JAYAPURA-Sebanyak 122 organisasi yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) menyatakan tetap melakukan aksi demonstrasi damai secara nasional di seluruh Indonesia pada tanggal 14 Juli 2022.
Koordinator Aksi John Giyai mengatakan, selama ini sangat jelas pengesahan UU Otsus dan pemekaran yang dilakukan sangat sepihak oleh Jakarta tanpa aspirasi rakyat Papua sebagi pemilik tanah air dan udara.
Untuk itu, pihaknya dari 122 organisasi yang tergabung dalam PRP menegaskan kebijakan Otsus merupakan kebijakan politik Jakarta dan tidak aspiratif dari rakyat.
“Kami sudah saksikan dampak Otsus selama 20 tahun. Kondisi rakyat makin tertindas, termarjinal miskin dan tersingkir di atas tanahnya sendiri. Selain itu lingkungan hidup dengan adanya Freeport dan lahan sawit, merampas hak masyarakat Papua,” ungkap John Giyai
dalam jumpa pers di Waena, Perumnas III, Senin (11/7).
Ia mengklaim bahwa DOB di Papua sudah pasti rakyat Papua berada pada posisi terancam. Selain itu, terjadi pengancuran lingkungan hidup dan ini berdampak bagi orang Papua yang masih bergantung dengan alam.
Di tempat yang sama, Perwakilan FIM WP Kristian Kobak mengatakan pemekaran dan Otsus untuk mempertahankan kedudukan Indonesia di Papua dan juga ada kepentingan investasi besar di Papua.
“Pemekaran ini murni niat Jakarta untuk niat investasi yang lagi antre. Pemekaran juga perluas basis militer dan kita sudah ada pengalaman sebelum PT. Freeport masuk TNI-Polri masuk membantai orang Papua,” tudingnya.
Semua ini menurut Kobak adalah murni nafsu elit politik yang terus memaksa pemekaran terus dilakukan.
“Elit Papua hari ini menjadi boneka Jakarta dan mereka tidak melibatkan orang Papua. Karena Otsus itu lahir untuk solusi Papua merdeka, semua kebijakan tidak melibatkan rakyat. DOB ini akan memperburuk kehidupan manusia Papua. Selain itu, kami berjuang berangkat dari sejarah dan kami memiliki sejarah yang jelas. Solusi kami adalah penentuan nasib sendiri, maka seluruh mahasiswa, PNS, TNI, orang rambut lurus yang makan minum di Papua mari kita gelar aksi demo damai di tangal 14,” pintanya.
Mewakili perempuan Papua, Yokbet Felle sebagai anak asli wilayah Tabi menyatakan menolak dengan tegas Otsus Papua dan pemekaran yang secara sewenang-wenang diputuskan secara sepihak oleh Jakarta tanpa melibatkan perempuan Papua di akar rumput.
Ia mengatakan pemekaran ini jelas mengancam masyarakat Tabi yang jadi target utama trasmigrasi sejak tahun 90-an.
“Kami jadi target dikuasai pendatang dan ini bisa berdampak pada kami masyarakat Tabi yang jelas – jelas terus hak-haknya dirampas dari lahan, jabatan politik, ekonomi dan lainnya. Kami tersingkir, apalagi jika ada pemekaran maka saya sebagai anak Tabi menolak Otsus dan DOB di Papua,” tegasnya.
Ditempat yang sama Juru Bicara PRP Jefry Wenda mengatakan Otsus jilid II dan pemekaran, keduanya bagian dari bagaimana mengikat rakyat secara politik dan mereda kemerdekaan Papua. DOB menurutnya merupakan eksploitasi kapitalis pusat karena syaratnya sudah dipersiapkan dengan diubah omnibus law dan UU Otsus. Dimana beberapa poin diubah yang menghambat investasi selama ini, sehingga ini semua by design pusat.
“DOP ini merupakan ancaman yang serius bagi orang Papua. Jadi tidak ada harapan bagi rakyat Papua terlibat dalam politik DOB dan pemekaran. Karena kalian hanya boneka pusat yang dipermainkan dan kami jelas menegaskan bahwa sampai kapan pun rakyat Papua akan lawan kebijakan pusat, selama belum diberikan hak penentuan nasib sendiri. Tuntutan rakyat Papua itu bagaimana berjuang kemerdekaan. Kami akan gelar perlawanan secara terus menerus,” kata Wenda.
Dirinya menyebutkan, pihak Kepolisian hanya mengizinkan PRP untuk audians dan tidak melakukan long march. Namun pihaknya tetap turun melakukan demonstrasi di Papua. (oel/nat)