Saturday, April 27, 2024
24.7 C
Jayapura

Pemekaran Hanya Kepentingan Elit Politik

TOLAK PEMEKARAN: Seratusan massa yang tergabung dalam Soliodaritas Mahasiswa Papua dan SMMP4T saat menggelar aksi demo menolak pemekaran di gedung DPR Papua, Selasa (16/7). ( FOTO : Gemla/Cepos)

Tolak Pemekaran Provinsi, Seratusan Orang Demo di DPRP

JAYAPURA-Seratusan orang massa yang berasal dari Solidaritas Mahasiswa Papua dan Masyarakat Papua peduli penolakan pemekaran Papua Tengah (SMMP4T) melakukan aksi demo damai menolak wacana pemekaran Provinsi Papua Tengah, Selasa (16/7).

Sebelum menyampaikan aspirasi ke DPR Papua, massa sebelumnya terlihat berkumpul di depan pertokoan di sekitar lampu merah Abepura. Sambil menunggu rekan-rekannya yang lain berkumpul, massa mulai menggelar orasi yang dikawal aparat Kepolisian dari Polsek Abepura.  

Selaku negosiator aksi, Elimelek Pegeme mengakui bahwa tujuan dari aksi tersebut adalah melakukan menolak terkait wacana pemekaran Provinsi Papua Tengah.

“Kami menolak karena banyak persolan di tanah Papua saat ini bisa dibilang sebagai pintu kehancuran dan diskriminisasi rasial. Melalui pemekaran ini akan mengancam kehidupan Orang Asli Papua (OAP),” ujar Pegeme saat dimintai keterangan oleh Cenderawasih Pos di sela-sela aksi, kemarin. 

Drinya mengakui pemekaran tersebut seharusnya didahului oleh sosialisasi kepada masyarakat adat atau studi kelayakan. “Seharusnya terlebih dahulu dilalui dengan langkah-langkah yang pas. Tapi kalau tidak ada sosialisasi berarti tidak ada kejelasan/kesepakatan dengan masyarakat adat sebagai pemilik negeri ini,” tegasnya. 

Lanjut Pegeme, jika wacana ini masih berkembang atau terus berjalan, pihaknya pastikan akan terus melakukan aksi bahkan lebih besar lagi.

Dalam beberapa spanduk dan pamflet yang dibawa di antaranya bertuliskan “Pemekaran bukan berdasarkan aspirasi masyaakat” menurut Pegeme merupakan kenyataan. Dimana yang melakukan wacana pemekaran ini merupakan sejumlah tokoh politik yang sudah kala bersaing di Provinsi Papua.

“Wacana ini berasal dari segelintir elit politik yang merasa sudah tidak bisa bersaing atau sudah kalah dalam sejumlah pertempuran politik di tanah Papua saat ini. Untuk itu, mereka berinisiatif melakukan wacana pemekaran,”katanya.

Pihaknya juga mengakui dampak positif dari pemekaran tersebut akan terbentuknya sebuah provinsi baru di tanah Papua namun hal ini tidak bisa mengimbangi dampak negatif yang akan timbul jika pemekaran terwujud.

“Jika pemekaran ini terwujud maka kehidupan OAP di atas tanah ini akan terancam. Atas hal inilah dasar kami melakukan penolakan dan apalagi pemerintahan sekarang saja dari segala aspek kita belum sejahtera apalagi mau pemekaran,” tegasnya.

Setelah berorasi, massa kemudian bergerak ke gedung DPR Papua menggunakan lima truk dan puluhan sepeda motor. 

Baca Juga :  Sandiaga Jamin Pembukaan PON Standar Internasional

Dari pantauan Cenderawasih Pos, massa tiba di gedung DPR Papua pukul 13.20 WIT setelah sebelumnya di daerah pelabuhan memaksa ingin melakukan long march. Namun niat ini gagal karena polisi menolak aksi jalan kaki tersebut. 

Setelah berorasi sekitar 15 menit, para koordinator lantas meminta untuk anggota DPR yang  bisa menemui mereka. Aksi ini untuk merespon isu akan didorong DOB Papua Tengah. Mereka menolak karena menganggap  yang dibutuhkan Papua bukan pemekaran dan pemekaran diyakini tidak akan menjawab persoalan di Papua. 

 Isu pemekaran ini disebut-sebut menjadi senjata ampuh untuk memecah kekuatan kelompok yang selama ini berseberangan dengan NKRI. Nah cara yang digunakan adalah dengan melahirkan daerah pemerintahan baru. 

Alhasil kelompok-kelompok yang  merasa akan kehilangan kekuatan tersebut karena dipecah, terus melakukan aksi penolakan. 

Setelah berorasi dan tidak  ada satupun yang menemui pendemo dan setelah cukup lama menunggu akhirnya beberapa koordinator memaksa untuk masuk dan mencari sendiri. 

 Kelompok kecil  ini akhirnya berhasil sampai ke ruang-ruang komisi dan terus berteriak mencari anggota yang ada.  Saat itu memang tak terlihat anggota DPRP karena menurut laporan sebagian besar sedang melayat anggota DPR, Yan Ayomi yang baru meninggal. 

Namun sayangnya keterangan ini tetap tak dipercaya begitu saja  dan disebut subjektif. Kelompok yang penasaran ini terus mendesak dan akhirnya berhasil naik ke ruang komisi-komisi  sambil terus mencibir kinerja DPRP.

Meski sebelumnya para perwakilan pendemo sudah diberikan penjelasan bahwa anggota DPRP banyak yang pergi melayat dan sudah dikomunikasikan untuk bisa segera, akan tetapi beberapa perwakilan pendemo bersikeras ingin mengecek satu persatu ruangan. Ada juga yang nyeletuk jika mereka dibubarkan oleh pihak keamanan maka mereka akan balik membubarkan DPR.

Setelah negosiasi gagal, sekitar 12 orang akhirnya naik dan masuk ke beberapa ruangan, di antaranya ruangan Ketua DPRP, Dr. Yunus Wonda dan Komisi III. “Bikin malu saja, mereka di sini enak-enak kami yang menyuarakan aspirasi tidak dilayani,”  gerutu salah satu pendemo. 

Koordinator aksi demo, Ayus Heluka menyampaikan bahwa  masyarakat tak membutuhkan pemekaran mengingat pemekaran hanya untuk memiskinkan rakyat. Yang menikmati hasilnya adalah para pejabat. Ia menegaskan bahwa pemekaran Papua Tengah hanya untuk kepentingan perut dan kekuasaan dan jika ingin hidup bebas maka penawasnya hanya satu yakni merdeka. 

Baca Juga :  Bertambah Satu Cawabub Terpapar Covid-19

 Orator lainnya juga mengingatkan anggota DPR untuk memanfaatkan uang secara baik-baik sebab bila tidak maka ketika tak lagi terpilih maka anggota DPR akan kembali turun ke jalan dan ikut menyuarakan hal-hal serupa. Disimpulkan bahwa kelompok mahasiswa ini. 

Dari aksi ini ada 11 anggota DPRP yang menemui pendemo, yaitu, Thomas Sondegau, Yulius Miagoni, Yulius Rumboirussy, Kusmanto. Nason Uti, Arnold Walilo, Jhon Wilil, Yotam Blasi, Ine Shyntia Gebze, Marthinus Adii dan Laurenus Kadepa.

Thomas menjelaskan bahwa  usai menerima apirasi ini nantinya akan dilanjutkan ke forum  untuk dirapatkan dengan komisi terkait. Kemudian Bamus akan menentukan selanjutnya seperti apa  sebelum dilaporkan ke pimpinan. 

Untuk kewenangan pemekaran kata Thomas itu ada di tingkat pusat. Hanya saja akhir-akhir ini kepentingan kabupaten kota tak lagi melalui DPR tapi langsung ke pemerintah pusat. 

 “Yang perlu dikaji adalah bila  tak ada pemekaran Papua akan seperti apa, bila dimekarkan juga  Papua seperti apa. Pendemo juga tak bisa langsung mendesak langsung ditangani sebab semua ada mekanisme,” bebernya. 

Di sini ia menegaskan bahwa anggota DPR tak tidur dan bila ingin berbicara pemekaran maka itu tak hanya Papua Tengah. Publik harus memahami bahwa saat ini ada wacana untuk memekarkan beberapa provinsi di Papua sehingga  akan lebih tepat bila dipelajari dulu baru sampaikan. 

 Yulius Miagoni menambahkan bahwa berbicara pemekaran sebaiknya mulai dari dokumen dan pengakuan. “Bila sudah dikantongi dan bukan untuk kepentngan pribadi maka siapapun dia akan duduk, bersama,” katanya.  

Namun di sini Yulius juga mengyinggung soal tim siluman dan pemekaran yang hanya untuk kepentingan pribadi untuk jabatan. “Itu yang diprotes. Dasar demo adalah saat ini orang Papua sedikit sekali dan masih jadi penonton. Nah dimekarkan lagi akan jadi apa orang Papua. Jika pendduk banyak dan hasilnya pembangunan minimal 80 persen dinikmati penduduk asli tidak apa tapi nyatanya?,” singgungnya. 

 Setelah berorasi secara bergantian, para pendemo kemudian menyerahkan catatan yang harus dijadikan atensi oleh DPR. Setelah itu para pendemo akhirnya pulang. (kim/ade/nat)

TOLAK PEMEKARAN: Seratusan massa yang tergabung dalam Soliodaritas Mahasiswa Papua dan SMMP4T saat menggelar aksi demo menolak pemekaran di gedung DPR Papua, Selasa (16/7). ( FOTO : Gemla/Cepos)

Tolak Pemekaran Provinsi, Seratusan Orang Demo di DPRP

JAYAPURA-Seratusan orang massa yang berasal dari Solidaritas Mahasiswa Papua dan Masyarakat Papua peduli penolakan pemekaran Papua Tengah (SMMP4T) melakukan aksi demo damai menolak wacana pemekaran Provinsi Papua Tengah, Selasa (16/7).

Sebelum menyampaikan aspirasi ke DPR Papua, massa sebelumnya terlihat berkumpul di depan pertokoan di sekitar lampu merah Abepura. Sambil menunggu rekan-rekannya yang lain berkumpul, massa mulai menggelar orasi yang dikawal aparat Kepolisian dari Polsek Abepura.  

Selaku negosiator aksi, Elimelek Pegeme mengakui bahwa tujuan dari aksi tersebut adalah melakukan menolak terkait wacana pemekaran Provinsi Papua Tengah.

“Kami menolak karena banyak persolan di tanah Papua saat ini bisa dibilang sebagai pintu kehancuran dan diskriminisasi rasial. Melalui pemekaran ini akan mengancam kehidupan Orang Asli Papua (OAP),” ujar Pegeme saat dimintai keterangan oleh Cenderawasih Pos di sela-sela aksi, kemarin. 

Drinya mengakui pemekaran tersebut seharusnya didahului oleh sosialisasi kepada masyarakat adat atau studi kelayakan. “Seharusnya terlebih dahulu dilalui dengan langkah-langkah yang pas. Tapi kalau tidak ada sosialisasi berarti tidak ada kejelasan/kesepakatan dengan masyarakat adat sebagai pemilik negeri ini,” tegasnya. 

Lanjut Pegeme, jika wacana ini masih berkembang atau terus berjalan, pihaknya pastikan akan terus melakukan aksi bahkan lebih besar lagi.

Dalam beberapa spanduk dan pamflet yang dibawa di antaranya bertuliskan “Pemekaran bukan berdasarkan aspirasi masyaakat” menurut Pegeme merupakan kenyataan. Dimana yang melakukan wacana pemekaran ini merupakan sejumlah tokoh politik yang sudah kala bersaing di Provinsi Papua.

“Wacana ini berasal dari segelintir elit politik yang merasa sudah tidak bisa bersaing atau sudah kalah dalam sejumlah pertempuran politik di tanah Papua saat ini. Untuk itu, mereka berinisiatif melakukan wacana pemekaran,”katanya.

Pihaknya juga mengakui dampak positif dari pemekaran tersebut akan terbentuknya sebuah provinsi baru di tanah Papua namun hal ini tidak bisa mengimbangi dampak negatif yang akan timbul jika pemekaran terwujud.

“Jika pemekaran ini terwujud maka kehidupan OAP di atas tanah ini akan terancam. Atas hal inilah dasar kami melakukan penolakan dan apalagi pemerintahan sekarang saja dari segala aspek kita belum sejahtera apalagi mau pemekaran,” tegasnya.

Setelah berorasi, massa kemudian bergerak ke gedung DPR Papua menggunakan lima truk dan puluhan sepeda motor. 

Baca Juga :  Umat Katolik Harus Meneladani Kisah Sengsara Yesus

Dari pantauan Cenderawasih Pos, massa tiba di gedung DPR Papua pukul 13.20 WIT setelah sebelumnya di daerah pelabuhan memaksa ingin melakukan long march. Namun niat ini gagal karena polisi menolak aksi jalan kaki tersebut. 

Setelah berorasi sekitar 15 menit, para koordinator lantas meminta untuk anggota DPR yang  bisa menemui mereka. Aksi ini untuk merespon isu akan didorong DOB Papua Tengah. Mereka menolak karena menganggap  yang dibutuhkan Papua bukan pemekaran dan pemekaran diyakini tidak akan menjawab persoalan di Papua. 

 Isu pemekaran ini disebut-sebut menjadi senjata ampuh untuk memecah kekuatan kelompok yang selama ini berseberangan dengan NKRI. Nah cara yang digunakan adalah dengan melahirkan daerah pemerintahan baru. 

Alhasil kelompok-kelompok yang  merasa akan kehilangan kekuatan tersebut karena dipecah, terus melakukan aksi penolakan. 

Setelah berorasi dan tidak  ada satupun yang menemui pendemo dan setelah cukup lama menunggu akhirnya beberapa koordinator memaksa untuk masuk dan mencari sendiri. 

 Kelompok kecil  ini akhirnya berhasil sampai ke ruang-ruang komisi dan terus berteriak mencari anggota yang ada.  Saat itu memang tak terlihat anggota DPRP karena menurut laporan sebagian besar sedang melayat anggota DPR, Yan Ayomi yang baru meninggal. 

Namun sayangnya keterangan ini tetap tak dipercaya begitu saja  dan disebut subjektif. Kelompok yang penasaran ini terus mendesak dan akhirnya berhasil naik ke ruang komisi-komisi  sambil terus mencibir kinerja DPRP.

Meski sebelumnya para perwakilan pendemo sudah diberikan penjelasan bahwa anggota DPRP banyak yang pergi melayat dan sudah dikomunikasikan untuk bisa segera, akan tetapi beberapa perwakilan pendemo bersikeras ingin mengecek satu persatu ruangan. Ada juga yang nyeletuk jika mereka dibubarkan oleh pihak keamanan maka mereka akan balik membubarkan DPR.

Setelah negosiasi gagal, sekitar 12 orang akhirnya naik dan masuk ke beberapa ruangan, di antaranya ruangan Ketua DPRP, Dr. Yunus Wonda dan Komisi III. “Bikin malu saja, mereka di sini enak-enak kami yang menyuarakan aspirasi tidak dilayani,”  gerutu salah satu pendemo. 

Koordinator aksi demo, Ayus Heluka menyampaikan bahwa  masyarakat tak membutuhkan pemekaran mengingat pemekaran hanya untuk memiskinkan rakyat. Yang menikmati hasilnya adalah para pejabat. Ia menegaskan bahwa pemekaran Papua Tengah hanya untuk kepentingan perut dan kekuasaan dan jika ingin hidup bebas maka penawasnya hanya satu yakni merdeka. 

Baca Juga :  Di Pegunungan, LPMP Temukan Dua Sekolah Fiktif

 Orator lainnya juga mengingatkan anggota DPR untuk memanfaatkan uang secara baik-baik sebab bila tidak maka ketika tak lagi terpilih maka anggota DPR akan kembali turun ke jalan dan ikut menyuarakan hal-hal serupa. Disimpulkan bahwa kelompok mahasiswa ini. 

Dari aksi ini ada 11 anggota DPRP yang menemui pendemo, yaitu, Thomas Sondegau, Yulius Miagoni, Yulius Rumboirussy, Kusmanto. Nason Uti, Arnold Walilo, Jhon Wilil, Yotam Blasi, Ine Shyntia Gebze, Marthinus Adii dan Laurenus Kadepa.

Thomas menjelaskan bahwa  usai menerima apirasi ini nantinya akan dilanjutkan ke forum  untuk dirapatkan dengan komisi terkait. Kemudian Bamus akan menentukan selanjutnya seperti apa  sebelum dilaporkan ke pimpinan. 

Untuk kewenangan pemekaran kata Thomas itu ada di tingkat pusat. Hanya saja akhir-akhir ini kepentingan kabupaten kota tak lagi melalui DPR tapi langsung ke pemerintah pusat. 

 “Yang perlu dikaji adalah bila  tak ada pemekaran Papua akan seperti apa, bila dimekarkan juga  Papua seperti apa. Pendemo juga tak bisa langsung mendesak langsung ditangani sebab semua ada mekanisme,” bebernya. 

Di sini ia menegaskan bahwa anggota DPR tak tidur dan bila ingin berbicara pemekaran maka itu tak hanya Papua Tengah. Publik harus memahami bahwa saat ini ada wacana untuk memekarkan beberapa provinsi di Papua sehingga  akan lebih tepat bila dipelajari dulu baru sampaikan. 

 Yulius Miagoni menambahkan bahwa berbicara pemekaran sebaiknya mulai dari dokumen dan pengakuan. “Bila sudah dikantongi dan bukan untuk kepentngan pribadi maka siapapun dia akan duduk, bersama,” katanya.  

Namun di sini Yulius juga mengyinggung soal tim siluman dan pemekaran yang hanya untuk kepentingan pribadi untuk jabatan. “Itu yang diprotes. Dasar demo adalah saat ini orang Papua sedikit sekali dan masih jadi penonton. Nah dimekarkan lagi akan jadi apa orang Papua. Jika pendduk banyak dan hasilnya pembangunan minimal 80 persen dinikmati penduduk asli tidak apa tapi nyatanya?,” singgungnya. 

 Setelah berorasi secara bergantian, para pendemo kemudian menyerahkan catatan yang harus dijadikan atensi oleh DPR. Setelah itu para pendemo akhirnya pulang. (kim/ade/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya