Sunday, April 28, 2024
27.7 C
Jayapura

Perempuan Papua Jadi Korban KDRT dan Kekerasan Konflik Bersenjata

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

JAYAPURA-Dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,  Koalisi Perempuan Bergerak Selamatkan Manusia Papua gencar kampanyekan isu-isu terkait kekerasan terhadap perempuan di tanah Papua. Mengusung tema “Perempuan Papua, Militerisme dan Investasi” kegiatan diselenggarakan selama 16 hari sejak 25 November hingga 10 Desember tahun 2021.

Koordinator Umum Kampanye Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKtP) Koalisi Perempuan Bergerak Selamatkan Manusia Papua, Ani Sipa mengatakan, ini kampanye tahun ketiga yang dilakukan Koalisi Perempuan Bergerak Selamatkan Manusia Papua yang dimulai sejak tahun 2019 lalu.

Mengangkat isu perempuan Papua, militerisme dan investasi tentu punya alasan tersendiri bagi koalisi. Sebagaimana, sejak tahun 2018 hingga saat ini. Konflik di tanah Papua terutama konflik antara militer dan kelompok yang bergerak untuk politik (OPM-red) di tanah Papua  semakin kuat, ditambah lagi cukup meningkatnya droping pasukan ke Papua yang dilakukan sejak tahun 2018 lalu.

“Dampak dari konflik di Papua, korbannya adalah perempuan dan anak, kita lihat dari tahun 2018 hingga saat ini. Wilayah konflik di Papua bukannya semakin kecil, melainkan semakin meluas,” tutur Ani Sipa kepada Cenderawasih Pos, Kamis (9/12).

Lanjutnya menerangkan, awalnya Desember tahun 2018 Kabupaten Nduga pecah. Konflik bersenjata di Nduga mengakibatkan hampir seluruh masyarakat di Kabupaten Nduga mengungsi ke daerah yang lebih aman. Bahkan, perempuan dan anak anak memilih keluar dari Kabupaten Nduga menuju ke kabupaten tetangga yang bisa membuat mereka selamat dari penderitaan konflik bersenjata yang terjadi di wilayahnya.

Nduga belum sepenuhnya membaik, konflik bersenjata kembali terjadi di Kabupaten Intan Jaya. September tahun 2020, seorang pendeta tewas ditembak oknum anggota TNI. Kejadian ini memicu warga di Intan Jaya mengungsi ke hutan dan daerah lainnya.

Baca Juga :  Pemrov Tandatangani 10 Rekomendasi PPIS

“Hingga saat ini, situasi di Intan Jaya tidak kondusif. Perempuan dan anak menjadi korban langsung maupun tidak langsung. Kita ketahui ada perempuan dan balita yang ditembak belum lama ini di Intan Jaya. Dilain sisi, ada perempuan dan anak yang hingga saat ini masih hidup dalam pengungsian,” bebernya.

Kampanye yang dilakukan selama 16 hari ini untuk mengajak semua pihak, baik masyarakat sipil maupun pemerintah yang ada di tanah Papua bahkan nasional. Melihat situasi ini dan mengambil kebijakan yang berpihak untuk melindungi perempuan dan anak.

“Kita ingin publik tahu bahwa terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan di tanah Papua. Kekerasan yang dialami perempuan Papua bukan hanya kekerasan dalam rumah tangga melainkan kekerasan yang diakibatkan oleh konflik bersenjata yang terjadi di wilayah mereka,” tuturnya.

Melalui kampanye 16HAKtP, pihaknya menggalang dukungan publik terhadap perempuan  di situasi konflik. Bagaimana membangkitkan kesadaran masyarakat untuk tahu bahwa konflik yang terjadi di Maybrat, Nduga, Intan Jaya dan Pegunungan Bintang ada perempuan dan anak-anak yang menjadi korban kekerasan bersenjata. Sehingga konflik ini harus segera dihentikan.

“Kami mendorong pemerintah untuk peduli dengan situasi ini, paling tidak pemerintah bisa bergerak apa yang bisa dibuat untuk para pegungsi yang hingga saat ini masih berada di hutan. Pemerintah harus memberikan akses kepada korban konflik bersenjata, sehingga mereka bisa hidup lebih aman dan tenang di tempat mereka. Tidak hidup dalam pengungsian  yang mmebuat mereka trauma berkepanjangan,” pintanya.

Baca Juga :  Tim Kuasa Hukum akan Bertemu dengan Keluarga Lukas Enembe

Dari kampanye yang dilakukan, Ani Sipa berharap ada ruang ruang aman bagi perempuan yang bisa dibangun Pemerintah di setiap Kabupaten yang ada di Papua. Pasalnya, gereja tidak lagi menjadi tempat aman bagi perempuan dan anak di wilayah konflik.

Selain itu, masyarakat harus paham bahwa kekerasan trehadap perempuan bukan hanya KDRT. Melainkan, kekerasan yang diakibatkan oleh  konflik bersenjata yang saat ini sedang dialami oleh perempuan papua yang ada di wilayah konflik.

“Kami mendorong stop militerisme di Papua. Karena korban dari semua ini adalah perempuan dan anak yang notabenenya mereka ini tidak paham dengan konflik kepentingan yang terjadi di Papua. Dengan semakin meningkatnya dropin militer ke Papua terutama daerah daerah konflik, itu bukan membuat masyarakat menjadi nyaman dan aman. Mereka malah trauma  dan tingkat ketakutan mereka itu semakin tinggi,” kata Ani.

Ia juga berharap ada perhatian khusus dari pemerintah daerah buat pengungsi akibat konflik bersenjata yang terjadi di wilayahnya. Perhatian soal kesehatan, keamanan, kenyamanan dan Pendidikan untuk anak anak serta pemberian trauma healing buat korban kekerasan di daerah konflik.

“Di beberapa lokasi yang terjadi konflik, pemerintahnya tidak jalan. Lantas masyarakatnya mau mengadu kesiapa kalau pemerintahnya saja tidak peduli. Sementara untuk masuk ke daerah itu juga susah,” ucapnya.

Dalam kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Koalisi Perempuan Bergerak Selamatkan Manusia Papua sudah melaksanakan kegiatan seperti diskusi, pemutaran flim, doa bersama dan launching buku. (fia/nat)

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

JAYAPURA-Dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,  Koalisi Perempuan Bergerak Selamatkan Manusia Papua gencar kampanyekan isu-isu terkait kekerasan terhadap perempuan di tanah Papua. Mengusung tema “Perempuan Papua, Militerisme dan Investasi” kegiatan diselenggarakan selama 16 hari sejak 25 November hingga 10 Desember tahun 2021.

Koordinator Umum Kampanye Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKtP) Koalisi Perempuan Bergerak Selamatkan Manusia Papua, Ani Sipa mengatakan, ini kampanye tahun ketiga yang dilakukan Koalisi Perempuan Bergerak Selamatkan Manusia Papua yang dimulai sejak tahun 2019 lalu.

Mengangkat isu perempuan Papua, militerisme dan investasi tentu punya alasan tersendiri bagi koalisi. Sebagaimana, sejak tahun 2018 hingga saat ini. Konflik di tanah Papua terutama konflik antara militer dan kelompok yang bergerak untuk politik (OPM-red) di tanah Papua  semakin kuat, ditambah lagi cukup meningkatnya droping pasukan ke Papua yang dilakukan sejak tahun 2018 lalu.

“Dampak dari konflik di Papua, korbannya adalah perempuan dan anak, kita lihat dari tahun 2018 hingga saat ini. Wilayah konflik di Papua bukannya semakin kecil, melainkan semakin meluas,” tutur Ani Sipa kepada Cenderawasih Pos, Kamis (9/12).

Lanjutnya menerangkan, awalnya Desember tahun 2018 Kabupaten Nduga pecah. Konflik bersenjata di Nduga mengakibatkan hampir seluruh masyarakat di Kabupaten Nduga mengungsi ke daerah yang lebih aman. Bahkan, perempuan dan anak anak memilih keluar dari Kabupaten Nduga menuju ke kabupaten tetangga yang bisa membuat mereka selamat dari penderitaan konflik bersenjata yang terjadi di wilayahnya.

Nduga belum sepenuhnya membaik, konflik bersenjata kembali terjadi di Kabupaten Intan Jaya. September tahun 2020, seorang pendeta tewas ditembak oknum anggota TNI. Kejadian ini memicu warga di Intan Jaya mengungsi ke hutan dan daerah lainnya.

Baca Juga :  Pemrov Tandatangani 10 Rekomendasi PPIS

“Hingga saat ini, situasi di Intan Jaya tidak kondusif. Perempuan dan anak menjadi korban langsung maupun tidak langsung. Kita ketahui ada perempuan dan balita yang ditembak belum lama ini di Intan Jaya. Dilain sisi, ada perempuan dan anak yang hingga saat ini masih hidup dalam pengungsian,” bebernya.

Kampanye yang dilakukan selama 16 hari ini untuk mengajak semua pihak, baik masyarakat sipil maupun pemerintah yang ada di tanah Papua bahkan nasional. Melihat situasi ini dan mengambil kebijakan yang berpihak untuk melindungi perempuan dan anak.

“Kita ingin publik tahu bahwa terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan di tanah Papua. Kekerasan yang dialami perempuan Papua bukan hanya kekerasan dalam rumah tangga melainkan kekerasan yang diakibatkan oleh konflik bersenjata yang terjadi di wilayah mereka,” tuturnya.

Melalui kampanye 16HAKtP, pihaknya menggalang dukungan publik terhadap perempuan  di situasi konflik. Bagaimana membangkitkan kesadaran masyarakat untuk tahu bahwa konflik yang terjadi di Maybrat, Nduga, Intan Jaya dan Pegunungan Bintang ada perempuan dan anak-anak yang menjadi korban kekerasan bersenjata. Sehingga konflik ini harus segera dihentikan.

“Kami mendorong pemerintah untuk peduli dengan situasi ini, paling tidak pemerintah bisa bergerak apa yang bisa dibuat untuk para pegungsi yang hingga saat ini masih berada di hutan. Pemerintah harus memberikan akses kepada korban konflik bersenjata, sehingga mereka bisa hidup lebih aman dan tenang di tempat mereka. Tidak hidup dalam pengungsian  yang mmebuat mereka trauma berkepanjangan,” pintanya.

Baca Juga :  Honorer Geruduk Kantor Gubernur Papua

Dari kampanye yang dilakukan, Ani Sipa berharap ada ruang ruang aman bagi perempuan yang bisa dibangun Pemerintah di setiap Kabupaten yang ada di Papua. Pasalnya, gereja tidak lagi menjadi tempat aman bagi perempuan dan anak di wilayah konflik.

Selain itu, masyarakat harus paham bahwa kekerasan trehadap perempuan bukan hanya KDRT. Melainkan, kekerasan yang diakibatkan oleh  konflik bersenjata yang saat ini sedang dialami oleh perempuan papua yang ada di wilayah konflik.

“Kami mendorong stop militerisme di Papua. Karena korban dari semua ini adalah perempuan dan anak yang notabenenya mereka ini tidak paham dengan konflik kepentingan yang terjadi di Papua. Dengan semakin meningkatnya dropin militer ke Papua terutama daerah daerah konflik, itu bukan membuat masyarakat menjadi nyaman dan aman. Mereka malah trauma  dan tingkat ketakutan mereka itu semakin tinggi,” kata Ani.

Ia juga berharap ada perhatian khusus dari pemerintah daerah buat pengungsi akibat konflik bersenjata yang terjadi di wilayahnya. Perhatian soal kesehatan, keamanan, kenyamanan dan Pendidikan untuk anak anak serta pemberian trauma healing buat korban kekerasan di daerah konflik.

“Di beberapa lokasi yang terjadi konflik, pemerintahnya tidak jalan. Lantas masyarakatnya mau mengadu kesiapa kalau pemerintahnya saja tidak peduli. Sementara untuk masuk ke daerah itu juga susah,” ucapnya.

Dalam kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Koalisi Perempuan Bergerak Selamatkan Manusia Papua sudah melaksanakan kegiatan seperti diskusi, pemutaran flim, doa bersama dan launching buku. (fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya