JAYAPURA – Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (Pembela Ham) Theo Hesegem menyebut, penyelesaian kasus pembobolan gudang senjata kodim Wamena, pada 4 April 2003, Kabupaten Jayawijaya, yang berujung terjadi pelanggaran HAM Berat, terkesan dipaksakan oleh Pemerintah Pusat melalui Menkopolhukam.
Bahkan, pertemuan yang diselenggarakan Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM (PPHAM ) pada (13/11) lalu, tanpa menghadirkan dan melibatkan keluarga korban pelanggaran HAM berat 2003. Sehingga menurut pihak keluarga korban menganggap pertemuan tidak formal.
“Rupanya Pemerintah Jakarta sulit dan susah menjawab tuntutan dan pernyataan sikap keluarga korban kasus pelanggaran HAM berat, 4 April 2003. Sebagaimana diserahkan kepada Tim PPHAM,” kata Theo dalam rilisnya kepada Cenderawasih Pos, Jumat (17/11)
Menurut Theo, dalam rangka pembahasan penyelesaian dugaan pelanggaran HAM berat Wamena 4 April 2003. Telah dilakukan empat kali pertemuan, bahkan pernah dilakukan pembahasan di Wamena dengan Presiden. Hanya saja, dalam pertemuan itu tanpa melibatkan keluarga korban.
“Pertemuan yang dilakukan tanpa melibatkan keluarga korban adalah pertemuan tidak formal alias liar. Karena yang mengambil keputusan menerima atau tidak ada pada korban sendiri, bukan siapa-siapa atau Tim PPHAM,” tegasnya.
Lanjut Theo, Pemerintah tidak berani menjawab pernyataan sikap yang disampaikan oleh keluarga korban kasus pelanggaran HAM berat 2003, yang isinya ada 4 poin tuntutan yang disampaikan dalam bentuk pernyataan sikap diantaranya.
Satu, keluarga korban dan korban pelanggaran HAM berat Wamena 4 April 2003, tidak menerima segalah bentuk bantuan kompensasi dari pemerintah Indonesi, termasuk penyelesaian judisial dan non-judisial.
Dua, meminta pemerintah Rebuplik Indonesia untuk membuka ruang dialog perspektif HAM. Dialog yang dimaksud dimediasi oleh pihak ketiga yakni PBB terkait kasus pelanggaran HAM berat 4 April 2003.