Wednesday, January 15, 2025
28.7 C
Jayapura

Undang-undang Sektoral Dianggap Menghambat Pengambilan Kebijakan

JAYAPURA – Persoalan pembangunan di Papua tak lepas dari adanya payung hukum yang menjadi regulasi yakni UU Otsus Nomor 21 tahun 2001 yang kemudian diubah menjadi nomor 2 tahun 2021. Hanya saja pelaksanaannya di lapangan kerap terhambat lantaran pemerintah masih menerapkan UU pemerintahan daerah yakni UU Nomor 34 tahun 2014.

   Ini dianggap  menjadi satu ganjalan yang  terkadang membuat kebingungan  dalam pengambilan keputusan.  Masalah ini sendiri sejatinya bukan baru melainkan sejak Otsus itu diberlakukan dan akhirnya terkadang berbenturan dengan regulasi yang bersifat khusus.

   “Kalau mau dibilang ini sudah lama kami pertanyakan terkait regulasi. UU Otsus sudah diperkuat dengan PP 106 dan 107,  namun perlu kesepahaman bersama agar semua lembaga kementerian harus mengacu pada pelaksanaan UU Otsus secara specialis dan generalis,” kata Yonas Nusi, salah satu anggota DPR Papua, Senin (9/1).

Baca Juga :  700-an Kaum Ibu Ramaikan Lomba Paduan Suara PKK

   Ia meminta dari semangat Otsus ini sepatutnya jangan justru dicederai dengan tidak maksimalnya niat pemerintah untuk menyepakati dilakukannya pembangunan. Jadi UU Otsus menurut Yonas tidak memiliki kekuatan utama melainkan masih ada UU sektoral yang turut serta melakukan eksekusi pelayanan public di Papua.

   “Ini harus dikomunikasikan dengan baik. Harus disudahi bahwa di Papua itu UU Otsus. Kalau UU sektoral tetap ada, maka akan terjadi ketimpangan. Contoh penerimaan ASN,” bebernya.

   Dikatakan sesuai kebutuhan daerah maka gubernur dan bupati sudah bisa melakukan perekrutan, namun jika sesuai dengan standart nasional, maka penilaian dan pertimbangannya juga akan berbeda.

   Lalu dulu ada Sekolah Pendidikan Guru atau SPG. Ini menjadi kebanggaan dimana lulusan SMA bisa lanjut kesini dan kemudian mengabdi. Namun seiring waktu SPG tak lagi mendapat pengakuan. Begitu juga dengan SPK atau sekolah keperawatan.

Baca Juga :  Penjabat Kepala Kampung Diangkat dari ASN Pemda

   “Dulu mereka alumni SPG dan SPK  itu banyak membantu  karena mereka yang mengabdi di daerah – daerah tapi sekarang sudah tidak bisa. Dulu kami merasakan pelayanan itu termasuk guru – guru yang lama,” tambah Yonas.

  Jadi menurutnya perlu dipikirkan oleh pemerintah pusat dan provinsi agar terjadi sinkronisasi koordinasi dalam penerapannya.  “Contoh lain UU kehutanan dan pertanian ini membuat UU Otsus agak sulit diterapkan karena semua sentralistik,” tutupnya. (ade/tri)

JAYAPURA – Persoalan pembangunan di Papua tak lepas dari adanya payung hukum yang menjadi regulasi yakni UU Otsus Nomor 21 tahun 2001 yang kemudian diubah menjadi nomor 2 tahun 2021. Hanya saja pelaksanaannya di lapangan kerap terhambat lantaran pemerintah masih menerapkan UU pemerintahan daerah yakni UU Nomor 34 tahun 2014.

   Ini dianggap  menjadi satu ganjalan yang  terkadang membuat kebingungan  dalam pengambilan keputusan.  Masalah ini sendiri sejatinya bukan baru melainkan sejak Otsus itu diberlakukan dan akhirnya terkadang berbenturan dengan regulasi yang bersifat khusus.

   “Kalau mau dibilang ini sudah lama kami pertanyakan terkait regulasi. UU Otsus sudah diperkuat dengan PP 106 dan 107,  namun perlu kesepahaman bersama agar semua lembaga kementerian harus mengacu pada pelaksanaan UU Otsus secara specialis dan generalis,” kata Yonas Nusi, salah satu anggota DPR Papua, Senin (9/1).

Baca Juga :  Penjabat Kepala Kampung Diangkat dari ASN Pemda

   Ia meminta dari semangat Otsus ini sepatutnya jangan justru dicederai dengan tidak maksimalnya niat pemerintah untuk menyepakati dilakukannya pembangunan. Jadi UU Otsus menurut Yonas tidak memiliki kekuatan utama melainkan masih ada UU sektoral yang turut serta melakukan eksekusi pelayanan public di Papua.

   “Ini harus dikomunikasikan dengan baik. Harus disudahi bahwa di Papua itu UU Otsus. Kalau UU sektoral tetap ada, maka akan terjadi ketimpangan. Contoh penerimaan ASN,” bebernya.

   Dikatakan sesuai kebutuhan daerah maka gubernur dan bupati sudah bisa melakukan perekrutan, namun jika sesuai dengan standart nasional, maka penilaian dan pertimbangannya juga akan berbeda.

   Lalu dulu ada Sekolah Pendidikan Guru atau SPG. Ini menjadi kebanggaan dimana lulusan SMA bisa lanjut kesini dan kemudian mengabdi. Namun seiring waktu SPG tak lagi mendapat pengakuan. Begitu juga dengan SPK atau sekolah keperawatan.

Baca Juga :  KPK Izinkan Berobat ke Singapura dengan Status Tahanan

   “Dulu mereka alumni SPG dan SPK  itu banyak membantu  karena mereka yang mengabdi di daerah – daerah tapi sekarang sudah tidak bisa. Dulu kami merasakan pelayanan itu termasuk guru – guru yang lama,” tambah Yonas.

  Jadi menurutnya perlu dipikirkan oleh pemerintah pusat dan provinsi agar terjadi sinkronisasi koordinasi dalam penerapannya.  “Contoh lain UU kehutanan dan pertanian ini membuat UU Otsus agak sulit diterapkan karena semua sentralistik,” tutupnya. (ade/tri)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya