Wednesday, December 25, 2024
25.7 C
Jayapura

Dimasak Tiga Hari sebagai Pengganti Daun Jati

Gudeg Bu Tinah yang Digemari Keluarga Cendana hingga Bu Mega (5)

Jangan datang ke Warung Gudeg Bu Tinah di jam makan siang atau setelahnya. Pelanggan berjubel setiap tengah hari dan selalu ludes selepas jam makan siang. Meski tak ikut mengantre kursi di warung, konon, Keluarga Cendana dan Bu Mega adalah pelanggannya.

Ferlynda Putri, Jakarta

TINAH hijrah ke Jakarta pada 1968. Saat itu dia membantu budenya yang berjualan gudeg di Pasar Boplo. Dia mengatakan bahwa gudeg adalah resep turun-temurun keluarga besarnya. Ibu Tinah pun berjualan gudeg. Dari sekadar bantu-bantu sang bude yang sengaja ke ibu kota untuk mengembangkan gudeg resep warisan keluarga itu, Tinah kemudian mahir bikin gudeg.

Maka, setelah berkeluarga, dia memberanikan diri untuk membuka warung sendiri. Stasiun Gondangdia menjadi pilihannya. ”Ini rasa saya sendiri. Kalau orang bilang kurang manis atau gimana, ya karena ini selera saya,” tuturnya saat ditemui Jawa Pos di kios gudegnya pada akhir Desember lalu. Gudeg Jogja Bu Tinah di Gondangdia lahir pada 1986. Awalnya, warung berada di dalam area stasiun. Tapi kini pindah ke lorong samping stasiun.

Yang khas dari gudeg adalah warna cokelat gelapnya. Di Jogjakarta dan sekitarnya, para penjual gudeg memanfaatkan daun jati sebagai pewarna. Namun, sulit menemukan daun jati di Jakarta. Apalagi, Tinah akan membutuhkannya setiap hari untuk keperluan memasak gudeg. Maka, Tinah pun menyiasati bagian pewarnaan gudeg itu dengan gula jawa.

Untuk mendapatkan level warna dan rasa yang menyerupai gudeg asli yang memakai daun jati, Tinah memasak gudeg sejak tiga hari sebelum dijual. Cara itu juga membuat bumbu semakin meresap dan rasanya kian legit.

”Sayur kreceknya juga sesuai selera saya,” kata Tinah. Dia memasukkan cabai rawit utuh ke dalam sayur kreceknya. Itu membuat sensasi pedas langsung terasa. Kepada pelanggan yang tidak suka pedas, dia menyarankan agar mereka menambahkan santan dalam porsi gudegnya. Santan akan membantu mengurangi rasa pedas.

Selain sayur krecek pedas, gudeg selalu ditemani opor ayam. Itu pula yang disajikan Tinah. ”Sehari bisa menghabiskan ayam 30 sampai 40 ekor,” ujar perempuan asli Jogjakarta tersebut. Areh alias santan kental yang biasa ditambahkan ke atas sajian gudeg diganti dengan kuah opor oleh Tinah. Akibatnya, sajian gudeg Tinah menjadi lebih basah.

Baca Juga :  MUI Diharap Lebih Intens Sosialisasikan di Masjid-Masjid

Kreasi Tinah ternyata tidak membuat gudegnya kehilangan rasa asli. Para pelanggan menyatakan bahwa gudeg Tinah tetap memunculkan rasa khas gudeg Jogja, tapi sangat bisa diterima lidah warga Jakarta. Yudi Supriatna, salah seorang pelanggan Gudeg Jogja Bu Tinah, mengatakan bahwa gudeg Jogja ala Tinah cocok dengan seleranya.

”Saya sudah coba beberapa tempat, tapi referensinya tetap di sini,” ujar Yudi. Menurut pria yang berdomisili di Tangerang itu, semua komponen gudeg Bu Tinah enak. ”Kalau dibilang manis, ya tidak terlalu manis banget,” imbuhnya.

