Friday, April 26, 2024
25.7 C
Jayapura

BPJS Kesehatan Jamin Pengobatan Gangguan Jiwa

JAKARTA, Jawa Pos-Isu kesehatan jiwa menguat usai polemik Film Joker di Indonesia. Bukan lagi perkara seberapa dalam film itu memengaruhi mental seseorang, tapi menyangkut pengobatannya di Indonesia. 

Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fahmi Idris mengungkapkan, manfaat itu sudah diatur dalam peraturan menteri kesehatan (permenkes) nomor 52 tahun 2016. Termasuk tarif di dalamnya. 

Hal ini diamini oleh Muhammad Iqbal Anas Ma’ruf, Kepala Humas BPJS Kesehatan. “Pelayanan kesehatan terkait gangguan jiwa masuk dalam koding tarif ina cbgs (Indonesian Case Base Groups, red), yang merupakan tarif bagi peserta JKN-KIS yang menjadi pasien di rumah sakit,” ujarnya, kemarin (8/19). 

Dia menjelaskan, kebijakan itu tertuang dalam ina cbgs F. Di dalamnya, dijelaskan jenis pelayanan kesehatan apa saja yang dicover oleh JKn-KIS. Seperti, Schizophrenia, depresi mayor, gangguan personaliti dan kontrol impulse, gangguan bipolar, fobia, anxietas dan neurosis lain, sampai gangguan organik lain termasuk keterbelakangan mental baik kategori ringan, sedang dan berat. 

Iqbal mengungkapkan, manfaat ini pun sudah banyak digunakan di seluruh Indonesia. Buktinya, dari pembiayaan tahun lalu untuk pelayanan kesehatan gangguan mental mencapai Rp 1,253 Triliun. “Pasien yang ada di rumah sakit jiwa itu  mayoritas menggunakan kartu JKN-KIS,” katanya. 

Merujuk  Riskesdas 2018, prevalensi rumah tangga dengan anggota rumah tangga gangguan jiwa skizofrenia atau psikosis sebesar 0,67 persen atau sekitar 282.654 rumah tangga. Sedangkan prevalensi gangguan mental emosional (GME) sebesar 9,8 persen dari total penduduk berusia di atas 15 tahun.

Prevalensi ini menunjukkan peningkatan dari Riskesdas 2013, di mana prevalensi GME hanya 6 persen. Tingginya angka ini menyebabkan tingginya beban kesehatan dan rendahnya kualitas dan produktivitas SDM.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Anung Sugihantono menuturkan, masalah gangguan jiwa harus ditangani sejak dini. Gejalanya harus dipahami sehingga tak memicu adanya upaya bunuh diri.

Baca Juga :  Kerusuhan di Wamena Tidak Ada Kaitannya dengan SARA

“Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, perilaku bunuh diri karena depresi tah mencapai angka kritis. Secara global, WHO menyebutkan lebih dari 800 ribu orang meninggal setiap tahunnya karena bunuh diri,” paparnya. 

Anung mengatakan, masyarakat bisa memanfaatkan layanan di puskesmas yntuk mengobatan kesehatan jiwa. Jika tidak dapat ditangani di tingkat pertama, biasanya akan dirujuk ke rumah sakit.

Sementara itu, Wapres Jusuf Kalla mengomentari rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Dia menegaskan bahwa masyarakat miskin masih masuk bagian penerima bantuan iuran (PBI). Kalaupun ada kenaikan, iurannya tidak dibayar sendiri. Melainkan ditanggung pemerintah.

Pria yang akrab disapa JK itu menjelaskan selama ini yang menunggak pembayaran iuran BPJS Kesehatan itu bukan kategori orang miskin. Sebab dia menegaskan lagi, iuran BPJS Kesehatan orang miskin dibayar pemerintah. “Itu dulu dipegang dulu. (Sebanyak, Red) 120 juta orang dibayar negara. Kira-kira Rp 20 triliun dibayar oleh pemerintah. Jadi tidak perlu khawatir,” katanya di kantor Wapres kemarin.

Pemerintah sudah mengumumkan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diterapkan per 1 Januari 2020. Perinciannya adalah kelompok PBI pusat dan daerah naik menjadi Rp 42.000 dari sebelumnya Rp 23.000 per bulan. Kemudian peserta umum kelas I naik menjadi Rp 160.000 dari semula Rp 80.000 per bulan. Lalu kelas II naik menjadi Rp 110.000 dari Rp 51.000 per bulan. Terakhir untuk kelas III naik menjadi Rp 42.000 dari Rp 25.500 per bulan.

JK menjelaskan setiap tahun BPJS Kesehatan selalu defisit. “Artinya pendapatan lebih kurang daripada pengeluaran,” katanya. Kondisi ini dipicu beberapa hal. Seperti tarif iuran yang rendah, aspek pelayanan, dan juga sistemnya. 

Baca Juga :  Negara Masih Melindungi Pelaku Tragedi Paniai Berdarah

Politisi senior Partai Golkar itu mengatakan kenaikan tarif BPJS Kesehatan untuk kelas III sekitar Rp 20 ribu. “Seharga satu bungkus rokok,” jelasnya. Jadi dia mengingatkan kenaikan itu jangan dianggap menyusahkan rakyat. Apalagi untuk para pekerja, iuran BPJS Kesehatan juga ditanggung bersama perusahaan pemberi kerja. Dia juga menyinggung konsumsi pulsa untuk keperluan komunikasi dan internet juga jauh lebih besar. “Jadi memang tidak ada ata lain,” tandasnya. 

Di sisi lain, rencana pemberian sanksi bagi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang tidak membayar tagihan iuran terus digodok. Regulasi yang diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) itu ditargetkan bisa diterbitkan akhir tahun ini.

“Tahun ini insya Allah,” kata Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin (8/10). Soal sanksi apa saja yang akan dikenakan kepada peserta yang membandel, Mardiasmo belum bisa merinci. Sebab, hal itu masih dalam pembahasan. Yang pasti, masih berkaitan dengan fasilitas layanan publik lainnya.

Dia menambahkan, kebijakan tersebut perlu disiapkan untuk menertibkan penerimaan BPJS. Pasalnya, ada banyak peserta BPJS yang mampu secara ekonomi namun enggan untuk iuran rutin dan hanya mau membayar ketika sakit. “Kalau ngga begitu, gampang saja ndak bayar. Orang pas sakit, pas kena musibah, baru saya bayar deh,” imbuhnya.

Dia juga menegaskan, kebijakan tersebut tidak akan merugikan masyarakat kalangan bawah. Sebab, secara prinsip, iuran bagi masyarakat miskin sudah dibiayai oleh negara melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI). Nah, untuk menghindari kekeliruan, pihaknya akan merapihkan lagi data PBI.

“Kalau ada masyarakat yang miskin, ngga punya apa-apa, tapi ngga punya kartu, tidak punya kartu BPJS. Ini negara harus hadir di sana,” tuturnya. (wan/mia/far/JPG)

JAKARTA, Jawa Pos-Isu kesehatan jiwa menguat usai polemik Film Joker di Indonesia. Bukan lagi perkara seberapa dalam film itu memengaruhi mental seseorang, tapi menyangkut pengobatannya di Indonesia. 

Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fahmi Idris mengungkapkan, manfaat itu sudah diatur dalam peraturan menteri kesehatan (permenkes) nomor 52 tahun 2016. Termasuk tarif di dalamnya. 

Hal ini diamini oleh Muhammad Iqbal Anas Ma’ruf, Kepala Humas BPJS Kesehatan. “Pelayanan kesehatan terkait gangguan jiwa masuk dalam koding tarif ina cbgs (Indonesian Case Base Groups, red), yang merupakan tarif bagi peserta JKN-KIS yang menjadi pasien di rumah sakit,” ujarnya, kemarin (8/19). 

Dia menjelaskan, kebijakan itu tertuang dalam ina cbgs F. Di dalamnya, dijelaskan jenis pelayanan kesehatan apa saja yang dicover oleh JKn-KIS. Seperti, Schizophrenia, depresi mayor, gangguan personaliti dan kontrol impulse, gangguan bipolar, fobia, anxietas dan neurosis lain, sampai gangguan organik lain termasuk keterbelakangan mental baik kategori ringan, sedang dan berat. 

Iqbal mengungkapkan, manfaat ini pun sudah banyak digunakan di seluruh Indonesia. Buktinya, dari pembiayaan tahun lalu untuk pelayanan kesehatan gangguan mental mencapai Rp 1,253 Triliun. “Pasien yang ada di rumah sakit jiwa itu  mayoritas menggunakan kartu JKN-KIS,” katanya. 

Merujuk  Riskesdas 2018, prevalensi rumah tangga dengan anggota rumah tangga gangguan jiwa skizofrenia atau psikosis sebesar 0,67 persen atau sekitar 282.654 rumah tangga. Sedangkan prevalensi gangguan mental emosional (GME) sebesar 9,8 persen dari total penduduk berusia di atas 15 tahun.

Prevalensi ini menunjukkan peningkatan dari Riskesdas 2013, di mana prevalensi GME hanya 6 persen. Tingginya angka ini menyebabkan tingginya beban kesehatan dan rendahnya kualitas dan produktivitas SDM.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Anung Sugihantono menuturkan, masalah gangguan jiwa harus ditangani sejak dini. Gejalanya harus dipahami sehingga tak memicu adanya upaya bunuh diri.

Baca Juga :  Lion Air  Masih Tunggu Penyelidikan KNKT 

“Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, perilaku bunuh diri karena depresi tah mencapai angka kritis. Secara global, WHO menyebutkan lebih dari 800 ribu orang meninggal setiap tahunnya karena bunuh diri,” paparnya. 

Anung mengatakan, masyarakat bisa memanfaatkan layanan di puskesmas yntuk mengobatan kesehatan jiwa. Jika tidak dapat ditangani di tingkat pertama, biasanya akan dirujuk ke rumah sakit.

Sementara itu, Wapres Jusuf Kalla mengomentari rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Dia menegaskan bahwa masyarakat miskin masih masuk bagian penerima bantuan iuran (PBI). Kalaupun ada kenaikan, iurannya tidak dibayar sendiri. Melainkan ditanggung pemerintah.

Pria yang akrab disapa JK itu menjelaskan selama ini yang menunggak pembayaran iuran BPJS Kesehatan itu bukan kategori orang miskin. Sebab dia menegaskan lagi, iuran BPJS Kesehatan orang miskin dibayar pemerintah. “Itu dulu dipegang dulu. (Sebanyak, Red) 120 juta orang dibayar negara. Kira-kira Rp 20 triliun dibayar oleh pemerintah. Jadi tidak perlu khawatir,” katanya di kantor Wapres kemarin.

Pemerintah sudah mengumumkan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diterapkan per 1 Januari 2020. Perinciannya adalah kelompok PBI pusat dan daerah naik menjadi Rp 42.000 dari sebelumnya Rp 23.000 per bulan. Kemudian peserta umum kelas I naik menjadi Rp 160.000 dari semula Rp 80.000 per bulan. Lalu kelas II naik menjadi Rp 110.000 dari Rp 51.000 per bulan. Terakhir untuk kelas III naik menjadi Rp 42.000 dari Rp 25.500 per bulan.

JK menjelaskan setiap tahun BPJS Kesehatan selalu defisit. “Artinya pendapatan lebih kurang daripada pengeluaran,” katanya. Kondisi ini dipicu beberapa hal. Seperti tarif iuran yang rendah, aspek pelayanan, dan juga sistemnya. 

Baca Juga :  KSAD Langsung Minta Maaf

Politisi senior Partai Golkar itu mengatakan kenaikan tarif BPJS Kesehatan untuk kelas III sekitar Rp 20 ribu. “Seharga satu bungkus rokok,” jelasnya. Jadi dia mengingatkan kenaikan itu jangan dianggap menyusahkan rakyat. Apalagi untuk para pekerja, iuran BPJS Kesehatan juga ditanggung bersama perusahaan pemberi kerja. Dia juga menyinggung konsumsi pulsa untuk keperluan komunikasi dan internet juga jauh lebih besar. “Jadi memang tidak ada ata lain,” tandasnya. 

Di sisi lain, rencana pemberian sanksi bagi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang tidak membayar tagihan iuran terus digodok. Regulasi yang diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) itu ditargetkan bisa diterbitkan akhir tahun ini.

“Tahun ini insya Allah,” kata Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin (8/10). Soal sanksi apa saja yang akan dikenakan kepada peserta yang membandel, Mardiasmo belum bisa merinci. Sebab, hal itu masih dalam pembahasan. Yang pasti, masih berkaitan dengan fasilitas layanan publik lainnya.

Dia menambahkan, kebijakan tersebut perlu disiapkan untuk menertibkan penerimaan BPJS. Pasalnya, ada banyak peserta BPJS yang mampu secara ekonomi namun enggan untuk iuran rutin dan hanya mau membayar ketika sakit. “Kalau ngga begitu, gampang saja ndak bayar. Orang pas sakit, pas kena musibah, baru saya bayar deh,” imbuhnya.

Dia juga menegaskan, kebijakan tersebut tidak akan merugikan masyarakat kalangan bawah. Sebab, secara prinsip, iuran bagi masyarakat miskin sudah dibiayai oleh negara melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI). Nah, untuk menghindari kekeliruan, pihaknya akan merapihkan lagi data PBI.

“Kalau ada masyarakat yang miskin, ngga punya apa-apa, tapi ngga punya kartu, tidak punya kartu BPJS. Ini negara harus hadir di sana,” tuturnya. (wan/mia/far/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya