Prinsip ini sejalan dengan asas due process of law atau proses hukum yang adil dalam demokrasi, yang menegaskan pentingnya proses yang jujur, adil, dan transparan sebagai dasar legitimasi.
“Dari keseluruhan dinamika persidangan, terdapat beberapa kemungkinan arah putusan MK. Pertama, MK dapat memerintahkan PSU terbatas di TPS yang terbukti bermasalah sebagai langkah untuk menjaga kepastian hukum dan integritas Pilkada,” kata Lily dalam keterangan tertulisnya, Senin (15/9).
Kemudian, kedua, MK juga bisa saja melakukan koreksi hasil suara dengan cara mengesampingkan suara yang dinyatakan tidak sah, apabila penyelenggaraan PSU ulang dianggap tidak efektif. Lebih jauh, MK juga memiliki ruang untuk menilai pelanggaran sebagai terstruktur, sistematis, dan masif, yang dapat berimplikasi pada putusan yang lebih mendasar.
Namun, tetap terbuka pula opsi bagi MK untuk menolak permohonan pemohon apabila dinilai tidak terbukti secara hukum.
“Pada akhirnya, prediksi akademik yang paling rasional adalah bahwa MK akan menegaskan kembali pentingnya prosedur sebagai dasar lahirnya substansi hasil Pilkada,” ujarnya.
“Jadi putusan sengketa PSU Gubernur Papua bukan hanya menentukan pemenang, tetapi juga menjadi preseden penting bahwa kedaulatan rakyat hanya sah jika ditempuh melalui prosedur yang benar,” papar Lily.
Pada titik inilah peran MK sebagai pengawal konstitusi dan penafsir terakhir prinsip-prinsip demokrasi akan menjadi rujukan penting bagi penguatan legitimasi Pilkada dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Seperti diketahui bersama sidang lanjutan seketa Perkara Nomor 328/PHPU.GUB-XXIII/2025 pada, Rabu 17 Agustus 2025 besok dengan agenda putusan. (jim/ade)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOSÂ https://www.myedisi.com/cenderawasihpos