tanah Papua secara umum. Pembentukan instalasi militer yang gencar dilakukan di seluruh bumi cenderawasih semakin membuktikan kepada dunia, bahwa Indonesia tidak ingin Papua menjadi tanah damai.

JDP kata Yan sangat mengkhwatirkan kondisi yang semakin menunjukkan potensi terbangunnya kekerasan bersenjata yang senantiasa menempatkan rakyat sipil sebagai korban dan pihak yang senantiasa dirugikan.

Baca Juga :  Antisipasi Kerumunan, Maksimalkan Kurban Online

“JDP sangat yakin bahwa kondisi ini akan berpotensi menihilkan harapan rakyat Papua untuk hidup damai di atas tanah airnya sendiri dalam kurun waktu kian lama. Padahal JDP senantiasa menyerukan agar negara hendaknya segera mempersiapkan langkah penting dalam memulai dialog dengan kelompok resisten di tanah Papua,” tegas Yan.

Lanjut Yan, Sebab JDP yakin bahwa terjadinya dialog diantara negara dengan kelompok-kelompok resisten seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) ataupun United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) akan justru memberi harapan terbangunnya Papua tanah damai.

“Itu akan memberi harapan bagi perbaikan siatuasi sosial, politik dan ekonomi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan secara lebih efektif di tanah Papua,” ucapnya.

Yan berharap kedatangan Presiden Joko Widodo kali ini memberi pelajaran berharga bagi negara bahwa ruang dialog adalah sangat relevan dan penting bagi dimulainya langkah penyelesaian damai atas konflik bersenjata yang justru memberi banyak kerugian bagi rakyat Papua.

Sementara itu  salah satu akademisi Uncen Marinus Yaung mengatakan agenda kedatangan Presiden Jokowi di Jayapura, Papua tengah dibalut sebuah isu yang kurang mengenakkan. Bagaimana tidak proses penyanderaan pilot asing  berkewarganegaraan Selandia Baru sudah berjalan hampir 2 bulan. Pilot maskapai Susi Air bernama Philip Mark Mehrtenz ini masih disandera KKB pimpinan Egianus Kogoya di wilayah Kabupaten Nduga.

Baca Juga :  Dialog Damai yang Digagas Komnas HAM RI Dipertanyakan

Ketika kasus panyanderaan ini dengan cepat mengalami internasionalisasi, maka semakin terbuka lebar intervensi pihak asing terhadap masalah Papua.  Kata Yaung yang perlu diwanti adalah jangan sampai Indonesia menerima tawaran Selandia Baru untuk membantu proses pembebasan pilot Susi Air maka sama artinya Indonesia telah kehilangan kedaulatan atas Papua dan masalah Papua akan langsung menjadi masalah regional pasifik.

“Tapi untungnya panglima TNI Yudo Margono satu irama persepsi dengan Presiden Jokowi bahwa Papua masalah dalam negeri Indonesia, termasuk kasus penyaderaan pilot Mark Merthenz dan Indonesia tidak butuh negara mana pun untuk mendikte Indonesia soal pengelolaan dan kebijakan negara atas Papua,” beber Yaung. Politik pembendungan Presiden Jokowi terhadap internasionalisasi isu Papua Merdeka ini semakin menunjukan bahwa Indonesia ini negara besar dan  bukan “Banana Republic ” yang mudah diintervensi dan diobok – obok oleh pihak asing.

“Kunjungan presiden Jokowi ke Papua (Jayapura) saat ini hanya untuk menegaskan kepada Australia, Selandia Baru, Fiji dan negara – negara blok Melanesia bahwa Indonesia bukan banana republic karenanya  Australia, Selandia Baru, Fiji dan blok MSG jangan coba – coba mendikte Indonesia soal masalah Papua meski soal pilot Philip Mark hingga kini masih menjadi PR,” tutupnya. (fia/ade/rel/wen)

JAYAPURA – Presiden Jokowi telah tiba di Papua sejak tadi malam, Sejak menjadi orang nomor 1 di Indonesia, Jokowi sudah 16 kali mengunjungi Tanah Papua.  Kali ini Kunjungan kunjungan orang nomor 1 di Indonesia itu untuk meresmikan Gedung Papua Youth Crative Hub (PYCH) dan melakukan kunjungan ke beberapa wilayah.

Jaringan Damai Papua (JDP) prihatin atas rencana kunjungan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo ke tanah Papua yang lagi-lagi bersifat seremonial belaka.

Juru Bicara JDP Yan Cristian Warinussy menyebut, didalam catatan rundown rencana kunjungan Jokowi sebagai Kepala Negara hari ini ke tanah Papua sama sekali tidak berisi langkah nyata seorang Presiden untuk merubah situasi sosial politik dan keamanan serta mendorong terbangunnya perdamaian di tanah Papua.

“Saya menduga Presiden justru menafikan terjadinya perdamaian di tanah Papua sepeninggal berakhir masa jabatannya tahun depan. Apalagi dengan kunjungan yang justru melahirkan adanya pengerahan pasukan keamanan berjumlah sekitar 3.600 personil ke tanah Papua,” terang Yan kepada Cenderawasih Pos, Senin (20/3)

Menurut Yan, ini semua semakin menunjukkan bahwa pilihan pendekatan keamanan tidak akan ditinggalkan oleh pemerintah Indonesia terhadap tanah Papua secara umum. Pembentukan instalasi militer yang gencar dilakukan di seluruh bumi cenderawasih semakin membuktikan kepada dunia, bahwa Indonesia tidak ingin Papua menjadi tanah damai.

JDP kata Yan sangat mengkhwatirkan kondisi yang semakin menunjukkan potensi terbangunnya kekerasan bersenjata yang senantiasa menempatkan rakyat sipil sebagai korban dan pihak yang senantiasa dirugikan.

Baca Juga :  Banyak Pesta Miras di Jembatan Youtefa

“JDP sangat yakin bahwa kondisi ini akan berpotensi menihilkan harapan rakyat Papua untuk hidup damai di atas tanah airnya sendiri dalam kurun waktu kian lama. Padahal JDP senantiasa menyerukan agar negara hendaknya segera mempersiapkan langkah penting dalam memulai dialog dengan kelompok resisten di tanah Papua,” tegas Yan.

Lanjut Yan, Sebab JDP yakin bahwa terjadinya dialog diantara negara dengan kelompok-kelompok resisten seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) ataupun United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) akan justru memberi harapan terbangunnya Papua tanah damai.

“Itu akan memberi harapan bagi perbaikan siatuasi sosial, politik dan ekonomi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan secara lebih efektif di tanah Papua,” ucapnya.

Yan berharap kedatangan Presiden Joko Widodo kali ini memberi pelajaran berharga bagi negara bahwa ruang dialog adalah sangat relevan dan penting bagi dimulainya langkah penyelesaian damai atas konflik bersenjata yang justru memberi banyak kerugian bagi rakyat Papua.

Sementara itu  salah satu akademisi Uncen Marinus Yaung mengatakan agenda kedatangan Presiden Jokowi di Jayapura, Papua tengah dibalut sebuah isu yang kurang mengenakkan. Bagaimana tidak proses penyanderaan pilot asing  berkewarganegaraan Selandia Baru sudah berjalan hampir 2 bulan. Pilot maskapai Susi Air bernama Philip Mark Mehrtenz ini masih disandera KKB pimpinan Egianus Kogoya di wilayah Kabupaten Nduga.

Baca Juga :  Peringati Hari Trikora, Harus Berani Berantas Korupsi di Papua

Ketika kasus panyanderaan ini dengan cepat mengalami internasionalisasi, maka semakin terbuka lebar intervensi pihak asing terhadap masalah Papua.  Kata Yaung yang perlu diwanti adalah jangan sampai Indonesia menerima tawaran Selandia Baru untuk membantu proses pembebasan pilot Susi Air maka sama artinya Indonesia telah kehilangan kedaulatan atas Papua dan masalah Papua akan langsung menjadi masalah regional pasifik.

“Tapi untungnya panglima TNI Yudo Margono satu irama persepsi dengan Presiden Jokowi bahwa Papua masalah dalam negeri Indonesia, termasuk kasus penyaderaan pilot Mark Merthenz dan Indonesia tidak butuh negara mana pun untuk mendikte Indonesia soal pengelolaan dan kebijakan negara atas Papua,” beber Yaung. Politik pembendungan Presiden Jokowi terhadap internasionalisasi isu Papua Merdeka ini semakin menunjukan bahwa Indonesia ini negara besar dan  bukan “Banana Republic ” yang mudah diintervensi dan diobok – obok oleh pihak asing.

“Kunjungan presiden Jokowi ke Papua (Jayapura) saat ini hanya untuk menegaskan kepada Australia, Selandia Baru, Fiji dan negara – negara blok Melanesia bahwa Indonesia bukan banana republic karenanya  Australia, Selandia Baru, Fiji dan blok MSG jangan coba – coba mendikte Indonesia soal masalah Papua meski soal pilot Philip Mark hingga kini masih menjadi PR,” tutupnya. (fia/ade/rel/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya