Saturday, April 27, 2024
30.7 C
Jayapura

Yang Kinerjanya Apik Bisa Daftarkan Anak Mereka untuk Dapat Beasiswa

Sewindu Sudah Du Anyam Memberdayakan Ribuan Perempuan Lewat Anyaman

Du Anyam berperan memberikan input dari segi desain, kualitas produk, sampai ke akses pasar sehingga hasil anyaman ribuan perempuan di tiga provinsi tersebar lintas benua. Kisah ibu yang keguguran di tepi jalan jadi dinamo penggerak ketiga pendirinya: Hanna Keraf, Melia Winata, dan Azalea Ayuningtyas.    

AGFI SAGITIAN, Jakarta

TUJUH belas kilometer jauhnya jarak yang memisahkan desa di pelosok Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), tersebut ke Puskesmas terdekat. Sementara si ibu hamil yang telah mengalami pendarahan itu dan keluarganya tak punya kendaraan.

Uang pun nihil. Padahal, keluarga si ibu yang tengah mengandung anak ketiga tersebut harus menyewa kendaraan. Dengan terpaksa mereka meminjam uang kepada tetangga kanan-kiri. Waktu keberangkatan ke Puskesmas otomatis jadi molor.

Ibu tersebut akhirnya memang bisa berangkat. ”Tapi, tak sampai Puskesmas, si ibu harus melahirkan di tepi jalan. Malang, bayinya tak terselamatkan,” tutur Hanna Keraf menceritakan kisah sedih yang dia dengar langsung dari si ibu saat berkunjung ke Flores pada tahun 2014 itu.

Cerita malang ibu tersebut menjadi dinamo penggerak Hanna dan dua sahabatnya, Azalea Ayuningtyas dan Melia Winata, untuk mendirikan fondasi Du Anyam. Mereka memilih berkomitmen pada pemberdayaan perempuan.

Bukan karena mereka sendiri perempuan. ”Tapi, karena kami yakin ketika seorang perempuan empowered (berdaya), mereka juga bisa memberdayakan anak-anak mereka. Perempuan berdaya akan mengutamakan beberapa aspek kehidupan, seperti kesehatan, pendidikan, sanitasi, menjadi core point dari kehidupan,” ujar Melia yang bersama Hanna dan Ayu ditemui Jawa Pos berbarengan secara daring.

Delapan tahun setelah mereka berkiprah melalui Du Anyam, ribuan perempuan di NTT, Papua, dan Kalimantan Selatan telah turut mereka bantu berdayakan. Lewat anyaman para ibu di tiga provinsi tersebut, ratusan anak-anak juga berkesempatan mendapatkan beasiswa.

Hanna, Melia, dan Ayu memilih pemberdayaan lewat anyaman karena melihat para ibu di NTT dan dua provinsi lainnya memiliki keterampilan menganyam. Keterampilan tersebut bisa diasah dan dijadikan salah satu alternatif pekerjaan untuk mendatangkan pendapatan yang lebih stabil.

”Jadi, yang dilakukan Du Anyam adalah memanfaatkan keterampilan yang sudah ada, menggunakan material yang memang tumbuh di daerah sekitar, supaya kita juga bergerak atau berkarya menggunakan material yang ramah lingkungan,” ujar Melia.

Baca Juga :  Banyak Bisa Berkarya Namun Bingung Soal Pasar, Tertarik Garap Mabes Komunitas

Du Anyam, lanjut Melia, berperan memberikan input dari segi desain, kualitas produk, sampai ke akses pasar. ”Yang dilakukan Du Anyam adalah end-to-end, dari bekerja langsung dengan para ibu sampai dengan penyediaan akses pasar terhadap produk atau hasil karya para ibu yang sudah dibuat,” ujarnya.

Hanna, Melia, dan Ayu sebenarnya berasal dari latar yang berbeda. Ayu berlatar kesehatan masyarakat, Hanna berkecimpung di pengembangan komunitas, dan Melia menekuni sektor bisnis komersial. Bidang akademik boleh berbeda, tapi hati dan nalar mereka menyatu saat melihat tingginya angka malanutrisi atau kesehatan gizi buruk yang terjadi di daerah-daerah terpencil, tak terkecuali NTT.

Akar masalahnya memang pada pendapatan yang tak stabil. Dari ibu yang keguguran anak ketiga karena melahirkan di pinggir jalan tadi, kata Ayu, mereka jadi paham bahwa banyak sekali ibu dan keluarga mereka di wilayah yang sama yang bahkan tak punya cukup uang untuk memfotokopi KTP, syarat minimal agar bisa mendapatkan jaminan persalinan di Puskesmas atau rumah sakit.

Itu terjadi salah satunya karena para ibu hanya diperankan untuk berkebun. ”Kita tahu bahwa pendapatan yang bergantung pada perkebunan atau pertanian tidak bisa stabil sepanjang tahun karena tergantung dengan musim. Padahal, mereka tidak punya alternatif pekerjaan lain,” beber Ayu.

Bukan perkara mudah saat awal merintis. Tantangannya terutama mendapatkan kepercayaan dari komunitas yang hendak diberdayakan. Dan, meyakinkan mereka bahwa kegiatan tersebut akan memberikan dampak positif bagi mereka dan keluarga.

Memulai dari hanya satu desa dengan 8 penganyam, 8 tahun berselang Du Anyam sudah memberdayakan lebih dari 1.400 perempuan atau para ibu yang tersebar di 54 desa di tiga provinsi. ”Kalau di NTT, sekarang kami fokus di Kabupaten Flores Timur, kalau di Papua di Kota Nabire, sedangkan di Kalimantan Selatan kami bergerak di Kabupaten Hulu Sungai Utara,” ujar Hanna.

Du Anyam memiliki tiga pilar yang mereka pegang teguh: pemberdayaan perempuan, peningkatan kesejahteraan, dan promosi budaya. Kebetulan kerajinan tangan menjadi kearifan lokal atau local culture yang berada di tiga provinsi tersebut.

NTT memiliki anyaman khas dari daun lontar. Papua punya anyaman cantik dari kulit kayu, tepatnya dari batang pohon waru. Adapun di Kalimantan Selatan, anyaman dibuat dari purun.

Baca Juga :  Bangun Sejumlah Infrastruktur Publik, Rumah Layak Huni hingga Sarana Air Bersih

”Jadi, masing-masing material ini tumbuh dekat di kawasan sekitar. Sehingga mengakses bahan bakunya tidak susah. Kami juga turut membantu untuk mengurangi emisi karbon, terutama dari pengadaan bahan baku,” ujar Melia.

Hanna, Melia, dan Ayu juga memberikan insentif ekstra untuk para ibu yang berkinerja apik dari kegiatan menganyam yang dijalankan. Mereka memberi ibu-ibu tersebut kesempatan mendaftarkan anak-anak mereka untuk mendapatkan beasiswa pendidikan dari Du Anyam.

Pemberian insentif tersebut juga berdasar riset mendalam. Sebelum menentukan program sosial apa yang dibutuhkan oleh komunitas, Du Anyam berupaya memahami kebutuhan para ibu.

”Jadi, menurut survei tahunan kami, peningkatan ekonomi untuk ibu dan keluarganya paling banyak digunakan untuk biaya pendidikan anak,” kata Hanna.

Sampai saat ini sudah lebih dari 300 beasiswa didistribusikan kepada anak dari para ibu penganyam. ”Kami juga mengadakan pelatihan seperti penggunaan komputer, bagaimana cara mengirimkan e-mail, bagaimana cara me-record data di excel. Ada pula pelatihan bahasa Inggris sehingga ketika para ibu menerima kunjungan dari luar Indonesia, bisa berkomunikasi dengan para tamu,” urai Hanna.

Du Anyam juga mengadakan perencanaan keuangan keluarga. Selain itu, para ibu diberi akses untuk mengikuti kegiatan public speaking. ”Para ibu kami berikan kesempatan untuk bisa menyuarakan pendapat,” kata Hanna.

Kini sewindu setelah Du Anyam memulainya di Flores, karya tangan ribuan perempuan telah menjadi produk andalan untuk corporate gifts, hotel amenities, suvenir wedding, sampai dekorasi rumah. Tak hanya di pasar domestik, tapi juga telah menembus pasar lintas benua: Jepang, Korea Selatan, Australia, Denmark, Jerman, Finlandia, dan Amerika Serikat.

Sejauh ini, terang Melia, sudah berhasil dijual lebih dari 150 ribu unit produk yang dihasilkan para ibu di NTT, Papua, dan Kalimantan Selatan. ”Kami sudah bekerja dengan lebih dari 400 korporasi, organisasi internasional, dan pemerintah,” ujar Melia.

Hanna, Melia, dan Ayu telah jauh melangkah sejak mereka bersirobok dengan kisah malang ibu yang keguguran di tepi jalan tadi. Tapi, mereka tak hendak berhenti di sini.

”Kami masih ingin memberdayakan lebih banyak perempuan di seluruh Indonesia. Memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk mereka berkarya dan bersuara,” kata Melia yang diamini kedua sahabatnya. (*/c6/ttg/JPG)

Sewindu Sudah Du Anyam Memberdayakan Ribuan Perempuan Lewat Anyaman

Du Anyam berperan memberikan input dari segi desain, kualitas produk, sampai ke akses pasar sehingga hasil anyaman ribuan perempuan di tiga provinsi tersebar lintas benua. Kisah ibu yang keguguran di tepi jalan jadi dinamo penggerak ketiga pendirinya: Hanna Keraf, Melia Winata, dan Azalea Ayuningtyas.    

AGFI SAGITIAN, Jakarta

TUJUH belas kilometer jauhnya jarak yang memisahkan desa di pelosok Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), tersebut ke Puskesmas terdekat. Sementara si ibu hamil yang telah mengalami pendarahan itu dan keluarganya tak punya kendaraan.

Uang pun nihil. Padahal, keluarga si ibu yang tengah mengandung anak ketiga tersebut harus menyewa kendaraan. Dengan terpaksa mereka meminjam uang kepada tetangga kanan-kiri. Waktu keberangkatan ke Puskesmas otomatis jadi molor.

Ibu tersebut akhirnya memang bisa berangkat. ”Tapi, tak sampai Puskesmas, si ibu harus melahirkan di tepi jalan. Malang, bayinya tak terselamatkan,” tutur Hanna Keraf menceritakan kisah sedih yang dia dengar langsung dari si ibu saat berkunjung ke Flores pada tahun 2014 itu.

Cerita malang ibu tersebut menjadi dinamo penggerak Hanna dan dua sahabatnya, Azalea Ayuningtyas dan Melia Winata, untuk mendirikan fondasi Du Anyam. Mereka memilih berkomitmen pada pemberdayaan perempuan.

Bukan karena mereka sendiri perempuan. ”Tapi, karena kami yakin ketika seorang perempuan empowered (berdaya), mereka juga bisa memberdayakan anak-anak mereka. Perempuan berdaya akan mengutamakan beberapa aspek kehidupan, seperti kesehatan, pendidikan, sanitasi, menjadi core point dari kehidupan,” ujar Melia yang bersama Hanna dan Ayu ditemui Jawa Pos berbarengan secara daring.

Delapan tahun setelah mereka berkiprah melalui Du Anyam, ribuan perempuan di NTT, Papua, dan Kalimantan Selatan telah turut mereka bantu berdayakan. Lewat anyaman para ibu di tiga provinsi tersebut, ratusan anak-anak juga berkesempatan mendapatkan beasiswa.

Hanna, Melia, dan Ayu memilih pemberdayaan lewat anyaman karena melihat para ibu di NTT dan dua provinsi lainnya memiliki keterampilan menganyam. Keterampilan tersebut bisa diasah dan dijadikan salah satu alternatif pekerjaan untuk mendatangkan pendapatan yang lebih stabil.

”Jadi, yang dilakukan Du Anyam adalah memanfaatkan keterampilan yang sudah ada, menggunakan material yang memang tumbuh di daerah sekitar, supaya kita juga bergerak atau berkarya menggunakan material yang ramah lingkungan,” ujar Melia.

Baca Juga :  75 % Remaja Gangguan Jiwa, Akibat Penyalahgunaan Narkoba

Du Anyam, lanjut Melia, berperan memberikan input dari segi desain, kualitas produk, sampai ke akses pasar. ”Yang dilakukan Du Anyam adalah end-to-end, dari bekerja langsung dengan para ibu sampai dengan penyediaan akses pasar terhadap produk atau hasil karya para ibu yang sudah dibuat,” ujarnya.

Hanna, Melia, dan Ayu sebenarnya berasal dari latar yang berbeda. Ayu berlatar kesehatan masyarakat, Hanna berkecimpung di pengembangan komunitas, dan Melia menekuni sektor bisnis komersial. Bidang akademik boleh berbeda, tapi hati dan nalar mereka menyatu saat melihat tingginya angka malanutrisi atau kesehatan gizi buruk yang terjadi di daerah-daerah terpencil, tak terkecuali NTT.

Akar masalahnya memang pada pendapatan yang tak stabil. Dari ibu yang keguguran anak ketiga karena melahirkan di pinggir jalan tadi, kata Ayu, mereka jadi paham bahwa banyak sekali ibu dan keluarga mereka di wilayah yang sama yang bahkan tak punya cukup uang untuk memfotokopi KTP, syarat minimal agar bisa mendapatkan jaminan persalinan di Puskesmas atau rumah sakit.

Itu terjadi salah satunya karena para ibu hanya diperankan untuk berkebun. ”Kita tahu bahwa pendapatan yang bergantung pada perkebunan atau pertanian tidak bisa stabil sepanjang tahun karena tergantung dengan musim. Padahal, mereka tidak punya alternatif pekerjaan lain,” beber Ayu.

Bukan perkara mudah saat awal merintis. Tantangannya terutama mendapatkan kepercayaan dari komunitas yang hendak diberdayakan. Dan, meyakinkan mereka bahwa kegiatan tersebut akan memberikan dampak positif bagi mereka dan keluarga.

Memulai dari hanya satu desa dengan 8 penganyam, 8 tahun berselang Du Anyam sudah memberdayakan lebih dari 1.400 perempuan atau para ibu yang tersebar di 54 desa di tiga provinsi. ”Kalau di NTT, sekarang kami fokus di Kabupaten Flores Timur, kalau di Papua di Kota Nabire, sedangkan di Kalimantan Selatan kami bergerak di Kabupaten Hulu Sungai Utara,” ujar Hanna.

Du Anyam memiliki tiga pilar yang mereka pegang teguh: pemberdayaan perempuan, peningkatan kesejahteraan, dan promosi budaya. Kebetulan kerajinan tangan menjadi kearifan lokal atau local culture yang berada di tiga provinsi tersebut.

NTT memiliki anyaman khas dari daun lontar. Papua punya anyaman cantik dari kulit kayu, tepatnya dari batang pohon waru. Adapun di Kalimantan Selatan, anyaman dibuat dari purun.

Baca Juga :  Harus Ada Kesepahaman dan Bekerja Sama Untuk Wujudkan Impian

”Jadi, masing-masing material ini tumbuh dekat di kawasan sekitar. Sehingga mengakses bahan bakunya tidak susah. Kami juga turut membantu untuk mengurangi emisi karbon, terutama dari pengadaan bahan baku,” ujar Melia.

Hanna, Melia, dan Ayu juga memberikan insentif ekstra untuk para ibu yang berkinerja apik dari kegiatan menganyam yang dijalankan. Mereka memberi ibu-ibu tersebut kesempatan mendaftarkan anak-anak mereka untuk mendapatkan beasiswa pendidikan dari Du Anyam.

Pemberian insentif tersebut juga berdasar riset mendalam. Sebelum menentukan program sosial apa yang dibutuhkan oleh komunitas, Du Anyam berupaya memahami kebutuhan para ibu.

”Jadi, menurut survei tahunan kami, peningkatan ekonomi untuk ibu dan keluarganya paling banyak digunakan untuk biaya pendidikan anak,” kata Hanna.

Sampai saat ini sudah lebih dari 300 beasiswa didistribusikan kepada anak dari para ibu penganyam. ”Kami juga mengadakan pelatihan seperti penggunaan komputer, bagaimana cara mengirimkan e-mail, bagaimana cara me-record data di excel. Ada pula pelatihan bahasa Inggris sehingga ketika para ibu menerima kunjungan dari luar Indonesia, bisa berkomunikasi dengan para tamu,” urai Hanna.

Du Anyam juga mengadakan perencanaan keuangan keluarga. Selain itu, para ibu diberi akses untuk mengikuti kegiatan public speaking. ”Para ibu kami berikan kesempatan untuk bisa menyuarakan pendapat,” kata Hanna.

Kini sewindu setelah Du Anyam memulainya di Flores, karya tangan ribuan perempuan telah menjadi produk andalan untuk corporate gifts, hotel amenities, suvenir wedding, sampai dekorasi rumah. Tak hanya di pasar domestik, tapi juga telah menembus pasar lintas benua: Jepang, Korea Selatan, Australia, Denmark, Jerman, Finlandia, dan Amerika Serikat.

Sejauh ini, terang Melia, sudah berhasil dijual lebih dari 150 ribu unit produk yang dihasilkan para ibu di NTT, Papua, dan Kalimantan Selatan. ”Kami sudah bekerja dengan lebih dari 400 korporasi, organisasi internasional, dan pemerintah,” ujar Melia.

Hanna, Melia, dan Ayu telah jauh melangkah sejak mereka bersirobok dengan kisah malang ibu yang keguguran di tepi jalan tadi. Tapi, mereka tak hendak berhenti di sini.

”Kami masih ingin memberdayakan lebih banyak perempuan di seluruh Indonesia. Memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk mereka berkarya dan bersuara,” kata Melia yang diamini kedua sahabatnya. (*/c6/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya