Sunday, April 28, 2024
27.7 C
Jayapura

Eksepsi PH: Minta Hakim Bebaskan VY

JAYAPURA-Setelah menjalani proses pembantaran (perawatan kesehatan), terdakwa dugaan kasus makar,  Viktor Frederik Yeimo (VY) selaku Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) kembali menjalani proses sidang di Pengadilan Negeri Jayapura, selasa, (12/1) dengan agenda pembacaan surat eksepsi (Keberatan) dari tim kuasa hukum terdakwa.

Pada sidang kali ini terdakwa VY, hadir secara tatap muka diruang persidangan dengan didampingi kuasa hukumnya, yaitu, Emanuel Gobey, Latifa Anum Siregar, Gustaf R Kawer, Yulius Lala’ar, Alpius Manufandu, Yustinus Haluk. Sidang dipimpin, oleh, Majselis hakim, Mathius, SH., M.H, (Ketua) didampingi hakim anggota, Andi Asmuruf, SH dan Lin Caroll Hamadi, S. H.

 Adapun eksepsi yang dibacakan oleh kuasa hukum terdakwa secara bergantian, yang menegaskan bahwa prosedur prosedur dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap penetapan Victor Yeimo sebagai terdakwa dugaan kasus makar tidak sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh KUHAP, sehingga seluruh proses penyidikan yang dilakukan sampai dengan terbitnya surat dakwaan JPU menjadi tidak sah, tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap menguraikan tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa.

Sehingga tim Penasehat Hukum Terdakwa mohon kepada Majelis Hakim yang untuk menerima eksepsi yang mereka ajukan secara keseluruhan, lantaran proses pemeriksaan pendahuluan terhadap terdakwa adalah cacat hukum. Sebab  surat dakwaan yang diajukan JPU tidak jelas, tidak cermat dan tidak lengkap.

” Kami harap majelis hakim dapat membatalkan surat dakawaan jaksa penuntut umum, demi hukum atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

Hal lain kami juga meminta agar membebaskan terdakwa dari masa tahananya dan merehabilitasi nama baik terdakwa,” tegas Kuasa Hukum Terdawka dalam surat Eksepsi yang mereka bacakan spada saat sidang.

Adapun dasar dari eksepi yang mereka ajukan, karena menilai bahwa Jaksa Penuntut Umum telah mengetahui fakta kasus makar tersebut tetapi tidak mengemukakannya secara berimbang dalam surat dakwaan. Sehingga melalui sidang eksepsi tersebut kuasa hukum terdakwa pun menjelaskan fakta fakta yang terjadi dimana kejadian demo anti rasisme bermula dari situasi Mahasiswa Papua di Kota Surabaya, pada 16 Agustus 2019 lalu yang menyerangan dan melakukan pengepungan terhadap Asrama Kamasan Papua di Surabaya oleh Ormas bersama dengan aparat gabungan TNI dan POLRI sambil berteriak serta melontarkan kata kata makian dan ucapan berbau rasis.

Peristiwa ini disebabkan karena adanya bendera merah putih yang ditemukan di selokan dan mahasiswa Papua yang dituduh sebagai pihak yang membuang bendera diselokan. Sayangnya hal itu  tanpa dilakukan penyelidikan terlebih dahulu siapa sebenarnya pihak yang membuang bendera merah putih tersebut.
Baca Juga :  Disperindagkop Undang Pedagang Korban Kebakaran

Selanjutnya pada tanggal 17 Agustus 2019, aparat kepolisian (Satuan Brimob) mendatangi Asrama Mahasiswa Kamasan Papua, mengepung Asrama tersebut, sambil menembak gas air mata sebanyak 23 kali kearah mahasiswa yang tinggal di Asrama, aparat mendobrak pintu pagar hingga rusak lalu menangkap 43 Mahasiswa Papua, kemudian dibawa ke Mapolres Surabaya dan diperiksa dengan tuduhan menjatuhkan bendera di selokan, tindakan ucapan rasis dan tindakan penyerangan ke asrama mahasiswa oleh pihak kepolisian ini terekam dalam video singkat yang kemudian menjadi viral.

Kuasa hukum terdakwa mengungkapkan tindakan rasis dan intimidasi yang dilakukan di Kota Surabaya tersebut meruoakan pokok persoalan yang menyebabkan kemarahan bagi mayoritas masyarakat Papua pada tanggal tanggal  19 sampai dengan 29 Agustus 2019 lalu. Dimana mahasiswa dan masyarakat Papua hampir diseluruh Tanah Papua melakukan aksi damai mengutuk dan menolak tindakan rasis, intimidasi dan persekusi terhadap mahasiswa dibeberapa kota studi di Indonesia, khususnya di Asrama Papua Kamasan di Surabaya, Jawa Timur.

Hal ini bukan tanpa alasan melainkan karena masyarakat papua merasa kecewa. peristiswa rasisme tersebut, merupakan akumulasi ketidakpercayaan terhadap Pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan segala pelanggaran HAM di Tanah Papua.

Hal lain adanya aksi turun jalan yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat dibeberapa daerah, seperti di Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura, Manokwari, Sorong, Nabire, Biak, Fakfak, Kepulauan Yapen  Merauke, Dekay, Yahukimo, Bintuni, Timika, Waghete, Enarotali atau Paniai dan Wamena.

Yang akhirnya berujung pada kekerasan (pengrusakan bangunan, pemukulan terhadap massa aksi), penangkapan sewenang-wenang atau tidak sesuai hukum terhadap massa aksi maupun terhadap aktivis dan pegiat HAM baik di Papua maupun di luar Papua (termasuk tuduhan makar dan provokator terhadap terdakwa) bahkan sampai pada penghilangan nyawa manusia, khususnya warga sipil Papua dibeberapa daerah yang melakukan aksi turun jalan tersebut.

Dampaknya, pemerintah Indonesia memutuskan akses informasi (khususnya akses internet) di Tanah Papua. Akses internet diputuskan dengan alasan untuk tidak menyebarkan berita bohong atau hoax.

Menurut mereka penutupan akses internet ini bertujuan untik menitupi fakta yang sebebarnya terjadi di Papua atas tindakapan sewenang wenang dari aparat keamanan terhadap orang asli papua. Yang melakukan penangkapan sewenang wenang, penyiksaan, penyerangan dan bahkan sampai ada warga sipil yang meninggal dunia tapi publik tidak mengetahui hal tersebut.

Padahal demo damai menentang rasisme pada tahun 2019 lalu,  didorong oleh realitas rasisme di Negeri ini yang terjadi berulang-ulang terhadap orang Papua khususnya mahasiswa di Kota Study diluar Papua yang puncaknya terjadi peristiwa rasis di Surabaya terhadap mahasiswa Papua di Asrama Kamasan Papua, Surabaya.
Baca Juga :  Terima Pengembalian Kerugian Negara Rp 300 Juta

Hal lain aksi demo damai tersebut merupakan bentuk solidaritas dalam mendorong Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di Negeri ini yang sangat jelas mandatnya dan bukan tindakan makar, permufakatan untuk melakukan makar, menggerakan orang lain untuk memberi bantuan dan bukan tindakan penghasutan.

Dengan melihat fakta fakta tersebut sehingga Kuasa hukum merasa kebaeratan atas dakwaan yang diajukan PJU terhadap terdakwa VY diamana yang menangkap terdakwa adalah Satgas Gakkum Nemangkawi. Padahal Satgas Gakkum Nemangkawi bukan penyidik atau penyidik pembantu yang berwenang membantu menangkap VY, sebab yang diberikan kewenangan untuk menangkap adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu Penyidik atau Penyidik Pembantu sebagaimana ditegaskan pada pasal 16 ayat.

Selain itu penangkapan terhadap VY dilakukan secara sewenang wenang, oleh satgas Gakkum nemankawi lantaran  pada saat penangkapan petugas tidak perna menunjukan surat tugas dan surat penangkapan. Tetapi surat penangkapan baru ditujukkan kepada Terdakwa setelah dirinya tiba di Polda Papua.

Berdasarkan fakta penangkapan terhadap Terdakwa tanpa ditunjukan surta tugas serta surat penangkapan menunjukan bahwa Satgas Gakkum Nemanggkawi tidak mengimplementasikan Pasal 18 ayat (1), UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara junto Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Sehingga menunjukan bahwa Satgas Gakkum Nemangkawi mengabaikan kewajiban “Dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap petugas atau anggota Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku (Code of Conduct) terkait menghormati dan melindungi martabat manusia dalam melaksanakan tugasnya dan ketentuan berperilaku dan kode etik yang ada sebagaimana diatur pada pasal 10 huruf b, huruf c dan huruf h, Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian. Kemudian proses penyidikan terhdap terdakwa tidak memenuhi hak terdakwa sebagai tersangka. Serta hal lain yang menurut kuasa hukum bahwa apa yang di ajukan PJU tidak sesuai dengan fakta yang ada.

Pantauan media selama proses sidang berlangsung, situasi diruang maupun luar ruangan sidang berangsur kondusif. Aparat keamanan melakukan penjagaan secara ketat di sekitar pengadialan Negeri Jayapura. Usai sidang, VY dibawa ke Lapas Abepuda untuk mejalani masa tahanan. (rel)

JAYAPURA-Setelah menjalani proses pembantaran (perawatan kesehatan), terdakwa dugaan kasus makar,  Viktor Frederik Yeimo (VY) selaku Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) kembali menjalani proses sidang di Pengadilan Negeri Jayapura, selasa, (12/1) dengan agenda pembacaan surat eksepsi (Keberatan) dari tim kuasa hukum terdakwa.

Pada sidang kali ini terdakwa VY, hadir secara tatap muka diruang persidangan dengan didampingi kuasa hukumnya, yaitu, Emanuel Gobey, Latifa Anum Siregar, Gustaf R Kawer, Yulius Lala’ar, Alpius Manufandu, Yustinus Haluk. Sidang dipimpin, oleh, Majselis hakim, Mathius, SH., M.H, (Ketua) didampingi hakim anggota, Andi Asmuruf, SH dan Lin Caroll Hamadi, S. H.

 Adapun eksepsi yang dibacakan oleh kuasa hukum terdakwa secara bergantian, yang menegaskan bahwa prosedur prosedur dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap penetapan Victor Yeimo sebagai terdakwa dugaan kasus makar tidak sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh KUHAP, sehingga seluruh proses penyidikan yang dilakukan sampai dengan terbitnya surat dakwaan JPU menjadi tidak sah, tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap menguraikan tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa.

Sehingga tim Penasehat Hukum Terdakwa mohon kepada Majelis Hakim yang untuk menerima eksepsi yang mereka ajukan secara keseluruhan, lantaran proses pemeriksaan pendahuluan terhadap terdakwa adalah cacat hukum. Sebab  surat dakwaan yang diajukan JPU tidak jelas, tidak cermat dan tidak lengkap.

” Kami harap majelis hakim dapat membatalkan surat dakawaan jaksa penuntut umum, demi hukum atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

Hal lain kami juga meminta agar membebaskan terdakwa dari masa tahananya dan merehabilitasi nama baik terdakwa,” tegas Kuasa Hukum Terdawka dalam surat Eksepsi yang mereka bacakan spada saat sidang.

Adapun dasar dari eksepi yang mereka ajukan, karena menilai bahwa Jaksa Penuntut Umum telah mengetahui fakta kasus makar tersebut tetapi tidak mengemukakannya secara berimbang dalam surat dakwaan. Sehingga melalui sidang eksepsi tersebut kuasa hukum terdakwa pun menjelaskan fakta fakta yang terjadi dimana kejadian demo anti rasisme bermula dari situasi Mahasiswa Papua di Kota Surabaya, pada 16 Agustus 2019 lalu yang menyerangan dan melakukan pengepungan terhadap Asrama Kamasan Papua di Surabaya oleh Ormas bersama dengan aparat gabungan TNI dan POLRI sambil berteriak serta melontarkan kata kata makian dan ucapan berbau rasis.

Peristiwa ini disebabkan karena adanya bendera merah putih yang ditemukan di selokan dan mahasiswa Papua yang dituduh sebagai pihak yang membuang bendera diselokan. Sayangnya hal itu  tanpa dilakukan penyelidikan terlebih dahulu siapa sebenarnya pihak yang membuang bendera merah putih tersebut.
Baca Juga :  Disperindagkop Undang Pedagang Korban Kebakaran

Selanjutnya pada tanggal 17 Agustus 2019, aparat kepolisian (Satuan Brimob) mendatangi Asrama Mahasiswa Kamasan Papua, mengepung Asrama tersebut, sambil menembak gas air mata sebanyak 23 kali kearah mahasiswa yang tinggal di Asrama, aparat mendobrak pintu pagar hingga rusak lalu menangkap 43 Mahasiswa Papua, kemudian dibawa ke Mapolres Surabaya dan diperiksa dengan tuduhan menjatuhkan bendera di selokan, tindakan ucapan rasis dan tindakan penyerangan ke asrama mahasiswa oleh pihak kepolisian ini terekam dalam video singkat yang kemudian menjadi viral.

Kuasa hukum terdakwa mengungkapkan tindakan rasis dan intimidasi yang dilakukan di Kota Surabaya tersebut meruoakan pokok persoalan yang menyebabkan kemarahan bagi mayoritas masyarakat Papua pada tanggal tanggal  19 sampai dengan 29 Agustus 2019 lalu. Dimana mahasiswa dan masyarakat Papua hampir diseluruh Tanah Papua melakukan aksi damai mengutuk dan menolak tindakan rasis, intimidasi dan persekusi terhadap mahasiswa dibeberapa kota studi di Indonesia, khususnya di Asrama Papua Kamasan di Surabaya, Jawa Timur.

Hal ini bukan tanpa alasan melainkan karena masyarakat papua merasa kecewa. peristiswa rasisme tersebut, merupakan akumulasi ketidakpercayaan terhadap Pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan segala pelanggaran HAM di Tanah Papua.

Hal lain adanya aksi turun jalan yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat dibeberapa daerah, seperti di Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura, Manokwari, Sorong, Nabire, Biak, Fakfak, Kepulauan Yapen  Merauke, Dekay, Yahukimo, Bintuni, Timika, Waghete, Enarotali atau Paniai dan Wamena.

Yang akhirnya berujung pada kekerasan (pengrusakan bangunan, pemukulan terhadap massa aksi), penangkapan sewenang-wenang atau tidak sesuai hukum terhadap massa aksi maupun terhadap aktivis dan pegiat HAM baik di Papua maupun di luar Papua (termasuk tuduhan makar dan provokator terhadap terdakwa) bahkan sampai pada penghilangan nyawa manusia, khususnya warga sipil Papua dibeberapa daerah yang melakukan aksi turun jalan tersebut.

Dampaknya, pemerintah Indonesia memutuskan akses informasi (khususnya akses internet) di Tanah Papua. Akses internet diputuskan dengan alasan untuk tidak menyebarkan berita bohong atau hoax.

Menurut mereka penutupan akses internet ini bertujuan untik menitupi fakta yang sebebarnya terjadi di Papua atas tindakapan sewenang wenang dari aparat keamanan terhadap orang asli papua. Yang melakukan penangkapan sewenang wenang, penyiksaan, penyerangan dan bahkan sampai ada warga sipil yang meninggal dunia tapi publik tidak mengetahui hal tersebut.

Padahal demo damai menentang rasisme pada tahun 2019 lalu,  didorong oleh realitas rasisme di Negeri ini yang terjadi berulang-ulang terhadap orang Papua khususnya mahasiswa di Kota Study diluar Papua yang puncaknya terjadi peristiwa rasis di Surabaya terhadap mahasiswa Papua di Asrama Kamasan Papua, Surabaya.
Baca Juga :  Aliran Kali Acai Dangkal dan Tersumbat Sampah

Hal lain aksi demo damai tersebut merupakan bentuk solidaritas dalam mendorong Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di Negeri ini yang sangat jelas mandatnya dan bukan tindakan makar, permufakatan untuk melakukan makar, menggerakan orang lain untuk memberi bantuan dan bukan tindakan penghasutan.

Dengan melihat fakta fakta tersebut sehingga Kuasa hukum merasa kebaeratan atas dakwaan yang diajukan PJU terhadap terdakwa VY diamana yang menangkap terdakwa adalah Satgas Gakkum Nemangkawi. Padahal Satgas Gakkum Nemangkawi bukan penyidik atau penyidik pembantu yang berwenang membantu menangkap VY, sebab yang diberikan kewenangan untuk menangkap adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu Penyidik atau Penyidik Pembantu sebagaimana ditegaskan pada pasal 16 ayat.

Selain itu penangkapan terhadap VY dilakukan secara sewenang wenang, oleh satgas Gakkum nemankawi lantaran  pada saat penangkapan petugas tidak perna menunjukan surat tugas dan surat penangkapan. Tetapi surat penangkapan baru ditujukkan kepada Terdakwa setelah dirinya tiba di Polda Papua.

Berdasarkan fakta penangkapan terhadap Terdakwa tanpa ditunjukan surta tugas serta surat penangkapan menunjukan bahwa Satgas Gakkum Nemanggkawi tidak mengimplementasikan Pasal 18 ayat (1), UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara junto Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Sehingga menunjukan bahwa Satgas Gakkum Nemangkawi mengabaikan kewajiban “Dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap petugas atau anggota Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku (Code of Conduct) terkait menghormati dan melindungi martabat manusia dalam melaksanakan tugasnya dan ketentuan berperilaku dan kode etik yang ada sebagaimana diatur pada pasal 10 huruf b, huruf c dan huruf h, Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian. Kemudian proses penyidikan terhdap terdakwa tidak memenuhi hak terdakwa sebagai tersangka. Serta hal lain yang menurut kuasa hukum bahwa apa yang di ajukan PJU tidak sesuai dengan fakta yang ada.

Pantauan media selama proses sidang berlangsung, situasi diruang maupun luar ruangan sidang berangsur kondusif. Aparat keamanan melakukan penjagaan secara ketat di sekitar pengadialan Negeri Jayapura. Usai sidang, VY dibawa ke Lapas Abepuda untuk mejalani masa tahanan. (rel)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya