Saturday, April 27, 2024
28.7 C
Jayapura

Sidang Lukas Enembe Hadirkan Tiga Saksi Ahli

JAYAPURA– Sidang dugaan suap dan gratifikasi yang menjadikan Gubernur Papua non aktif, Lukas Enembe sebagai terdakwa digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (28/8).

Dalam sidang tersebut, tim penasihat hukum Lukas Enembe menghadirkan tiga orang ahli. Mereka diantaranya Muhammad Rullyandi Ahli Hukum Tata Negara, Eko Sembodo Ahli Keuangan Negara dan Perhitungan Kerugian Negara, serta Hernold Ferry Makawimbang, yang juga Ahli Keuangan Negara dan Perhitungan Kerugian Negara.

Ketiga saksi ini dihadirkan pihak Lukas  untuk menggali keterangan yang berkaitan dengan kewenangan yang berhubungan dengan kewajiban jabatan gubernur dalam pengelolaan keuangan saat Lukas Enembe menjabat Gubernur Papua periode 2013-2023.

Dalam keterangannya, Rullyandi mengatakan, dalam pengelolaan keuangan negara, maka hukum administrasi itu ditindaklanjuti dalam ruang lingkup pengelolaan keuangan negara, yang diawasi oleh lembaga negara yang bernama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“BPK itu menjadi ujung dalam pemeriksaan akhir terhadap rangkaian pengelolaan negara, dimulai dari perencanaannya, pelaksanaan dan sebelum pertanggungjawabannya, ada di pengawasan,” kata Rullyandi, sebagaimana rilis yang diterima Cenderawasih Pos, Selasa (29/8).

Dalam legal opinionnya yang diserahkan ke Majelis Hakim, Rullyandi mengatakan, berdasarkan data-data faktul laporan audit BPK semasa periode Gubernur Lukas Enembe tidak terdapat indikasi pidana dalam pengelolaan keuangan daerah termasuk tidak terdapat dugaan indikasi penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa yang merupakan refleksi pemenuhan asas kepastian hukum rechtszakerheid van beginselen.

Baca Juga :  Terlibat Cinta Segitiga, Sopir Nekat Habisi Selingkuhan Bos

Ahli berpendapat terkait dengan dimulainya proses penyidikan terhadap tindak pidana korupsi kepada Terdakwa Lukas Enembe dengan dugaan tindak pidana suap dan gratifikasi tidak berdasarkan rekomendasi BPK. Sehingga sejak awal penyidikan tersebut hingga dilimpahkan ke pengadilan telah mengabaikan UU No. 15 Tahun 2004 khususnya ketentuan pasal 14.

“Bahwa dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi terkait dengan keberadaan norma pidana yang mengatur mengenai larangan perbuatan suap dan gratifikasi diperlukan pendekatan norma hukum administrasi dengan merujuk UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, yang pada bagian menimbang huruf c menyatakan dalam rangka pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diperlukan kaidah hukum administrasi keuangan negara yang mengatur perbendaharaan negara,” terangnya

Sementara itu, menurut Eko Sambodo selaku saksi ahli keuangan negara dan perhitungan kerugian negara, bila suatu provinsi telah diberikan sembilan kali opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh BPK. Maka secara administrasi, semua sudah diadministrasikan sesuai dengan peraturan yang berlaku dan pertanggungjawabannya, sudah sesuai dengan standar akuntan.

Baca Juga :  Wapres Dorong Pendirian Gedung Papua Christian Centre

“Dalam mengelola keuangan, sudah diaudit dan WTP, maka tidak ada hal-hal yang dilanggar sesuai dengan peraturan,” ucapnya.

Ditanya Prof. OC Kaligis, apakah dengan opini WTP ini dapat membuktikan bahwa provinsi tersebut tidak ada korupsi, saksi menjawab, bahwa dalam istilah auditor, korupsi dikenal dengan istilah penyimpangan. Korupsi dikenal dengan istilah penyimpangan, penyimpangan ini yang akan menyebabkan kerugian negara.

“Kalau sudah dapat opini WTP, berarti segala sesuatunya telah tersusun sesuai peraturan, tata kelola sudah tersusun sesuai peraturan, penyusun dan laporan sudah sesuai peraturan, pengeluaran sudah didukung bukti, sudah ada klarifikasinya, yang semua dijadikan satu. Itu semua yang kemudian diberikan WTP,” terangnya.

Sementara itu, Anggota Tim Penasihat Hukum Lukas Enembe (TPHLE), Petrus Bala Pattyona menyampaikan, sidang Lukas Enembe akan dilanjutkan pada Rabu (30/8).

“Sidang akan dilanjutkan hari ini, dan kondisi Lukas masih sakit dan sementara Lukas Enembe berada di Rutan Merah Putih,” pungkasnya. (fia/wen)

JAYAPURA– Sidang dugaan suap dan gratifikasi yang menjadikan Gubernur Papua non aktif, Lukas Enembe sebagai terdakwa digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (28/8).

Dalam sidang tersebut, tim penasihat hukum Lukas Enembe menghadirkan tiga orang ahli. Mereka diantaranya Muhammad Rullyandi Ahli Hukum Tata Negara, Eko Sembodo Ahli Keuangan Negara dan Perhitungan Kerugian Negara, serta Hernold Ferry Makawimbang, yang juga Ahli Keuangan Negara dan Perhitungan Kerugian Negara.

Ketiga saksi ini dihadirkan pihak Lukas  untuk menggali keterangan yang berkaitan dengan kewenangan yang berhubungan dengan kewajiban jabatan gubernur dalam pengelolaan keuangan saat Lukas Enembe menjabat Gubernur Papua periode 2013-2023.

Dalam keterangannya, Rullyandi mengatakan, dalam pengelolaan keuangan negara, maka hukum administrasi itu ditindaklanjuti dalam ruang lingkup pengelolaan keuangan negara, yang diawasi oleh lembaga negara yang bernama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“BPK itu menjadi ujung dalam pemeriksaan akhir terhadap rangkaian pengelolaan negara, dimulai dari perencanaannya, pelaksanaan dan sebelum pertanggungjawabannya, ada di pengawasan,” kata Rullyandi, sebagaimana rilis yang diterima Cenderawasih Pos, Selasa (29/8).

Dalam legal opinionnya yang diserahkan ke Majelis Hakim, Rullyandi mengatakan, berdasarkan data-data faktul laporan audit BPK semasa periode Gubernur Lukas Enembe tidak terdapat indikasi pidana dalam pengelolaan keuangan daerah termasuk tidak terdapat dugaan indikasi penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa yang merupakan refleksi pemenuhan asas kepastian hukum rechtszakerheid van beginselen.

Baca Juga :  KontraS Desak Polisi Bebaskan 7 Aktivis dan Ganti Rugi Materil Kerusakan

Ahli berpendapat terkait dengan dimulainya proses penyidikan terhadap tindak pidana korupsi kepada Terdakwa Lukas Enembe dengan dugaan tindak pidana suap dan gratifikasi tidak berdasarkan rekomendasi BPK. Sehingga sejak awal penyidikan tersebut hingga dilimpahkan ke pengadilan telah mengabaikan UU No. 15 Tahun 2004 khususnya ketentuan pasal 14.

“Bahwa dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi terkait dengan keberadaan norma pidana yang mengatur mengenai larangan perbuatan suap dan gratifikasi diperlukan pendekatan norma hukum administrasi dengan merujuk UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, yang pada bagian menimbang huruf c menyatakan dalam rangka pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diperlukan kaidah hukum administrasi keuangan negara yang mengatur perbendaharaan negara,” terangnya

Sementara itu, menurut Eko Sambodo selaku saksi ahli keuangan negara dan perhitungan kerugian negara, bila suatu provinsi telah diberikan sembilan kali opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh BPK. Maka secara administrasi, semua sudah diadministrasikan sesuai dengan peraturan yang berlaku dan pertanggungjawabannya, sudah sesuai dengan standar akuntan.

Baca Juga :  Gunakan Hati, Sudahi Pendekatan Militeristik

“Dalam mengelola keuangan, sudah diaudit dan WTP, maka tidak ada hal-hal yang dilanggar sesuai dengan peraturan,” ucapnya.

Ditanya Prof. OC Kaligis, apakah dengan opini WTP ini dapat membuktikan bahwa provinsi tersebut tidak ada korupsi, saksi menjawab, bahwa dalam istilah auditor, korupsi dikenal dengan istilah penyimpangan. Korupsi dikenal dengan istilah penyimpangan, penyimpangan ini yang akan menyebabkan kerugian negara.

“Kalau sudah dapat opini WTP, berarti segala sesuatunya telah tersusun sesuai peraturan, tata kelola sudah tersusun sesuai peraturan, penyusun dan laporan sudah sesuai peraturan, pengeluaran sudah didukung bukti, sudah ada klarifikasinya, yang semua dijadikan satu. Itu semua yang kemudian diberikan WTP,” terangnya.

Sementara itu, Anggota Tim Penasihat Hukum Lukas Enembe (TPHLE), Petrus Bala Pattyona menyampaikan, sidang Lukas Enembe akan dilanjutkan pada Rabu (30/8).

“Sidang akan dilanjutkan hari ini, dan kondisi Lukas masih sakit dan sementara Lukas Enembe berada di Rutan Merah Putih,” pungkasnya. (fia/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya