JAYAPURA – Memasuki bulan ketiga penyanderaan Pilot Susi Air Philip Mark Merthens oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) pimpinan Egianus Kogoya. Pria asal Selandia Baru itu disandera sejak 7 Februari 2023 di Paro, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan.
Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (Pembela Ham) Theo Hesegem menyatakan, upaya pembebasan Pilot Susi Air membutuhkan kesepakatan dari pemerintah Indonesia, TPNPB-OPM dan Pemerintah Selandia Baru.
“Pembebasan Pilot membutuhkan tim negosiasi yang betul-betul Independen, tim itupun harus mendapat mandat dari tiga pihak yakni Pemerintah Indonseia, TPNPB-OPM dan Pemerintah Selandia Baru. Dimana mandat yang dimaksud setidak-tidaknya harus tertulis atau lisan,” kata Theo kepada Cenderawasih Pos, Rabu (3/5).
Kata Theo, berdasarkan mandat dari pihak yang bertikai, maka tim negosiasinya akan bergerak dengan bebas berdasarkan surat mandat, lalu akan melakukan negosiasi dengan perbagai pihak.
“Paling penting untuk saya adalah, Egianus Kogeya dan teman-teman TPNPB-OPM menunjukan tim negosiasinya yang mereka percaya, ditunjuk kepada siapa ? Perorang atau secara lembaga bisa disampaikan. Sehingga aspirasi mereka bisa disampaikan melalui lembaga atau orang-orang yang ditunjuk, oleh TPNPB kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Selandia Baru,” bebernya.
Sejauh ini kata Theo, Egianus Kogoya tidak memiliki tim negosiasi. Sekalipun ia telah melakukan penyanderaan sejak 7 Februari 2023, di Distrik Paro, Kabupaten Nduga. Dimana penyanderaan dilakukan agar pemerintah Indonesia dan Selandia Baru segera mengakui kedaulatan Papua Merdeka.
“Tetapi setelah pilot Susi Air disandera, tidak ada tanda-tanda pengakuan dari kedua belah pihak atas tuntutan yang dimaksud. Sampai hari ini masih buntuh atau tak ada yang mau mengakuinya,” paparnya.
Dikatakan Theo, apa yang disampaikan juru bicara TPNPB – OPM Sebby Sembom selama hanya sebatas ulasan peristiwa. Bukan negosiasi penyelesaian masalah, itu hanya dalam bentuk kampanye-kampanye saja.
“Harusnya ada tim negosiasi untuk melakukan negisiasi dengan pihak yang bermasalah guna mengakhiri kekerasan di tanah Papua, atau menjawab keinginan atau harapan yang diharapkan TPNPB-OPM di tanah Papua,” tegasnya
Theo menilai dikarenakan tidak ada tim negosiasi yang bisa berjuang menyampaikan aspirasinya melalui jalan resmi. Mengakibatkan masyarakat sipil mengalami korban jiwa, korban penyiksaan, korban penangkapan dan korban penahanan, apa lagi masyarakat mengungsi ke daerah orang lain dan selalu hidup di pegungsian.
“Soal Papua merdeka harga mati, atau Indonesia harga mati. Bagian ini tidak penting, tetapi saya harus berpikir bagimana kekerasan di Papua bisa berakhir. Sehingga itu, mau dan tidak mau, suka dan tidak suka aspirasi TPNPB-OPM secara tertulis ada yang harus sampaikan kepada Pemerintah Pusat, apakah Pemerintah mau menjawab atau tidak itu urusan kedua, tetapi aspirasinya ada yang harus sampaikan kepada pemerintah Pusat,” tuturnya.
Adapun aspirasi yang dimaksud disampaikan kepada pemerintah pusat, dan pemerintah Selandia Baru melaui tim negosiasi yang mendapatkan mandat dari pihak yang bermasalah bukan siapa-siapa.
Perlu diketahui kata Theo, sebuah perjuangan tanpa negosiasi dengan bertatap muka dengan pihak-pihak yang bertikai masalah tidak pernah akan berakhir. Justru perjuangan akan memakan waktu dan korban jiwa dari berbagai pihak. Sehingga itu, langkah negosiasinya harus dilakukan.
“Dalam proses negosiasi ada dua poin penting yang biasanya terjadi di mana-mana antara lain gagal dan berhasil. Entah itu gagal atau berhasil, langka untuk mengakhiri konflik kekerasan, negosiasinya harus diperjuangkan,” ungkap Theo. (fia/wen)