Yudi menjadi pelanggan Gudeg Jogja Bu Tinah sejak masih bekerja di Jalan Merdeka Selatan. Saat itu warung Tinah masih berada di dalam stasiun. ”Awalnya cuma ikut-ikutan. Lama-lama ketagihan juga,” tutur pria asli Jawa Barat tersebut.

”Saya tahu gudeg di sini ini langganan Pak Harto, Keluarga Cendana,” ucap Yudi. Itu pula yang membuatnya tertarik untuk mencicipi masakan Tinah. Dia penasaran dengan gudeg yang cocok dengan selera Keluarga Cendana. Meski harus makan di tengah keramaian stasiun dan berdesakan dengan pelanggan-pelanggan lain, Yudi tidak berkeberatan.

Cerita Yudi tentang Keluarga Cendana itu membuat Tinah bangga. Sayangnya, dia belum pernah sekali pun berjumpa dengan Presiden Ke-2 RI Soeharto alias Pak Harto atau Keluarga Cendana. Demikian juga dengan mantan Presiden Megawati yang katanya juga ketagihan Gudeg Jogja Bu Tinah. ”Yang sering ke sini itu mungkin ajudan atau pegawainya,” ucap Tinah.

Awalnya, Tinah tidak tahu bahwa yang datang ke warungnya itu ajudan atau pegawai atau kerabat presiden. Sebagai penjual, dia juga enggan bertanya-tanya kepada pelanggannya. Tinah hanya memendam rasa penasarannya. Dia selalu mbatin karena tiap kali datang mereka diantarkan dengan mobil yang bagus. Begitu pula pakaian mereka. Berbeda dengan kebanyakan langganannya. Yang turun dari mobil bagus itu berpakaian rapi dan necis. ”Mereka ada yang makan di sini dan ada yang dibawa pulang,” tutur Tinah.

Baca Juga :  Tak Segera Tetapkan Tarif Baru, Sopir Ancam Mogok dan Naikkan Tarif 

Karena itu pula, meskipun media ramai memberitakan bahwa Gudeg Jogja Bu Tinah istimewa karena disukai Pak Harto dan Bu Mega, Tinah sendiri tidak berani angkat bicara. Sebab, dia tidak pernah melihat sendiri dua pemimpin tersebut menyantap gudeg bikinannya. ”Saya tidak tahu apakah Bapak (Pak Harto, Red) juga dahar,” ungkapnya.

Sekali waktu, Tinah pernah bertanya kepada para pelanggan yang berpakaian rapi tersebut. Dia juga mendapatkan jawaban langsung bahwa mereka memang anggota Keluarga Cendana. Dalam kesempatan lain, Tinah juga diyakinkan keluarga Mega bahwa mereka memang punya hubungan darah dengan presiden perempuan pertama Indonesia tersebut.

Rasa penasaran Tinah terjawab. Tapi, tetap saja dia tidak bisa memastikan bahwa Pak Harto atau Bu Mega pernah mencicipi gudegnya. ”Kan saya tidak tanya gudeg yang dibawa pulang itu dimakan siapa,” ungkap Tinah. Dia hanya menegaskan bahwa gudeg yang dibawa pulang oleh Keluarga Cendana maupun keluarga Bu Mega adalah gudeg komplet. Lengkap dengan potongan ayam, telur, dan sayur krecek pedas.

Tinah berharap suatu hari nanti bisa mendapatkan kepastian bahwa Pak Harto atau Bu Mega benar-benar pernah menyantap gudeg bikinannya. Jika testimoni itu bisa didapatkan dari mulut Bu Mega sendiri, dia tentu akan sangat bangga. Hal yang sama berlaku jika dia mendengar kesaksian langsung dari putra-putri Pak Harto bahwa mendiang pernah makan dan memang menyukai gudeg bikinan Tinah. ”Seandainya itu terjadi, saya akan senang sekali,” harapnya.

Sambil menanti datangnya momen bahagia tersebut, Tinah ingin terus membuat gudeg. Sebagaimana cita-cita keluarga besarnya, Tinah pun ingin membuat gudeg resep warisan itu menjadi pilihan kuliner warga ibu kota. Dia berharap gudegnya juga bisa menjadi pelipur rindu bagi mereka yang pernah jatuh cinta pada gudeg Jogjakarta. (*/c19/hep/JPG)

Gudeg Bu Tinah yang Digemari Keluarga Cendana hingga Bu Mega (5)

Jangan datang ke Warung Gudeg Bu Tinah di jam makan siang atau setelahnya. Pelanggan berjubel setiap tengah hari dan selalu ludes selepas jam makan siang. Meski tak ikut mengantre kursi di warung, konon, Keluarga Cendana dan Bu Mega adalah pelanggannya.

Ferlynda Putri, Jakarta

TINAH hijrah ke Jakarta pada 1968. Saat itu dia membantu budenya yang berjualan gudeg di Pasar Boplo. Dia mengatakan bahwa gudeg adalah resep turun-temurun keluarga besarnya. Ibu Tinah pun berjualan gudeg. Dari sekadar bantu-bantu sang bude yang sengaja ke ibu kota untuk mengembangkan gudeg resep warisan keluarga itu, Tinah kemudian mahir bikin gudeg.

Maka, setelah berkeluarga, dia memberanikan diri untuk membuka warung sendiri. Stasiun Gondangdia menjadi pilihannya. ”Ini rasa saya sendiri. Kalau orang bilang kurang manis atau gimana, ya karena ini selera saya,” tuturnya saat ditemui Jawa Pos di kios gudegnya pada akhir Desember lalu. Gudeg Jogja Bu Tinah di Gondangdia lahir pada 1986. Awalnya, warung berada di dalam area stasiun. Tapi kini pindah ke lorong samping stasiun.

Yang khas dari gudeg adalah warna cokelat gelapnya. Di Jogjakarta dan sekitarnya, para penjual gudeg memanfaatkan daun jati sebagai pewarna. Namun, sulit menemukan daun jati di Jakarta. Apalagi, Tinah akan membutuhkannya setiap hari untuk keperluan memasak gudeg. Maka, Tinah pun menyiasati bagian pewarnaan gudeg itu dengan gula jawa.

Untuk mendapatkan level warna dan rasa yang menyerupai gudeg asli yang memakai daun jati, Tinah memasak gudeg sejak tiga hari sebelum dijual. Cara itu juga membuat bumbu semakin meresap dan rasanya kian legit.

”Sayur kreceknya juga sesuai selera saya,” kata Tinah. Dia memasukkan cabai rawit utuh ke dalam sayur kreceknya. Itu membuat sensasi pedas langsung terasa. Kepada pelanggan yang tidak suka pedas, dia menyarankan agar mereka menambahkan santan dalam porsi gudegnya. Santan akan membantu mengurangi rasa pedas.

Selain sayur krecek pedas, gudeg selalu ditemani opor ayam. Itu pula yang disajikan Tinah. ”Sehari bisa menghabiskan ayam 30 sampai 40 ekor,” ujar perempuan asli Jogjakarta tersebut. Areh alias santan kental yang biasa ditambahkan ke atas sajian gudeg diganti dengan kuah opor oleh Tinah. Akibatnya, sajian gudeg Tinah menjadi lebih basah.

Baca Juga :  Di Kamar Mandi Juga Main Lato-lato, Mampu Kalahkan Pesaing yang Lebih Besar

Kreasi Tinah ternyata tidak membuat gudegnya kehilangan rasa asli. Para pelanggan menyatakan bahwa gudeg Tinah tetap memunculkan rasa khas gudeg Jogja, tapi sangat bisa diterima lidah warga Jakarta. Yudi Supriatna, salah seorang pelanggan Gudeg Jogja Bu Tinah, mengatakan bahwa gudeg Jogja ala Tinah cocok dengan seleranya.

”Saya sudah coba beberapa tempat, tapi referensinya tetap di sini,” ujar Yudi. Menurut pria yang berdomisili di Tangerang itu, semua komponen gudeg Bu Tinah enak. ”Kalau dibilang manis, ya tidak terlalu manis banget,” imbuhnya.

Yudi menjadi pelanggan Gudeg Jogja Bu Tinah sejak masih bekerja di Jalan Merdeka Selatan. Saat itu warung Tinah masih berada di dalam stasiun. ”Awalnya cuma ikut-ikutan. Lama-lama ketagihan juga,” tutur pria asli Jawa Barat tersebut.

”Saya tahu gudeg di sini ini langganan Pak Harto, Keluarga Cendana,” ucap Yudi. Itu pula yang membuatnya tertarik untuk mencicipi masakan Tinah. Dia penasaran dengan gudeg yang cocok dengan selera Keluarga Cendana. Meski harus makan di tengah keramaian stasiun dan berdesakan dengan pelanggan-pelanggan lain, Yudi tidak berkeberatan.

Cerita Yudi tentang Keluarga Cendana itu membuat Tinah bangga. Sayangnya, dia belum pernah sekali pun berjumpa dengan Presiden Ke-2 RI Soeharto alias Pak Harto atau Keluarga Cendana. Demikian juga dengan mantan Presiden Megawati yang katanya juga ketagihan Gudeg Jogja Bu Tinah. ”Yang sering ke sini itu mungkin ajudan atau pegawainya,” ucap Tinah.

Awalnya, Tinah tidak tahu bahwa yang datang ke warungnya itu ajudan atau pegawai atau kerabat presiden. Sebagai penjual, dia juga enggan bertanya-tanya kepada pelanggannya. Tinah hanya memendam rasa penasarannya. Dia selalu mbatin karena tiap kali datang mereka diantarkan dengan mobil yang bagus. Begitu pula pakaian mereka. Berbeda dengan kebanyakan langganannya. Yang turun dari mobil bagus itu berpakaian rapi dan necis. ”Mereka ada yang makan di sini dan ada yang dibawa pulang,” tutur Tinah.

Baca Juga :  Banyak Sampah Sisa Banjir yang Harus Diangkat, Suplai BBM Jadi Kendala

Karena itu pula, meskipun media ramai memberitakan bahwa Gudeg Jogja Bu Tinah istimewa karena disukai Pak Harto dan Bu Mega, Tinah sendiri tidak berani angkat bicara. Sebab, dia tidak pernah melihat sendiri dua pemimpin tersebut menyantap gudeg bikinannya. ”Saya tidak tahu apakah Bapak (Pak Harto, Red) juga dahar,” ungkapnya.

Sekali waktu, Tinah pernah bertanya kepada para pelanggan yang berpakaian rapi tersebut. Dia juga mendapatkan jawaban langsung bahwa mereka memang anggota Keluarga Cendana. Dalam kesempatan lain, Tinah juga diyakinkan keluarga Mega bahwa mereka memang punya hubungan darah dengan presiden perempuan pertama Indonesia tersebut.

Rasa penasaran Tinah terjawab. Tapi, tetap saja dia tidak bisa memastikan bahwa Pak Harto atau Bu Mega pernah mencicipi gudegnya. ”Kan saya tidak tanya gudeg yang dibawa pulang itu dimakan siapa,” ungkap Tinah. Dia hanya menegaskan bahwa gudeg yang dibawa pulang oleh Keluarga Cendana maupun keluarga Bu Mega adalah gudeg komplet. Lengkap dengan potongan ayam, telur, dan sayur krecek pedas.

Tinah berharap suatu hari nanti bisa mendapatkan kepastian bahwa Pak Harto atau Bu Mega benar-benar pernah menyantap gudeg bikinannya. Jika testimoni itu bisa didapatkan dari mulut Bu Mega sendiri, dia tentu akan sangat bangga. Hal yang sama berlaku jika dia mendengar kesaksian langsung dari putra-putri Pak Harto bahwa mendiang pernah makan dan memang menyukai gudeg bikinan Tinah. ”Seandainya itu terjadi, saya akan senang sekali,” harapnya.

Sambil menanti datangnya momen bahagia tersebut, Tinah ingin terus membuat gudeg. Sebagaimana cita-cita keluarga besarnya, Tinah pun ingin membuat gudeg resep warisan itu menjadi pilihan kuliner warga ibu kota. Dia berharap gudegnya juga bisa menjadi pelipur rindu bagi mereka yang pernah jatuh cinta pada gudeg Jogjakarta. (*/c19/hep/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya