Saturday, April 27, 2024
27.7 C
Jayapura

Dalil Terbukti di Persidangan, Hakim Malah Punya Pertimbangan Lain.

JAYAPURA – Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menggelar sidang gugatan praperadilan yang diajukan Gubernur Papua non aktif Lukas Enembe atas tidak sahnya penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, perpanjangan penahanan, dan penyidikan oleh orang daerah.

Menanggapi putusan hakim tersaebut, Anggota THAGP, Petrus Bala Pattyona mengatakan, mesaki hakim menolak permohonan praperadilan yang diajukannya. Namun semua dalil yang diajukan dalam permohonan praperadilan tersebut yang diajukan di muka persidangan, semuanya terbukti.

Hanya saja kata dia, hakim memiliki pandangan lain. Petrus memberi contoh tentang surat perintah penyelidikan, yang berbeda pasalnya dengan surat perintah penyidikan.

“Terungkap sebagai fakta persidangan oleh bukti pemohon dan termohon, bahwa benar KPK menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan No. 79/lid.01.00/01/07/2022 tertanggal 27 Juli 2023 dengan fokus pada penyelidikan atas dugaan penyalahgunaan anggaran pada proyek Pemerintah Provinsi Papua periode tahun 2013-2018,” terangnya.

Lanjutnya, bahwa dengan surat perintah penyelidikan tersebut, KPK kemudian melakukan serangkaian tindakan antara lain pengambilan keterangan saksi, pengumpulan keterangan di lapangan dan serangkaian alat bukti lainnya serta perumusan/penemuan bukti permulaan di tingkat Penyelidikan untuk mencari dan menemukan peristiwa pidana dengan delik penyalahgunaan wewenang vide pasal 2 & 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dimana terungkap sebagai fakta berupa bukti dan jawaban tertulis dari KPK, bahwa KPK kemudian menerbitkan surat perintah penyidikan Nomor 81/Dik.00.01/09/2022 tanggal 5 September 2022 dengan mencantumkan delik pidana suap/gratifikasi sebagaimana pasal 12 huruf a, pasal 12 huruf b, pasal 11 dan pasal 12 B UU Nomor 31 tahun 1999 Jo undang-undang nomor 20 tahun 2001.

Baca Juga :  Saksi Sempat Ketakutan Ditembak

“Surat perintah penyelidikan yang dituduhkan terhadap Lukas Enembe, berbeda pasalnya dengan pasal yang ada di surat perintah penyidikan. Dalam surat perintah penyelidikan, Lukas Enembe dikenakan dengan pasal tentang penyalahgunaan anggaran APBD Provinsi Papua periode 2018-2021, namun dalam surat perintah penyidikan, klien kami dikenakan dengan pasal tentang gratifikasi,” paparnya.

Terhadap dalil yang diajukan kuasa hukum Lukas Enembe, tentang perbedaan kedua surat tersebut, semuanya terbukti di muka persidangan. Namun hakim berpendapat, sepanjang kedua pasal tersebut menyangkut mengenai korupsi, maka tidak masalah.

“Ini jelas berbahaya sekali, karena unsur-unsur korupsi itu luas sekali mulai dari suap, penyalahgunaan anggaran, dan gratifikasi, itu semua korupsi. Bagaimana mungkin saksi yang pada awalnya diperiksa untuk kasus penyalahgunaan anggaran APBD Pemprov Papua, sama keterangan dengan kasus gratifikasi yang dituduhkan kepada klien kami,” paparnya.

“Dalil kami yang menyebutkan bahwa selama tanggal 1 September 2022 hingga 5 September 2022, tidak ada satupun saksi yang dipanggil dan diperiksa oleh KPK untuk kasus gratifikasi terbukti di pengadilan,” sambungnya.

Sementara itu, Anggota THAGP lainnya, Cyprus A Tatali menilai putusan hakim sangat keliru dan tidak tepat. Karena tidak sesuai dengan pasal yang dituduhkan.

Baca Juga :  Protes Berlanjut, Rekapitulasi Pemilu Kota Jayapura Molor

“Ini berbahaya bagi pencari keadilan, dimana nanti para pencari keadilan tidak akan lagi ke pengadilan untuk menguji tentang penangkapan dan penahanannya, lewat lembaga praperadilan tapi dikhawatirkan menggunakan hukum rimba,” ujarnya.

Saksi ahli pidana yang diajukan KPK sendiri dengan jelas mengatakan bahwa penyelidikan dan penyidikan itu harus quot and quot, artinya kalau yang dituduhkan dipenyelidikan itu pasal penyalahgunaan anggaran maka penyidikannya itu juga tentang pasal penyalahgunaan anggaran.

“Kalau penyelidikan dan penyidikan itu pasalnya berbeda, maka tidak bisa dihukum, harus dicabut dulu surat penyelidikan itu, baru dibuat surat penyelidikan baru dengan pasal yang baru,” paparnya.

Sementara itu, mengenai perpanjangan penahanan yang tertuang dalam Surat Penahanan Nomor: Sprin.Han/13/DIK.01.03/01/01/2023 tanggal 12 Januari 2023, Surat Perintah Perpanjangan Penahanan Nomor: Sprin.Han/13B.2023/DIK.01.03/01/01/2023 tanggal 20 Januari 2023, dan Surat Perintah Perpanjangan Penahanan dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 76/Tah.Pid.Sus/TPK/III/PN.Jkt.Pst tanggal 2 Maret 2023, yang tertulis dikeluarkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) selaku Direktur Penuntutan KPK, yang dalam pertimbangan putusannya, hakim berpendapat, sepanjang surat sudah diterima maka dianggap sudah menyetujui isinya.

“Yang diterima itu fisik suratnya, penerimaan fisik surat tidak dapat dianggap menyetujui isi surat,” pungkasnya. (fia/wen)

JAYAPURA – Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menggelar sidang gugatan praperadilan yang diajukan Gubernur Papua non aktif Lukas Enembe atas tidak sahnya penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, perpanjangan penahanan, dan penyidikan oleh orang daerah.

Menanggapi putusan hakim tersaebut, Anggota THAGP, Petrus Bala Pattyona mengatakan, mesaki hakim menolak permohonan praperadilan yang diajukannya. Namun semua dalil yang diajukan dalam permohonan praperadilan tersebut yang diajukan di muka persidangan, semuanya terbukti.

Hanya saja kata dia, hakim memiliki pandangan lain. Petrus memberi contoh tentang surat perintah penyelidikan, yang berbeda pasalnya dengan surat perintah penyidikan.

“Terungkap sebagai fakta persidangan oleh bukti pemohon dan termohon, bahwa benar KPK menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan No. 79/lid.01.00/01/07/2022 tertanggal 27 Juli 2023 dengan fokus pada penyelidikan atas dugaan penyalahgunaan anggaran pada proyek Pemerintah Provinsi Papua periode tahun 2013-2018,” terangnya.

Lanjutnya, bahwa dengan surat perintah penyelidikan tersebut, KPK kemudian melakukan serangkaian tindakan antara lain pengambilan keterangan saksi, pengumpulan keterangan di lapangan dan serangkaian alat bukti lainnya serta perumusan/penemuan bukti permulaan di tingkat Penyelidikan untuk mencari dan menemukan peristiwa pidana dengan delik penyalahgunaan wewenang vide pasal 2 & 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dimana terungkap sebagai fakta berupa bukti dan jawaban tertulis dari KPK, bahwa KPK kemudian menerbitkan surat perintah penyidikan Nomor 81/Dik.00.01/09/2022 tanggal 5 September 2022 dengan mencantumkan delik pidana suap/gratifikasi sebagaimana pasal 12 huruf a, pasal 12 huruf b, pasal 11 dan pasal 12 B UU Nomor 31 tahun 1999 Jo undang-undang nomor 20 tahun 2001.

Baca Juga :  Poksus DPRP: Kondisi Jalan Sawesuma-Kaptiau Rusak Berat

“Surat perintah penyelidikan yang dituduhkan terhadap Lukas Enembe, berbeda pasalnya dengan pasal yang ada di surat perintah penyidikan. Dalam surat perintah penyelidikan, Lukas Enembe dikenakan dengan pasal tentang penyalahgunaan anggaran APBD Provinsi Papua periode 2018-2021, namun dalam surat perintah penyidikan, klien kami dikenakan dengan pasal tentang gratifikasi,” paparnya.

Terhadap dalil yang diajukan kuasa hukum Lukas Enembe, tentang perbedaan kedua surat tersebut, semuanya terbukti di muka persidangan. Namun hakim berpendapat, sepanjang kedua pasal tersebut menyangkut mengenai korupsi, maka tidak masalah.

“Ini jelas berbahaya sekali, karena unsur-unsur korupsi itu luas sekali mulai dari suap, penyalahgunaan anggaran, dan gratifikasi, itu semua korupsi. Bagaimana mungkin saksi yang pada awalnya diperiksa untuk kasus penyalahgunaan anggaran APBD Pemprov Papua, sama keterangan dengan kasus gratifikasi yang dituduhkan kepada klien kami,” paparnya.

“Dalil kami yang menyebutkan bahwa selama tanggal 1 September 2022 hingga 5 September 2022, tidak ada satupun saksi yang dipanggil dan diperiksa oleh KPK untuk kasus gratifikasi terbukti di pengadilan,” sambungnya.

Sementara itu, Anggota THAGP lainnya, Cyprus A Tatali menilai putusan hakim sangat keliru dan tidak tepat. Karena tidak sesuai dengan pasal yang dituduhkan.

Baca Juga :  Polisi Tak Akan Kompromi

“Ini berbahaya bagi pencari keadilan, dimana nanti para pencari keadilan tidak akan lagi ke pengadilan untuk menguji tentang penangkapan dan penahanannya, lewat lembaga praperadilan tapi dikhawatirkan menggunakan hukum rimba,” ujarnya.

Saksi ahli pidana yang diajukan KPK sendiri dengan jelas mengatakan bahwa penyelidikan dan penyidikan itu harus quot and quot, artinya kalau yang dituduhkan dipenyelidikan itu pasal penyalahgunaan anggaran maka penyidikannya itu juga tentang pasal penyalahgunaan anggaran.

“Kalau penyelidikan dan penyidikan itu pasalnya berbeda, maka tidak bisa dihukum, harus dicabut dulu surat penyelidikan itu, baru dibuat surat penyelidikan baru dengan pasal yang baru,” paparnya.

Sementara itu, mengenai perpanjangan penahanan yang tertuang dalam Surat Penahanan Nomor: Sprin.Han/13/DIK.01.03/01/01/2023 tanggal 12 Januari 2023, Surat Perintah Perpanjangan Penahanan Nomor: Sprin.Han/13B.2023/DIK.01.03/01/01/2023 tanggal 20 Januari 2023, dan Surat Perintah Perpanjangan Penahanan dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 76/Tah.Pid.Sus/TPK/III/PN.Jkt.Pst tanggal 2 Maret 2023, yang tertulis dikeluarkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) selaku Direktur Penuntutan KPK, yang dalam pertimbangan putusannya, hakim berpendapat, sepanjang surat sudah diterima maka dianggap sudah menyetujui isinya.

“Yang diterima itu fisik suratnya, penerimaan fisik surat tidak dapat dianggap menyetujui isi surat,” pungkasnya. (fia/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya