SENTANI- Sebuah harapan besar terhadap pemberdayaan masyarakat adat di Papua muncul dari gagasan dan ide Bupati Jayapura Matius Awoitauw. Selama dua periode kepemimpinannya sebagai Bupati Jayapura, dia telah mencurahkan seluruh gagasan, pikiran dan semangatnya untuk pemberdayaan masyarakat asli Papua di Kabupaten Jayapura, dengan tetap berlandaskan semangat otonomi khusus.
Gagasan keberpihakan terhadap orang asli Papua melalui pendekatan kebudayaan bukan berarti mengesampingkan kepentingan dan hak dari masyarakat nusantara di Papua. Namun, bicara keberpihakan ini lebih kepada bagaimana orang asli Papua itu bisa diberdayakan.
“Masyarakat adat mempunyai tanah, hutan dan air. Dari sanalah mereka hidup. Siapapun yang ingin berinvestasi di Papua, harus berhubungan langsung dengan pemilik ulayat dan masyarakat adat. Dalam konteks itulah mereka bisa diberdayakan.
Itulah sebabnya kenapa kita bentuk gugus tugas masyarakat adat, mereka lakukan pemetaan hutan adat dan tanahnya. Supaya tidak ada tumpang tindih kepemilikan,”ungkap Mathius Awoitauw.
 Menurutnya, implementasi Otsus Papua yang sesungguhnya adalah bagaimana pemerintah hadir dan memberikan ruang kepada masyarakat adat. Rasanya tidak berlebihan, jika saat ini masyarakat asli Papua belum benar-benar merasakan perhatian pemerintah melalui otonomi khusus Papua.
Meskipun ada regulasi dan UU khusus otonomi Papua, termasuk dibarengi dengan pembiayaan dana yang digelontorkan oleh pemerintah begitu besar untuk pemberdayaan ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Namun sampai saat ini, boleh dikatakan belum nampak.
Pemberdayaan masyarakat adat melalui pendekatan kebudayaan merupakan salah satu jalan untuk mengatasi berbagai persoalan mendasar di Papua.
Karena itu kata dia, model birokrasi era otsus di Papua ini harus benar-benar diubah. Bagaimana kehadiran otonomi khusus ini tidak saja sekedar slogan, tapi bisa memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk bisa berjaya dengan segala potensi yang dimiliki.
“Saya melihat selama hampir 10 tahun ini, papua perlu kerja keras. Papua itu seperti raksasa yang sedang tidur, Papua akan menjadi andalan untuk orang Papua sendiri dan Indonesia untuk waktu-waktu yang akan datang.  Kita butuh orang-orang hebat untuk menata itu. birokrasi di Papua di era otsus ini harus drubah,”ujarnya.
Dia mengatakan, ada istilah reorientasi, reorganisasi model birokrasi di Papua. Salah satunya dengan apa yang sudah mulai dibangun di Kabupaten Jayapura. Memang diakuinya, untuk merubah butuh waktu dan komitmen semua pemangku kepentingan. Harus ada kreativitas dalam berbirokrasi. Misalnya di Kabupaten Jayapura, Distrik menjadi pusat pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah daerah, ini akan menjadi kekuatan baru ke depan.
“Tinggal hanya itu saja bagaimana merubah dengan adanya undang-undang otonomi khusus ini, dia harus menyesuaikan. Kalau itu bisa terjadi, saya pikir kita bisa lakukan banyak hal ke depan. Kita sudah mulai di Jayapura,” pungkasnya.
Dia menambahkan, undang-undang otonomi khusus Papua ini berdasarkan adat istiadat dan kebudayaan. Untuk itu kami harus diperjuangkan. Kabupaten Jayapura juga sudah memulainya, pemerintah hanya memfasilitasi bukan menentukan. Karena itu Pemerintah Kabupaten Jayapura sedang memastikan ruang-ruang kelola mereka, melalui pemetaan pemetaan yang dilakukan dan hutan-hutan adat juga harus dipastikan. Program ini juga sudah mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari pemerintah pusat dan cara inilah pendekatan pembangunan di Papua. (roy/ary)