Saturday, April 27, 2024
33.7 C
Jayapura

Waket ULMWP Jadi Tersangka

Kombes Pol AM Kamal ( FOTO : Elfira/Cepos)

Elsham Papua: Hentikan Upaya Kriminalisasi Aktivis dan Masyarakat Papua

JAYAPURA-Penyidik Direktorat Reskrim Umum (Dirkrimum) Polda Papua menetapkan Wakil Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), BT sebagai tersangka dalam kerusuhan di Papua yang terjadi Kamis (29/8) lalu. 

Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol AM Kamal menegaskan, penetapan tersangka terhadap BT sebagaimana hasil pemeriksaan saksi dan bukti-bukti yang dimiliki Polda Papua. 

Tersangka menurut Kamal dijerat dengan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan dalam kerusuhan di Papua. 

“Dia  sudah ditetapkan sebagai tersangka dengan Pasal 160 KUHP,” tegas Kamal kepada wartawan, Kamis (12/9).

Menurut Kamal, BT cukup berpengaruh dalam struktur organisasinya. Untuk itu, Polda Papua akan mendalami peran dari tersangka. “Nanti akan kita bongkar,” tutur Kamal saat disinggung terkait dengan peran BT. 

Polda Papua juga memburu beberapa terduga pelaku yang disinyalir terlibat dalam kerusuhan di Jayapura maupun daerah lainnya. Adapun nama-nama terduga pelaku ini muncul ke permukaan dari hasil keterangan tersangka maupun saksi yang sudah diamankan sebelumnya.

“Sebelumnya kami sudah memeriksa tersangka dan saksi-saksi. Ada beberapa nama orang yang diduga terlibat. Mereka ini masih kami buru,” katanya.

Terkait dengan peran SI, Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Mimika dalam kerusuhan di Papua  yang diamankan di depan Kampus Universitas Cenderawasih, Rabu (11/9) Kamal mengaku masih melakukan pendalaman.

Sebelumnya, Tim Polda Papua menangkap Wakil Ketua ULMWP, BT di kawasan Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua, Senin (9/9) lalu. 

Dua hari kemudian, giliran Ketua KNPB Mimika, SI ditangkap Tim Gabungan di depan Gapura Universitas Cenderawasih, Rabu (11/9).

Selain SI, aparat juga mengamankan AW dan YWK sebagai saksi. Barang bukti yang turut diamankan yakni empat ponsel, uang tunai Rp 5,5 juta, sebuah flash disk dan mobil dikendarai ketiganya.

SI dalam kerusuhan di Jayapura beberapa waktu lalu diduga membantu AK selaku Ketua KNPB mengecek  KNPB wilayah. 

Selain itu SI diduga mengatur pergerakan KNPB Mimika dan menginstruksikan mobilisasi massa. Dirinya juga diduga memobilisasi massa dari Sentani dan mengirim instruksi dari AK kepada seluruh pimpinan KNPB wilayah.

Sebelum kasus tersebut, SI sudah memiliki beberapa catatan kriminal di antaranya pada 19 Oktober 2012 terlibat kasus bahan peledak (Handak) dan makar, dan divonis vonis 8 bulan. Kemudian pada 5 April tahun 2016, SI kembali terlibat kasus makar dan kembali menerima vonis 8 bulan.

Terakhir pada September 2018, SI masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) kasus makar yang ditangani Ditreskrimum Polda Papua. 

Kasus tersebut merupakan pengembangan kasus makar WNA atas nama YF.

Terkait dengan demo yang berakhir anarkis di Papua, Polda Papua telah menetapkan sebanyak 64 orang sebagai tersangka.

Koordinator JDP John Bunay (tengah) didampingi angota JDP saat menyampaikan keterangan pers, Kamis, (12/9). ( FOTO : Noel/Cepos)

Sementara itu, Jaringan Damai Papua (JDP) menilai adanya serangkaian peristiwa penetapan tersangka dan penangkapan sejumlah aktivis dalam domostrasi rasis di Papua dan wilayah Indonesia lain oleh aparat negara, dinilai tidak akan mematikan semangat perjuangan Papua merdeka. Untuk itu, aparat negara harus memilih jalan damai.

Baca Juga :  Dibujuk Tak Mengungsi ke Hutan

“Percaya sama saya! Ketika menangkap justru pemerintah memberikan semangat  bagi mereka yang ditahan  untuk memisahkan diri dan melawan semakin berkobar. Karena tidak pernah dengan menangkap sesuatu lalu habis,” kata Koordinator JDP John Bunay kepada media belum lama ini di Jayapura.

Ia mengatakan berbicara soal rasa, itu tidak bisa diselesaikan dengan penangkapan. Dimana orang Papua hari ini merasa ketidakadilan dan diskriminasi. “Rasa itu tidak bisa dipadam dengan penangkapan,” tegasnya.

Untuk itu, ia  terus menawarkan agar dialog yang JDP tawarkan dengan melibatkan masyarakat Papua di tujuh wilayah adat di para – para masing-masing, adalah langka awal yang diakukan untuk mendapat informasi langsung.

“Karena damai itu soal perasaan bukan apa yang kira pikirkan. Maka apa yang orang rasakan kita harus duduk dan dengar dulu, agar bara yang merupakan sumber api itu paling kurang kita angkat. Karena selama ini pemerintah hanya melihat asap dan api untuk menyelesaikan konflik di Papua, tapi tidak melihat bara sebagai sumber api dan asap,” tuturnya.

Pendekatan yang dipakai sekarang dengan pendekatatan militer menurutnya tidak akan pernah menyelesaikan masalah Papua. 

Bahkan hingga adanya pengancaman terhadap para pekerja media yang secara sadar mengungkapkan kebenaran di Papua yang disembunyikan dari media.

“Hari ini ada penangkapan orang-orang yang vokal, dan teman – teman di media juga mungkin ditelepon dan diteror. Ini sebenarnya bukan pendekatan yang bijaksana dan menurut saya lucu,” tuturnya.

Dijelaskan, sebagai akumulasi dari belajar maka lahirlah anak-anak Papua yang kritis tentang negerinya atas ketidak adilan dan muncul jurnalis asli Papua yang bisa menulis soal kondisi ketidakadilan dan pelangaran HAM di Papua. Untuk itu, pemerintah tidak perlu takut dan mengancam mereka karena ini negeri mereka. Untuk itu, meminta agar aparat negara jangan hanya main tangkap.

“Saya merasa jika ada yang melakukan penagkapan sebaiknya tidak usalah, karena merasa tidak Pas,” ujarnya.

Ia pun berpendapat dalam berbicara soal masalah Papua harus melibatkan orang Papua yang mengetahui masalah sesuai menentukan langsung dari masyarakat Papua.

Ditambahkan, satu hal yang paling penting adalah tidak boleh saling curiga. “Ini poin yang penting dalam dialog,” ujarnya, 

Secara terpisah, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua, Pdt. Matheus Adadikam dalam menyikapi upaya kriminalisasi pasal makar terhadap pembela dan aktivis HAM serta aktivis masyarakat adat. Usai aksi protes rakyat Papua terhadap ujaran rasisme dan dugaan intimidasi serta persekusi yang diduga dilakukan oknum anggota TNI, Ormas radikal terhadap mahasiswa Papua yang terjadi pada tanggal 16-17 Agustus 2019 di Asrama Kamasan III Surbaya, Jawa Timur.

Baca Juga :  Pemkab Jayawijaya Minta Maaf

“Aksi memprotes rasisme yang dilakukan di beberapa kota besar di Papua dan Papua Barat yang dilakukan secara spontan dalam menanggapi tindakan rasisme di Malang, Semarang dan Surabaya pada bulan Agustus 2019 merupakan bagian langsung dari dari perjuangan HAM secara internasional dan di Indonesia dalam rangka ‘membunuh’ pandangan rasisme yang menjadi musuh bersama manusia di dunia,” katanya kepada media ini di kator Elsham Papua, Kamis (11/9).

Matheus Adadikam mengatakan, berujung dari aksi protes yang massif, terjadi penangkapan dan penetapan tersangka terhadap aktivis HAM Paulus Surya Anta Ginting dengan menggunakan pasal  makar. Serta penetapan tersangka terhadap  pembela HAM Veronica Koman menggunakan pasal provokator dan UU ITE.

“Selain itu aparat kepolisian juga mengirim surat panggilan saksi kepada aktkivis HAM, aktivis masyarakat adat di Fak-fak antara lain, Fredy Warpor, Samuel Rohrohmana, Abner Hegemur, Marsya Hegemur, dan ketua Dewan Adat Papua wilayah Bomberai. Ini merupakan tindakan pengkhianatan terhadap HAM khususnya anti rasisme secara nasional dan internasional,” ujarnya.

Mateus Adadikam mengatakan, sebelum melakukan aksi anti rasisme di Fak-fak, penaggung jawab umum aksi telah melayangkan surat pemberitahuan kepada pihak keamanan dan telah mendapatkan surat tanda terima pemberitahuan.

Hal ini menurutnya menunjukkan bahwa aksi anti rasisme di Fak-fak telah dilakukan sesuai dengan mekanisme demokrasi yang dijamin dalam UU Nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.  

“Sehingga pemanggilan bagi aktivis HAM itu bagian dari fakta pembungkaman ruang demokrasi bagi perjuangan anti rasisme di Indoensia,” katanya.  

Dikatakan, tindakan rasisme merupakan tindakan yang menjadi musuh bersama pejuang HAM di seluruh dunia sesuai dengan prinsip setiap orang berhak atas semua HAM dan kebebasan-kebebasan yang tercantum dalam deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apapun. 

“Sebagaimana diatur pada pasal 2, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Dalam Konteks Indonesia, anti rasisme secara yuridis telah diatur pada pasal 28b ayat (2) dan pasal 28d ayat (1), UUD 1945.  Selain itu diatur juga pada pasal 3 ayat (3), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi Ras dan Etnik,” bebernya.

Sementara itu,  Paul Mambrasar mengatakan, Elsham Papua telah menegaskan kepada Kapolri untuk menghentikan tindakan rassisme di Indonesia. “Kapolri untuk menghentikan kriminalisasi pasal Makar terhaddap aktvis HAM, Pembela HAM, Aktivis Elsham Papua dan aktivis masyarkat adat,” tegasnya. 

Mambrasar mengatakan, Kapolri segera memebebaskan tanpa syarat Paulus Suray Anta Ginting dan mencabut satus tersangka terhadap Veronica Koman. 

“Kapolda Papua dan Papua Barat, Kapolres Fak-fak segera hentikan upaya kriminalisasi pasal makar terhadap pemanggilan saksi kepada aktkivis HAM, aktivis masyarakat adat di Fak-fak,” pungkasnya. (fia/oel/nat) 

Kombes Pol AM Kamal ( FOTO : Elfira/Cepos)

Elsham Papua: Hentikan Upaya Kriminalisasi Aktivis dan Masyarakat Papua

JAYAPURA-Penyidik Direktorat Reskrim Umum (Dirkrimum) Polda Papua menetapkan Wakil Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), BT sebagai tersangka dalam kerusuhan di Papua yang terjadi Kamis (29/8) lalu. 

Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol AM Kamal menegaskan, penetapan tersangka terhadap BT sebagaimana hasil pemeriksaan saksi dan bukti-bukti yang dimiliki Polda Papua. 

Tersangka menurut Kamal dijerat dengan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan dalam kerusuhan di Papua. 

“Dia  sudah ditetapkan sebagai tersangka dengan Pasal 160 KUHP,” tegas Kamal kepada wartawan, Kamis (12/9).

Menurut Kamal, BT cukup berpengaruh dalam struktur organisasinya. Untuk itu, Polda Papua akan mendalami peran dari tersangka. “Nanti akan kita bongkar,” tutur Kamal saat disinggung terkait dengan peran BT. 

Polda Papua juga memburu beberapa terduga pelaku yang disinyalir terlibat dalam kerusuhan di Jayapura maupun daerah lainnya. Adapun nama-nama terduga pelaku ini muncul ke permukaan dari hasil keterangan tersangka maupun saksi yang sudah diamankan sebelumnya.

“Sebelumnya kami sudah memeriksa tersangka dan saksi-saksi. Ada beberapa nama orang yang diduga terlibat. Mereka ini masih kami buru,” katanya.

Terkait dengan peran SI, Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Mimika dalam kerusuhan di Papua  yang diamankan di depan Kampus Universitas Cenderawasih, Rabu (11/9) Kamal mengaku masih melakukan pendalaman.

Sebelumnya, Tim Polda Papua menangkap Wakil Ketua ULMWP, BT di kawasan Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua, Senin (9/9) lalu. 

Dua hari kemudian, giliran Ketua KNPB Mimika, SI ditangkap Tim Gabungan di depan Gapura Universitas Cenderawasih, Rabu (11/9).

Selain SI, aparat juga mengamankan AW dan YWK sebagai saksi. Barang bukti yang turut diamankan yakni empat ponsel, uang tunai Rp 5,5 juta, sebuah flash disk dan mobil dikendarai ketiganya.

SI dalam kerusuhan di Jayapura beberapa waktu lalu diduga membantu AK selaku Ketua KNPB mengecek  KNPB wilayah. 

Selain itu SI diduga mengatur pergerakan KNPB Mimika dan menginstruksikan mobilisasi massa. Dirinya juga diduga memobilisasi massa dari Sentani dan mengirim instruksi dari AK kepada seluruh pimpinan KNPB wilayah.

Sebelum kasus tersebut, SI sudah memiliki beberapa catatan kriminal di antaranya pada 19 Oktober 2012 terlibat kasus bahan peledak (Handak) dan makar, dan divonis vonis 8 bulan. Kemudian pada 5 April tahun 2016, SI kembali terlibat kasus makar dan kembali menerima vonis 8 bulan.

Terakhir pada September 2018, SI masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) kasus makar yang ditangani Ditreskrimum Polda Papua. 

Kasus tersebut merupakan pengembangan kasus makar WNA atas nama YF.

Terkait dengan demo yang berakhir anarkis di Papua, Polda Papua telah menetapkan sebanyak 64 orang sebagai tersangka.

Koordinator JDP John Bunay (tengah) didampingi angota JDP saat menyampaikan keterangan pers, Kamis, (12/9). ( FOTO : Noel/Cepos)

Sementara itu, Jaringan Damai Papua (JDP) menilai adanya serangkaian peristiwa penetapan tersangka dan penangkapan sejumlah aktivis dalam domostrasi rasis di Papua dan wilayah Indonesia lain oleh aparat negara, dinilai tidak akan mematikan semangat perjuangan Papua merdeka. Untuk itu, aparat negara harus memilih jalan damai.

Baca Juga :  KKB Klaim Sandera Pilot Susi Air

“Percaya sama saya! Ketika menangkap justru pemerintah memberikan semangat  bagi mereka yang ditahan  untuk memisahkan diri dan melawan semakin berkobar. Karena tidak pernah dengan menangkap sesuatu lalu habis,” kata Koordinator JDP John Bunay kepada media belum lama ini di Jayapura.

Ia mengatakan berbicara soal rasa, itu tidak bisa diselesaikan dengan penangkapan. Dimana orang Papua hari ini merasa ketidakadilan dan diskriminasi. “Rasa itu tidak bisa dipadam dengan penangkapan,” tegasnya.

Untuk itu, ia  terus menawarkan agar dialog yang JDP tawarkan dengan melibatkan masyarakat Papua di tujuh wilayah adat di para – para masing-masing, adalah langka awal yang diakukan untuk mendapat informasi langsung.

“Karena damai itu soal perasaan bukan apa yang kira pikirkan. Maka apa yang orang rasakan kita harus duduk dan dengar dulu, agar bara yang merupakan sumber api itu paling kurang kita angkat. Karena selama ini pemerintah hanya melihat asap dan api untuk menyelesaikan konflik di Papua, tapi tidak melihat bara sebagai sumber api dan asap,” tuturnya.

Pendekatan yang dipakai sekarang dengan pendekatatan militer menurutnya tidak akan pernah menyelesaikan masalah Papua. 

Bahkan hingga adanya pengancaman terhadap para pekerja media yang secara sadar mengungkapkan kebenaran di Papua yang disembunyikan dari media.

“Hari ini ada penangkapan orang-orang yang vokal, dan teman – teman di media juga mungkin ditelepon dan diteror. Ini sebenarnya bukan pendekatan yang bijaksana dan menurut saya lucu,” tuturnya.

Dijelaskan, sebagai akumulasi dari belajar maka lahirlah anak-anak Papua yang kritis tentang negerinya atas ketidak adilan dan muncul jurnalis asli Papua yang bisa menulis soal kondisi ketidakadilan dan pelangaran HAM di Papua. Untuk itu, pemerintah tidak perlu takut dan mengancam mereka karena ini negeri mereka. Untuk itu, meminta agar aparat negara jangan hanya main tangkap.

“Saya merasa jika ada yang melakukan penagkapan sebaiknya tidak usalah, karena merasa tidak Pas,” ujarnya.

Ia pun berpendapat dalam berbicara soal masalah Papua harus melibatkan orang Papua yang mengetahui masalah sesuai menentukan langsung dari masyarakat Papua.

Ditambahkan, satu hal yang paling penting adalah tidak boleh saling curiga. “Ini poin yang penting dalam dialog,” ujarnya, 

Secara terpisah, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua, Pdt. Matheus Adadikam dalam menyikapi upaya kriminalisasi pasal makar terhadap pembela dan aktivis HAM serta aktivis masyarakat adat. Usai aksi protes rakyat Papua terhadap ujaran rasisme dan dugaan intimidasi serta persekusi yang diduga dilakukan oknum anggota TNI, Ormas radikal terhadap mahasiswa Papua yang terjadi pada tanggal 16-17 Agustus 2019 di Asrama Kamasan III Surbaya, Jawa Timur.

Baca Juga :  Tewas Mengenaskan, Wanita 39 Tahun Diduga Diperkosa

“Aksi memprotes rasisme yang dilakukan di beberapa kota besar di Papua dan Papua Barat yang dilakukan secara spontan dalam menanggapi tindakan rasisme di Malang, Semarang dan Surabaya pada bulan Agustus 2019 merupakan bagian langsung dari dari perjuangan HAM secara internasional dan di Indonesia dalam rangka ‘membunuh’ pandangan rasisme yang menjadi musuh bersama manusia di dunia,” katanya kepada media ini di kator Elsham Papua, Kamis (11/9).

Matheus Adadikam mengatakan, berujung dari aksi protes yang massif, terjadi penangkapan dan penetapan tersangka terhadap aktivis HAM Paulus Surya Anta Ginting dengan menggunakan pasal  makar. Serta penetapan tersangka terhadap  pembela HAM Veronica Koman menggunakan pasal provokator dan UU ITE.

“Selain itu aparat kepolisian juga mengirim surat panggilan saksi kepada aktkivis HAM, aktivis masyarakat adat di Fak-fak antara lain, Fredy Warpor, Samuel Rohrohmana, Abner Hegemur, Marsya Hegemur, dan ketua Dewan Adat Papua wilayah Bomberai. Ini merupakan tindakan pengkhianatan terhadap HAM khususnya anti rasisme secara nasional dan internasional,” ujarnya.

Mateus Adadikam mengatakan, sebelum melakukan aksi anti rasisme di Fak-fak, penaggung jawab umum aksi telah melayangkan surat pemberitahuan kepada pihak keamanan dan telah mendapatkan surat tanda terima pemberitahuan.

Hal ini menurutnya menunjukkan bahwa aksi anti rasisme di Fak-fak telah dilakukan sesuai dengan mekanisme demokrasi yang dijamin dalam UU Nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.  

“Sehingga pemanggilan bagi aktivis HAM itu bagian dari fakta pembungkaman ruang demokrasi bagi perjuangan anti rasisme di Indoensia,” katanya.  

Dikatakan, tindakan rasisme merupakan tindakan yang menjadi musuh bersama pejuang HAM di seluruh dunia sesuai dengan prinsip setiap orang berhak atas semua HAM dan kebebasan-kebebasan yang tercantum dalam deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apapun. 

“Sebagaimana diatur pada pasal 2, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Dalam Konteks Indonesia, anti rasisme secara yuridis telah diatur pada pasal 28b ayat (2) dan pasal 28d ayat (1), UUD 1945.  Selain itu diatur juga pada pasal 3 ayat (3), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi Ras dan Etnik,” bebernya.

Sementara itu,  Paul Mambrasar mengatakan, Elsham Papua telah menegaskan kepada Kapolri untuk menghentikan tindakan rassisme di Indonesia. “Kapolri untuk menghentikan kriminalisasi pasal Makar terhaddap aktvis HAM, Pembela HAM, Aktivis Elsham Papua dan aktivis masyarkat adat,” tegasnya. 

Mambrasar mengatakan, Kapolri segera memebebaskan tanpa syarat Paulus Suray Anta Ginting dan mencabut satus tersangka terhadap Veronica Koman. 

“Kapolda Papua dan Papua Barat, Kapolres Fak-fak segera hentikan upaya kriminalisasi pasal makar terhadap pemanggilan saksi kepada aktkivis HAM, aktivis masyarakat adat di Fak-fak,” pungkasnya. (fia/oel/nat) 

Berita Terbaru

Artikel Lainnya