Karena itu Usman berharap, untuk lebih mengoptimalkan program bantuan dari pemerintah, hendaknya diikuti oleh pengawasan yang ketat baik dari instansi terkait maupun dari masyarakat. Sehingga bisa menyentuh langsung kepada masyarakat yang sangat membutuhkan.
“Demikian halnya jika terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya, maka hendaknya ditindak sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” pungkasnya.
Sementara itu, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Cenderawasih (Uncen) Lily Bauw menyebutkan, besarnya alokasi dana Otonomi Khusus (Otsus) yang telah digelontorkan ke Papua, sesungguhnya mencerminkan komitmen besar negara terhadap percepatan pembangunan.
Namun jika ditilik dari hasil di lapangan, perubahan yang diharapkan masih jauh dari memadai. Indikator kesejahteraan, kualitas pelayanan publik, dan kapasitas kelembagaan daerah belum menunjukkan lompatan berarti.
“Masalah mendasarnya bukan hanya pada volume dana, tetapi pada paradigma penyelenggaraan pemerintahan di bawah kerangka Otonomi Khusus (Otsus) yang belum dipahami secara seragam,” kata Lily.
Menurutnya banyak pihak, baik di pusat maupun daerah, masih memperlakukan Papua dengan logika pemerintahan umum, bukan dengan kerangka “kekhususan” yang menjadi ruh dari Otsus. Ketidakselarasan pemahaman ini berdampak langsung pada cara merancang, melaksanakan, hingga mengawasi program dan anggaran.
Padahal, Otsus bukan sekadar tambahan uang, melainkan model tata kelola khusus yang menuntut cara kerja, kelembagaan, dan akuntabilitas yang juga khusus. Dalam konteks ini, pembinaan dan pengawasan tidak bisa lagi bersifat seragam dan administratif seperti daerah lain.
“Ia harus bersifat kontekstual dan asimetris, menghormati karakter sosial, kapasitas lokal, serta perbedaan tahap perkembangan antarwilayah di Papua. Maka, yang mendesak bukan hanya memperbesar dana, melainkan membangun kesepahaman nasional tentang makna dan mekanisme pemerintahan berbasis Otsus,” jelasnya.