Lalu melihat pernyataannya selanjutnya yang mengatakan bahwa “banyak kasus baru terdeteksi ketika tim kesehatan melakukan screening lapangan” menurutnya ini menunjukkan bahwa pemerintah atau dinas diduga kuat tidak memahami penanganan HIV secara utuh. Ditegaskan pria yang sudah 20 tahun lebih menangani pasien HIV AIDS bahwa jika telah menyebut angka jumlah temuan kasus maka angka-angka tersebut haruslah berdasarkan diagnosa.
Dimana hasil positif ditegakkan dengan 3 test antibodi, bukan dengan screening-yang hanya dilakukan dengan 1 test antibodi-sama seperti halnya test pada PMI. “Dalam beberapa presentasi data juga selalu diwakili staff nya, hanya mempresentasikan jumlah temuan kasus yang tidak pernah mau diklarifikasi bersama LSM HIV Papua. Padahal perlu dipertanyakan sejauh mana sudah capaian sesuai SPM Dinkes di Jayapura,” beber Robert.
Hal ini nantinya bisa dikaitkan dengan berapa jumlah ODHA yang sudah mengetahui status HIV nya, berapa ODHA yang sudah mendapatkan pengobatan ARV dan apakah terputus atau sustain dan berapa ODHA yang HIV nya sudah tersupresi atau tertekan hingga tidak terdeteksi.
“Saya pikir tiga hal ini menjadi kunci pokok ranah pertanggungjawaban setiap dinas kesehatan atau kementerian kesehatan,” tambahnya. Robert menyebut bahwa 25 tahun lalu ia dan pegiat HIV AIDS lainnya mendapatkan bahwa kepala-kepala daerah, kepala dinas kesehatan hingga pejabat di KPA belum juga paham dalam penanganan kasus HIV secara berkelanjutan di Papua.
Padahal dikatakan ketika itu banyak dana yang dikucurkan, tapi jauh api dari panggang dalam pencapaian program penanggulangannya. Ia meminta pejabat dalam menginformasikan pengananan HIV AIDS sebisa mungkin memahami cara penanganan dan tidak melulu terstigma dengan hafalan lama seperti bahwa HIV tidak ada obat, penyebabnya dikarenakan pergaulan bebas dan penyakit ini akan menyebabkan kematian.
“Yang perlu menjadi catatan adalah HIV ada obatnya. Obat tersebut adalah ARV atau antiretroviral dimana dengan teraphy ARV hingga tersupresi, maka orang HIV tidak lagi menularkan HIV nya kepada pasangan seksualnya, atau juga tidak lagi menularkan dari ibu hamil yang HIV kepada anaknya tanpa proses operasi. Jika semua ODHA sdh terobati dan tersupresi, maka tidak ada lagi penularan baru HIV dari resiko hubungan seksual atau dari Ibu HIV kepada anak yang dilahirkannya,” paparnya.
Lalu melihat pernyataannya selanjutnya yang mengatakan bahwa “banyak kasus baru terdeteksi ketika tim kesehatan melakukan screening lapangan” menurutnya ini menunjukkan bahwa pemerintah atau dinas diduga kuat tidak memahami penanganan HIV secara utuh. Ditegaskan pria yang sudah 20 tahun lebih menangani pasien HIV AIDS bahwa jika telah menyebut angka jumlah temuan kasus maka angka-angka tersebut haruslah berdasarkan diagnosa.
Dimana hasil positif ditegakkan dengan 3 test antibodi, bukan dengan screening-yang hanya dilakukan dengan 1 test antibodi-sama seperti halnya test pada PMI. “Dalam beberapa presentasi data juga selalu diwakili staff nya, hanya mempresentasikan jumlah temuan kasus yang tidak pernah mau diklarifikasi bersama LSM HIV Papua. Padahal perlu dipertanyakan sejauh mana sudah capaian sesuai SPM Dinkes di Jayapura,” beber Robert.
Hal ini nantinya bisa dikaitkan dengan berapa jumlah ODHA yang sudah mengetahui status HIV nya, berapa ODHA yang sudah mendapatkan pengobatan ARV dan apakah terputus atau sustain dan berapa ODHA yang HIV nya sudah tersupresi atau tertekan hingga tidak terdeteksi.
“Saya pikir tiga hal ini menjadi kunci pokok ranah pertanggungjawaban setiap dinas kesehatan atau kementerian kesehatan,” tambahnya. Robert menyebut bahwa 25 tahun lalu ia dan pegiat HIV AIDS lainnya mendapatkan bahwa kepala-kepala daerah, kepala dinas kesehatan hingga pejabat di KPA belum juga paham dalam penanganan kasus HIV secara berkelanjutan di Papua.
Padahal dikatakan ketika itu banyak dana yang dikucurkan, tapi jauh api dari panggang dalam pencapaian program penanggulangannya. Ia meminta pejabat dalam menginformasikan pengananan HIV AIDS sebisa mungkin memahami cara penanganan dan tidak melulu terstigma dengan hafalan lama seperti bahwa HIV tidak ada obat, penyebabnya dikarenakan pergaulan bebas dan penyakit ini akan menyebabkan kematian.
“Yang perlu menjadi catatan adalah HIV ada obatnya. Obat tersebut adalah ARV atau antiretroviral dimana dengan teraphy ARV hingga tersupresi, maka orang HIV tidak lagi menularkan HIV nya kepada pasangan seksualnya, atau juga tidak lagi menularkan dari ibu hamil yang HIV kepada anaknya tanpa proses operasi. Jika semua ODHA sdh terobati dan tersupresi, maka tidak ada lagi penularan baru HIV dari resiko hubungan seksual atau dari Ibu HIV kepada anak yang dilahirkannya,” paparnya.