Friday, September 20, 2024
28.7 C
Jayapura

Sistem Noken Lahirkan Politikus Tidak Berkualitas

Anthon Raharusun (FOTO:Elfira/Cepos)

JAYAPURA – Tersisa tujuh bulan kedepan proses Pemilihan Umum akan diselenggarakan di Indonesia termasuk di bumi cenderawasih.

Ketua Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (PERADI SAI) Kota Jayapura dan Dosen Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Biak Anthon Raharusun menyatakan, politisasi sistem noken dalam Pemilu di Papua. Dimana sistem politik dan kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan.

Dalam kaitan ini, maka masyarakat mestinya terus diajarkan menyadari hak, kewajiban, serta tanggung jawab konstitusionalnya sebagai warga negara. Bukan sebaliknya, masyarakat terus menjadi objek untuk kepentingan elite-elite politik yang terus memolitisasi atas nama masyarakat dengan dalil “kebodohan dan keterbelakangan”.

“Dalam hubungan ini, politisasi terhadap “sistem” noken yang terus terjadi dalam Pemilu di Papua hanya melahirkan politikus-politikus atau para pemimpin yang tidak berkualitas dan tidak berwawasan sebagai negarawan. Bahkan, cenderung melahirkan pemimpin yang korup,” kata Anthon kepada Cenderawasih Pos, Kamis (13/7).

Lanjutnya, hal tersebut karena salah satu indikator kemajuan demokrasi akan sangat ditentukan dari kualitas sumber daya manusia para politikus atau para pemimpin yang dipilih secara demokratis mewakili kepentingan rakyat. Sehingga rakyatlah yang semestinya menentukan kualitas demokrasi melalui Pemilu. Bukan sebaliknya, rakyat dipolitisasi untuk menentukan kualitas para politikus atau para pemimpin.

“Jika ini terus terjadi, masyarakat Papua akan terus mundur dalam demokrasi dan tidak akan pernah maju dalam peradaban demokrasi. Biarkan masyarakat bebas menggunakan hak pilih mereka secara demokratis, sesuai hati nuraninya, tanpa upaya masif atau paksaan dengan cara memolitisasi noken sebagai suatu keniscayaan dalam pesta demokrasi di Papua,” terangnya.

Sehingga itu, dibutuhkan peran penting pemerintah dan lembaga penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU untuk mengantarkan kemajuan masyarakat ke pintu gerbang demokrasi Indonesia. Ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kemajuan suatu bangsa dan negara.

“Sebagai anak bangsa, kita tentu tidak pernah berpikir untuk terus-menerus membodohi atau membohongi masyarakat dengan dalil apa pun atas nama demokrasi untuk tetap mempertahankan budaya noken dalam konteks pemilu. Pemilu dari waktu ke waktu harus lebih berkualitas, lebih bermartabat, dan lebih demokratis dari pemilu sebelumnya,” tuturnya.

Baca Juga :  Pilot Susi Air Akan Dibebaskan di PNG ?

Menurut Anthon, masyarakat di Papua harus terus mengalami peradaban yang lebih maju dalam proses demokrasi, terutama dalam menggunakan hak dan tanggungjawab konstitusionalnya sebagai warga negara Indonesia.

“Kita tentu berharap Pemilu di masa depan, terutama dalam Pemilu tahun 2024, penggunaan sistem noken ini tidak lagi digunakan dalam kontestasi Pemilu di Papua, melainkan perlu diubah menjadi dengan sistem one man one vote sebagai cerminan untuk mengembalikan demokrasi yang sesungguhnya ke tangan rakyat,” ucapnya.

Hal ini selain untuk menghindari politisasi sistem noken dalam pemilu di Papua, tetapi juga sistem noken ini sangat berpotensi menimbulkan banyak kecurangan. Bahkan, pertikaian antara warga masyarakat terus terjadi dalam konstestasi Pemilu di Papua.

Oleh karena itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai salah satu lembaga yang bertanggung jawab terhadap maju mundurnya demokrasi, sehingga Pemilu dari waktu ke waktu KPU perlu meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilu yang dapat menjamin pelaksanaan hak politik masyarakat sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang demokratis berdasarkan Pancasilan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurutnya, dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peran setiap lembaga negara haruslah sama sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan check and balances. Akan tetapi, jika lembaga-lembaga tersebut tidak berfungsi baik, kinerjanya tidak efektif, atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya, yang sering terjadi adalah partai politik (parpol) menganggap dirinya menguasai poros-poros kekuasaan.

“Para parpol akan semakin merajalela menguasai dan mengendalikan segala proses penyelenggaraan fungsi pemerintahan. Sistem politik dan kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip check and balances dalam artian yang luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya lembaga penyelenggara pemilihan umum (pemilu) berdasarkan konstitusi dan perundang-undangan juga menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara,” terangnya.

Dikatakan, Pemilu di Papua baik pemilu legislatif, pemilu kepala daerah maupun pemilu presiden. Noken masih saja digunakan sebagai sarana atau instrumen pengganti kotak suara dalam pemungutan suara. Penggunaan sistem noken dalam Pemilu hanya bersifat kasuistis yang pada waktu itu masih dibutuhkan oleh sebagian masyarakat adat di Papua, terutama di 16 Kabupaten.

Baca Juga :  Tersisa 45 Calon Pandis Ikuti Test Wawancara   

Namun, dalam perkembangnya sampai dengan tahun 2019 atau pada Pemilu tahun 2019 hanya terdapat 12 Kabupaten, di mana hampir seluruh TPS masih menggunakan sistem noken/ikat, yaitu: Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Nduga, Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Puncak, Kabupaten Paniai, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Deiyai dan Kabupaten Dogiyai.

Penggunaan sistem noken atau sistem ikat dibeberapa Kabupaten tersebut di atas, diperkuat dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia Nomor: 810/PL.02.6-Kpt/06/KPU/IV/2019, tanggal 5 April 2019 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemungutan Suara dengan Sistem Noken/Ikat di Provinsi Papua Dalam Pemilihan Umum Tahun 2019, yang merupakan pedoman bagi KPU Provinsi Papua dan KPU Kabupaten dalam pelaksanaan Pemungutan Suara dengan menggunakan sistem noken atau sistem ikat.

“Pertanyaannya, bagaimana dengan Pemilu Tahun 2024, apakah 12 kabupaten tersebut masih menggunakan sistem noken/ikat atau sistem one man one vote secara langsung dan jurdil dalam pelaksanaan pemungutan suara,” tanya Anthon.

Hal ini tentu menjadi perhatian serius dari KPU RI dan KPU Provinsi Papua, termasuk KPU-KPU di beberapa wilayah Provinsi Papua yang baru saja dimekarkan sebagai daerah otonomi baru (DOB) seperti Provinsi Papua Pegunungan dan Provinsi Papua Tengah, agar dalam pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu tahun 2024 sejalan dengan sistem demokrasi yang dianut dalam sistem Pemilu.

Sehingga masyarakat di beberapa wilayah kabupaten tersebut tidak terus menerus mengalami kemunduran dalam berdemokrasi, tetapi masyarakat perlu diajarkan untuk mengalami kemajuan dalam berdemokrasi sebagai warga negara Indonesia yang berdaulat dalam kemandirian.

“Sebab, Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD tahun 1945,” bebernya. (fia/wen)

Anthon Raharusun (FOTO:Elfira/Cepos)

JAYAPURA – Tersisa tujuh bulan kedepan proses Pemilihan Umum akan diselenggarakan di Indonesia termasuk di bumi cenderawasih.

Ketua Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (PERADI SAI) Kota Jayapura dan Dosen Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Biak Anthon Raharusun menyatakan, politisasi sistem noken dalam Pemilu di Papua. Dimana sistem politik dan kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan.

Dalam kaitan ini, maka masyarakat mestinya terus diajarkan menyadari hak, kewajiban, serta tanggung jawab konstitusionalnya sebagai warga negara. Bukan sebaliknya, masyarakat terus menjadi objek untuk kepentingan elite-elite politik yang terus memolitisasi atas nama masyarakat dengan dalil “kebodohan dan keterbelakangan”.

“Dalam hubungan ini, politisasi terhadap “sistem” noken yang terus terjadi dalam Pemilu di Papua hanya melahirkan politikus-politikus atau para pemimpin yang tidak berkualitas dan tidak berwawasan sebagai negarawan. Bahkan, cenderung melahirkan pemimpin yang korup,” kata Anthon kepada Cenderawasih Pos, Kamis (13/7).

Lanjutnya, hal tersebut karena salah satu indikator kemajuan demokrasi akan sangat ditentukan dari kualitas sumber daya manusia para politikus atau para pemimpin yang dipilih secara demokratis mewakili kepentingan rakyat. Sehingga rakyatlah yang semestinya menentukan kualitas demokrasi melalui Pemilu. Bukan sebaliknya, rakyat dipolitisasi untuk menentukan kualitas para politikus atau para pemimpin.

“Jika ini terus terjadi, masyarakat Papua akan terus mundur dalam demokrasi dan tidak akan pernah maju dalam peradaban demokrasi. Biarkan masyarakat bebas menggunakan hak pilih mereka secara demokratis, sesuai hati nuraninya, tanpa upaya masif atau paksaan dengan cara memolitisasi noken sebagai suatu keniscayaan dalam pesta demokrasi di Papua,” terangnya.

Sehingga itu, dibutuhkan peran penting pemerintah dan lembaga penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU untuk mengantarkan kemajuan masyarakat ke pintu gerbang demokrasi Indonesia. Ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kemajuan suatu bangsa dan negara.

“Sebagai anak bangsa, kita tentu tidak pernah berpikir untuk terus-menerus membodohi atau membohongi masyarakat dengan dalil apa pun atas nama demokrasi untuk tetap mempertahankan budaya noken dalam konteks pemilu. Pemilu dari waktu ke waktu harus lebih berkualitas, lebih bermartabat, dan lebih demokratis dari pemilu sebelumnya,” tuturnya.

Baca Juga :  Ondoafi Tobati Laut: Satukan Suara untuk BTM!

Menurut Anthon, masyarakat di Papua harus terus mengalami peradaban yang lebih maju dalam proses demokrasi, terutama dalam menggunakan hak dan tanggungjawab konstitusionalnya sebagai warga negara Indonesia.

“Kita tentu berharap Pemilu di masa depan, terutama dalam Pemilu tahun 2024, penggunaan sistem noken ini tidak lagi digunakan dalam kontestasi Pemilu di Papua, melainkan perlu diubah menjadi dengan sistem one man one vote sebagai cerminan untuk mengembalikan demokrasi yang sesungguhnya ke tangan rakyat,” ucapnya.

Hal ini selain untuk menghindari politisasi sistem noken dalam pemilu di Papua, tetapi juga sistem noken ini sangat berpotensi menimbulkan banyak kecurangan. Bahkan, pertikaian antara warga masyarakat terus terjadi dalam konstestasi Pemilu di Papua.

Oleh karena itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai salah satu lembaga yang bertanggung jawab terhadap maju mundurnya demokrasi, sehingga Pemilu dari waktu ke waktu KPU perlu meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilu yang dapat menjamin pelaksanaan hak politik masyarakat sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang demokratis berdasarkan Pancasilan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurutnya, dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peran setiap lembaga negara haruslah sama sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan check and balances. Akan tetapi, jika lembaga-lembaga tersebut tidak berfungsi baik, kinerjanya tidak efektif, atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya, yang sering terjadi adalah partai politik (parpol) menganggap dirinya menguasai poros-poros kekuasaan.

“Para parpol akan semakin merajalela menguasai dan mengendalikan segala proses penyelenggaraan fungsi pemerintahan. Sistem politik dan kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip check and balances dalam artian yang luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya lembaga penyelenggara pemilihan umum (pemilu) berdasarkan konstitusi dan perundang-undangan juga menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara,” terangnya.

Dikatakan, Pemilu di Papua baik pemilu legislatif, pemilu kepala daerah maupun pemilu presiden. Noken masih saja digunakan sebagai sarana atau instrumen pengganti kotak suara dalam pemungutan suara. Penggunaan sistem noken dalam Pemilu hanya bersifat kasuistis yang pada waktu itu masih dibutuhkan oleh sebagian masyarakat adat di Papua, terutama di 16 Kabupaten.

Baca Juga :  Sebelum Ditemukan Meninggal, Michelle Pamit ke Ibu Akan Bebaskan Sandera

Namun, dalam perkembangnya sampai dengan tahun 2019 atau pada Pemilu tahun 2019 hanya terdapat 12 Kabupaten, di mana hampir seluruh TPS masih menggunakan sistem noken/ikat, yaitu: Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Nduga, Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Puncak, Kabupaten Paniai, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Deiyai dan Kabupaten Dogiyai.

Penggunaan sistem noken atau sistem ikat dibeberapa Kabupaten tersebut di atas, diperkuat dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia Nomor: 810/PL.02.6-Kpt/06/KPU/IV/2019, tanggal 5 April 2019 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemungutan Suara dengan Sistem Noken/Ikat di Provinsi Papua Dalam Pemilihan Umum Tahun 2019, yang merupakan pedoman bagi KPU Provinsi Papua dan KPU Kabupaten dalam pelaksanaan Pemungutan Suara dengan menggunakan sistem noken atau sistem ikat.

“Pertanyaannya, bagaimana dengan Pemilu Tahun 2024, apakah 12 kabupaten tersebut masih menggunakan sistem noken/ikat atau sistem one man one vote secara langsung dan jurdil dalam pelaksanaan pemungutan suara,” tanya Anthon.

Hal ini tentu menjadi perhatian serius dari KPU RI dan KPU Provinsi Papua, termasuk KPU-KPU di beberapa wilayah Provinsi Papua yang baru saja dimekarkan sebagai daerah otonomi baru (DOB) seperti Provinsi Papua Pegunungan dan Provinsi Papua Tengah, agar dalam pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu tahun 2024 sejalan dengan sistem demokrasi yang dianut dalam sistem Pemilu.

Sehingga masyarakat di beberapa wilayah kabupaten tersebut tidak terus menerus mengalami kemunduran dalam berdemokrasi, tetapi masyarakat perlu diajarkan untuk mengalami kemajuan dalam berdemokrasi sebagai warga negara Indonesia yang berdaulat dalam kemandirian.

“Sebab, Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD tahun 1945,” bebernya. (fia/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya