Tuesday, April 23, 2024
27.7 C
Jayapura

Sebaiknya Untuk Papua Rapid Tes Tetap Digratiskan

JAYAPURA-Adanya surat edaran Kementerian Kesehatan Republik Indonesia terkait harga standar rapid tes yang ditetapkan sebesar Rp 150 ribu untuk satu alat tersebut dianggap belum layak untuk diterapkan di Papua. 

Tingkat perekonomian masyarakat Papua yang masih terbilang rendah sehingga kurang tepat jika pemerintah kembali membebankan pembayaran tes rapid ini kepada masyarakat. Disamping itu penduduk Papua tidak sebanyak penduduk diluar sehingga yang dibutuhkan juga masih bisa terjangkau.

ANTRE RAPID TES: Sejumlah warga mengantre untuk mengikuti rapid tes yang digelar Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura, Jumat (10/7). (FOTO: Robert Mboik/Cepos)

 Hal ini sebagaimana disampaikan Wakil Ketua II DPR Papua, Yulianus Rumboirussy yang melihat bahwa untuk Papua sebaiknya jangan dulu diberlakukan tarif. Mengingat pemahaman masyarakat soal kesehatan juga belum sebaik daerah – daerah luar. Bisa – bisa masyarakat berpikir untuk apa mengeluarkan uang kalau akhirnya negatif. Uang ini lebih baik digunakan untuk membeli bahan makanan. 

“Saya berharap  untuk Papua tetap gratis. Sebab kalau diterapkan Rp 150 ribu bisa – bisa masyarakat malas. Selain itu orang bisa takut lebih dulu,” kata Rumboirussy, Jumat (10/7) di kantor DPR Papua.

 Meski demikian ia melihat ada sisi positifnya dimana ada harga yang diseragamkan sehingga ketika masyarakat akan melakukan tes ia sudah tahu berapa nominal yang akan dikeluarkan. “Jadi tidak ada permainan harga lagi, ini positifnya. Ini juga menunjukkan bahwa Indonesia juga telah mampu membuat produk rapid sendiri sebab jika menggunakan dari luar tentunya akan lebih mahal,” imbuhnya. 

Senada disampaikan Wakil Ketua Komisi V DPR Papua, Jack Komboy yang meminta masyarakat tidak dibebankan dengan harus membayar alat rapid. 

 “Saya pikir kita baik pemerintah maupun negara masih mampu membantu hal-hal seperti ini. Jangan lagi masyarakat dibebankan untuk itu (membayar). Sebab kondisi ekonomi belum benar-benar pulih,” pungkasnya. 

Secara terpisah Kepala Dinas Kesehatan Kota Jayapura dr Ni Nyoman Sri Antari mengungkapkan, untuk di 13 Puskesmas di Kota Jayapura sampai saat ini belum bisa melayani pemeriksaan rapid test kepada warga. 

Hal ini dikarenakan keterbatasan alat rapid test di Tim Gugus Tugas Covid-19. Sehingga jika warga ingin melakukan rapid test bisa dilakukan di rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang melayaninya.

  Termasuk untuk layanan pemeriksaan rapid test antibodi sesuai dengan batasan tarif tertinggi Rp 150 ribu per orang, berdasarkan petunjuk Menteri Kesehatan RI. Untuk di Kota Jayapura juga belum bisa diterapkan. 

  Menurut dr. Sri Antari, sampai saat ini pemerintah Kota Jayapura melalui tim Gugus Tugas Covid-19 Kota Jayapura masih fokus dalam melakukan rapid test massal bagi pedagang di pasar dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19 dan inipun alat rapid test diberikan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Papua, karena di kota mengalami keterbatasan dana.

Baca Juga :  Protes Berlanjut, Rekapitulasi Pemilu Kota Jayapura Molor

 “Untuk melakukan rapid test berbayar dibutuhkan pengadaan alat rapid test dari Pemkot. Tapi kami sendiri belum mempunyai dana untuk membelinya,” jelasnya, Jumat (10/7)kemarin.

 Untuk itu, jika ada daerah yang memang sudah melayani pemeriksaan rapid test dan mengenakan tarif ini bisa dilakukan di daerah tertentu dan di Kota Jayapura belum bisa.

 Namun dr. Sri Antari tetap optimis, jika memang ada dana, pemerintah bisa membeli alat rapid test sendiri. Karena ini sangat dibutuhkan warga untuk kebutuhan tertentu tentu bisa dilakukan dan ini juga harus minta petunjuk kepada pimpinan. Dan saat ini bantuan rapid test dari provinsi tidak mungkin dikomersilkan untuk warga.

 Senada disampaikan, Karumkit Rumah Sakit Bhayangkara, Kompol  dr Andi Mappaodang. Menurutnya hingga saat ini pihaknya belum memberlakukan tarif kepada mereka yang melakukan rapid test di Rumah Sakit Bhayangkara.

“Kami sementara belum menarik tarif, karena kami mendapat subsidi dari Dinas Kesehatan Provinsi. Jika nanti subsidi tersebut habis dan kami melakukan pengadaan, berarti kami bisa memungut biaya,” jelas Karumkit dr. Mappaodang saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Jumat (10/7).

Terkait dengan orang yang memilik inisiatif sendiri untuk melakukan rapid test, Karumkit  mengaku selama ini tidak dipungut biaya.

“Yang  jelas ada indikasi alasan apa alasan dia mau rapid test, apakah yang bersangkutan melakukan kontak dengan pasien Covid-19. Sehingga perlu dilakukan rapid dan itu diberlakukan gratis,” terangnya.

Sementara itu, Sekretaris Dinas Kabupaten Jayapura, Edward Manik Sihotang, mengatakan, rapid tes yang dilakukan Pemkab Jayapura di kantor Dinas Kesehatan hanya untuk kepentingan survailens. “Yang kita lakukan hanya  rapid tes khusus keperluan surveilans bagi masyarakat di Kabupaten Jayapura,” jelasnya.
Sementara untuk kepentingan keberangkatan keluar daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura masih mengikuti surat edaran Gubernur Papua. Dimana untuk rapid tes bagi warga yang ingin keluar daerah hanya dilakukan di bandara atau di laboratorium kesehatan daerah provinsi Papua.

“Kemarin kami rapat untuk menyepakati membantu mengurai antrian rapid bagi mereka yang mau berangkat khusus masyarakat Kabupaten Jayapura. Namun ternyata saat hasil reaktif, banyak yang menghilang tanpa jejak dan ada yang tidak mau lanjut protokol untuk pengambilan swab,”jelasnya.

Bahkan kata dia, ada juga kelompok masyarakat yang sengaja tes untuk upayakan hasil non reaktif agar bisa berangkat. Jadi kalau di kota positif maka mau coba coba ke kabupaten. Akhirnya pihaknya sepakat tidak membuka pelayanan untuk kepentingan berangkat sampai dengan surat edaran gubernur dicabut.

Baca Juga :  Enam Titik Jadi Konsentrasi Aparat

Sementara itu, RS  Yowari juga melayani rapid tes tapi khusus bagi ODP dan PDP, yaitu pasien yang datang dengan gejala gangguan pernafasan.
Untuk Puskesmas juga lakukan  screaning  untuk ODP, PDP dan pasien rujuk.

“Rapid di Dinkes bagi yang   tanpa gejala atau untuk umum yang ingin mengetahui status kesehatan. Semua layanan itu gratis karena menggunakan dana BTT sektor kesehatan,” tambahnya. 

Sementara   itu, Pemerintah  Kabupaten Merauke  langsung melakukan penyesuaian dengan menurunkan   biaya rapid test  dari sebelumnya  Rp 200.000 menjadi Rp 150.000.   

Kepala  Puskesmas  Mopah Baru Merauke, Sugino, SKM, M.Kes, ditemui  media ini  mengungkapkan, bahwa    meski   surat   edaran bupati   terkait dengan  biaya  rapid test  belum   direvisi, namun   pihaknya telah    memberlakukan tarif sesuai  dengan  surat edaran Menkes atas perintah  dari  Gugus  Tugas  Covid-19 Kabupaten   Merauke.  

“Surat edaran bupati    tersebut tetap  akan  direvisi. Meski itu belum direvisi  tapi karena  ada instruksi   dari gugus  tugas sehingga kita menyesuaikan.   Untuk  revisi surat edaran bupati mungkin masih  dalam proses,’’ kata  Sugino ditemui di Puskesmas  Mopah Baru, Jumat (10/7) kemarin.  

Sugino  mengakui  bahwa   ada kebigungan di masyarakat soal biaya rapid test  tersebut yang  pada tahap awal sebesar Rp 250.000, kemudian    turun menjadi Rp 200.000 dan  sekarang Rp 150.000.  “Kita tidak tahu apakah  harga   itu  sudah  atau kedepannya  bisa turun lagi.  Tapi harapan  kita kalau  bisa turun lagi. Tapi,  kita berharap,  masyarakat tidak  alergi dengan perubahan  dan   berprasangka yang tidak-tidak. Karena    harga  yang dipatok  tersebuut disesuaikan dengan belanja  dari  pemda. Kalau   awal-awal, memang     harga  rapid test  mahal, tapi mungkin seiring dengan   produksi   rapid test secara massal sehingga   harganya  turun dan  harganya berpengaruh   kepada masyarakat,’’ jelasnya.  

Sugiono     juga meminta masyarakat   yang akan  melakukan rapid test  tersebut  jika  memang    tidak  mampu   untuk mengajukan permohonan kepada   pemerintah  daerah,  kemungkinan   bisa dibantu atau tidak. “Misalnya    suatu tindakan  yang akan  dilakukan  namun  harus terlebih dahulu   dirapid  test. Sementara   tidak  ditanggung   oleh BPJS Kesehatan, maka   silakan  ajukan  permohonan   tidak mampu   ke  pemerintah  daerah. Mudah-mudahan   bisa dibantu. Karena kebijakannya   ada di  pemerintah  daerah. Kalau  kita  di sini  hanya melaksanakan sesuai dengan  aturan yang ada,” tutupnya. (gr/ade/dil/fia/roy/ulo/nat)   

JAYAPURA-Adanya surat edaran Kementerian Kesehatan Republik Indonesia terkait harga standar rapid tes yang ditetapkan sebesar Rp 150 ribu untuk satu alat tersebut dianggap belum layak untuk diterapkan di Papua. 

Tingkat perekonomian masyarakat Papua yang masih terbilang rendah sehingga kurang tepat jika pemerintah kembali membebankan pembayaran tes rapid ini kepada masyarakat. Disamping itu penduduk Papua tidak sebanyak penduduk diluar sehingga yang dibutuhkan juga masih bisa terjangkau.

ANTRE RAPID TES: Sejumlah warga mengantre untuk mengikuti rapid tes yang digelar Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura, Jumat (10/7). (FOTO: Robert Mboik/Cepos)

 Hal ini sebagaimana disampaikan Wakil Ketua II DPR Papua, Yulianus Rumboirussy yang melihat bahwa untuk Papua sebaiknya jangan dulu diberlakukan tarif. Mengingat pemahaman masyarakat soal kesehatan juga belum sebaik daerah – daerah luar. Bisa – bisa masyarakat berpikir untuk apa mengeluarkan uang kalau akhirnya negatif. Uang ini lebih baik digunakan untuk membeli bahan makanan. 

“Saya berharap  untuk Papua tetap gratis. Sebab kalau diterapkan Rp 150 ribu bisa – bisa masyarakat malas. Selain itu orang bisa takut lebih dulu,” kata Rumboirussy, Jumat (10/7) di kantor DPR Papua.

 Meski demikian ia melihat ada sisi positifnya dimana ada harga yang diseragamkan sehingga ketika masyarakat akan melakukan tes ia sudah tahu berapa nominal yang akan dikeluarkan. “Jadi tidak ada permainan harga lagi, ini positifnya. Ini juga menunjukkan bahwa Indonesia juga telah mampu membuat produk rapid sendiri sebab jika menggunakan dari luar tentunya akan lebih mahal,” imbuhnya. 

Senada disampaikan Wakil Ketua Komisi V DPR Papua, Jack Komboy yang meminta masyarakat tidak dibebankan dengan harus membayar alat rapid. 

 “Saya pikir kita baik pemerintah maupun negara masih mampu membantu hal-hal seperti ini. Jangan lagi masyarakat dibebankan untuk itu (membayar). Sebab kondisi ekonomi belum benar-benar pulih,” pungkasnya. 

Secara terpisah Kepala Dinas Kesehatan Kota Jayapura dr Ni Nyoman Sri Antari mengungkapkan, untuk di 13 Puskesmas di Kota Jayapura sampai saat ini belum bisa melayani pemeriksaan rapid test kepada warga. 

Hal ini dikarenakan keterbatasan alat rapid test di Tim Gugus Tugas Covid-19. Sehingga jika warga ingin melakukan rapid test bisa dilakukan di rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang melayaninya.

  Termasuk untuk layanan pemeriksaan rapid test antibodi sesuai dengan batasan tarif tertinggi Rp 150 ribu per orang, berdasarkan petunjuk Menteri Kesehatan RI. Untuk di Kota Jayapura juga belum bisa diterapkan. 

  Menurut dr. Sri Antari, sampai saat ini pemerintah Kota Jayapura melalui tim Gugus Tugas Covid-19 Kota Jayapura masih fokus dalam melakukan rapid test massal bagi pedagang di pasar dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19 dan inipun alat rapid test diberikan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Papua, karena di kota mengalami keterbatasan dana.

Baca Juga :  Tertibkan Ribuan Kendaraan Dinas

 “Untuk melakukan rapid test berbayar dibutuhkan pengadaan alat rapid test dari Pemkot. Tapi kami sendiri belum mempunyai dana untuk membelinya,” jelasnya, Jumat (10/7)kemarin.

 Untuk itu, jika ada daerah yang memang sudah melayani pemeriksaan rapid test dan mengenakan tarif ini bisa dilakukan di daerah tertentu dan di Kota Jayapura belum bisa.

 Namun dr. Sri Antari tetap optimis, jika memang ada dana, pemerintah bisa membeli alat rapid test sendiri. Karena ini sangat dibutuhkan warga untuk kebutuhan tertentu tentu bisa dilakukan dan ini juga harus minta petunjuk kepada pimpinan. Dan saat ini bantuan rapid test dari provinsi tidak mungkin dikomersilkan untuk warga.

 Senada disampaikan, Karumkit Rumah Sakit Bhayangkara, Kompol  dr Andi Mappaodang. Menurutnya hingga saat ini pihaknya belum memberlakukan tarif kepada mereka yang melakukan rapid test di Rumah Sakit Bhayangkara.

“Kami sementara belum menarik tarif, karena kami mendapat subsidi dari Dinas Kesehatan Provinsi. Jika nanti subsidi tersebut habis dan kami melakukan pengadaan, berarti kami bisa memungut biaya,” jelas Karumkit dr. Mappaodang saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Jumat (10/7).

Terkait dengan orang yang memilik inisiatif sendiri untuk melakukan rapid test, Karumkit  mengaku selama ini tidak dipungut biaya.

“Yang  jelas ada indikasi alasan apa alasan dia mau rapid test, apakah yang bersangkutan melakukan kontak dengan pasien Covid-19. Sehingga perlu dilakukan rapid dan itu diberlakukan gratis,” terangnya.

Sementara itu, Sekretaris Dinas Kabupaten Jayapura, Edward Manik Sihotang, mengatakan, rapid tes yang dilakukan Pemkab Jayapura di kantor Dinas Kesehatan hanya untuk kepentingan survailens. “Yang kita lakukan hanya  rapid tes khusus keperluan surveilans bagi masyarakat di Kabupaten Jayapura,” jelasnya.
Sementara untuk kepentingan keberangkatan keluar daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura masih mengikuti surat edaran Gubernur Papua. Dimana untuk rapid tes bagi warga yang ingin keluar daerah hanya dilakukan di bandara atau di laboratorium kesehatan daerah provinsi Papua.

“Kemarin kami rapat untuk menyepakati membantu mengurai antrian rapid bagi mereka yang mau berangkat khusus masyarakat Kabupaten Jayapura. Namun ternyata saat hasil reaktif, banyak yang menghilang tanpa jejak dan ada yang tidak mau lanjut protokol untuk pengambilan swab,”jelasnya.

Bahkan kata dia, ada juga kelompok masyarakat yang sengaja tes untuk upayakan hasil non reaktif agar bisa berangkat. Jadi kalau di kota positif maka mau coba coba ke kabupaten. Akhirnya pihaknya sepakat tidak membuka pelayanan untuk kepentingan berangkat sampai dengan surat edaran gubernur dicabut.

Baca Juga :  Soal Bantuan untuk PGGJ, ini Kata Pj Bupati Jayapura

Sementara itu, RS  Yowari juga melayani rapid tes tapi khusus bagi ODP dan PDP, yaitu pasien yang datang dengan gejala gangguan pernafasan.
Untuk Puskesmas juga lakukan  screaning  untuk ODP, PDP dan pasien rujuk.

“Rapid di Dinkes bagi yang   tanpa gejala atau untuk umum yang ingin mengetahui status kesehatan. Semua layanan itu gratis karena menggunakan dana BTT sektor kesehatan,” tambahnya. 

Sementara   itu, Pemerintah  Kabupaten Merauke  langsung melakukan penyesuaian dengan menurunkan   biaya rapid test  dari sebelumnya  Rp 200.000 menjadi Rp 150.000.   

Kepala  Puskesmas  Mopah Baru Merauke, Sugino, SKM, M.Kes, ditemui  media ini  mengungkapkan, bahwa    meski   surat   edaran bupati   terkait dengan  biaya  rapid test  belum   direvisi, namun   pihaknya telah    memberlakukan tarif sesuai  dengan  surat edaran Menkes atas perintah  dari  Gugus  Tugas  Covid-19 Kabupaten   Merauke.  

“Surat edaran bupati    tersebut tetap  akan  direvisi. Meski itu belum direvisi  tapi karena  ada instruksi   dari gugus  tugas sehingga kita menyesuaikan.   Untuk  revisi surat edaran bupati mungkin masih  dalam proses,’’ kata  Sugino ditemui di Puskesmas  Mopah Baru, Jumat (10/7) kemarin.  

Sugino  mengakui  bahwa   ada kebigungan di masyarakat soal biaya rapid test  tersebut yang  pada tahap awal sebesar Rp 250.000, kemudian    turun menjadi Rp 200.000 dan  sekarang Rp 150.000.  “Kita tidak tahu apakah  harga   itu  sudah  atau kedepannya  bisa turun lagi.  Tapi harapan  kita kalau  bisa turun lagi. Tapi,  kita berharap,  masyarakat tidak  alergi dengan perubahan  dan   berprasangka yang tidak-tidak. Karena    harga  yang dipatok  tersebuut disesuaikan dengan belanja  dari  pemda. Kalau   awal-awal, memang     harga  rapid test  mahal, tapi mungkin seiring dengan   produksi   rapid test secara massal sehingga   harganya  turun dan  harganya berpengaruh   kepada masyarakat,’’ jelasnya.  

Sugiono     juga meminta masyarakat   yang akan  melakukan rapid test  tersebut  jika  memang    tidak  mampu   untuk mengajukan permohonan kepada   pemerintah  daerah,  kemungkinan   bisa dibantu atau tidak. “Misalnya    suatu tindakan  yang akan  dilakukan  namun  harus terlebih dahulu   dirapid  test. Sementara   tidak  ditanggung   oleh BPJS Kesehatan, maka   silakan  ajukan  permohonan   tidak mampu   ke  pemerintah  daerah. Mudah-mudahan   bisa dibantu. Karena kebijakannya   ada di  pemerintah  daerah. Kalau  kita  di sini  hanya melaksanakan sesuai dengan  aturan yang ada,” tutupnya. (gr/ade/dil/fia/roy/ulo/nat)   

Berita Terbaru

Artikel Lainnya