Sunday, April 28, 2024
24.7 C
Jayapura

22 Kasus Tahun 2022, Meningkat Jadi 70 Kasus pada 2023

Catatan LBH APIK Jayapura Soal Kasus KDRT di Kota Jayapura 

Kekerasan terhadap anak dan perempuan masih terus terjadi di Kota Jayapura, Provinsi Papua. Mirisnya, para pelaku adalah orang orang terdekat korban. Seperti suami, orang tua dan pacar korban.

Laporan: Elfira-Jayapura 

Kekerasan yang terjadi dalam lingkungan rumah tangga  (KDRT) sering kali dianggap aib keluarga. Ironisnya perempuan dan anak yang sering menjadi korban, masih sulit untuk mendapatkan keadilan. Ujung-ujungnya, kasus kekerasan ini terus terbiar dan cenderung meningkat.

  Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jayapura mencatat, Januari tahun 2024, ada satu kasus kekerasan terhadap anak yang ditanganinya.

Baca Juga :  Dibangun Buruh Pelabuhan saat Belanda Berkuasa, Rutin Digelar Pengajian-Kultum

  “Tahun ini, kami dampingi satu kasus kekerasan terhadap anak yang korbannya dua orang. Pelaku adalah orang tua korban,” kata Direktur LBH Apik Jayapura, Nur Aida Duwila, saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Senin (29/1).

  Sementara tahun 2023, Nona menyebut ada 70 kasus yang didampinginya. Kasus tersebut meliputi kekerasan terhadap anak dan perempuan, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan seksual dan kekerasan dalam pacaran.

  “Kasus tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2022 yang hanya 22 kasus,” ujarnya.

  Dikatakan Nona, dalam pendampingan terhadap kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, KDRT, kekerasan seksual dan kekerasan dalam pacaran. Pihaknya lebih mengutamakan pemulihan korban.

Baca Juga :  Takjil  Laris Manis

  “Yang kami kejar adalah pemulihan psikososial korban, dan setelah mendapatkan laporan kami mendampingi para korban di tingkat Polres, Polda maupun di tempat lain,” jelasnya.

  Yang harus diingat kata Nona, setelah berlakunya Undang undang tindak pidana kekerasan seksual (UU TPKS). Bukan sekedar melakukan pendampingan, melainkan penanganan secara konperhensif dengan penyidik sampai ke pengadilan dan juga bagaimana rehabilitasi terhadap korban.

  “Tujuannya agar korban tidak terbawa oleh situasi dan kondusi saat dia menjadi korban dan juga tidak dihukum oleh masyarakat atas apa yang menimpanya,” ujarnya.

Catatan LBH APIK Jayapura Soal Kasus KDRT di Kota Jayapura 

Kekerasan terhadap anak dan perempuan masih terus terjadi di Kota Jayapura, Provinsi Papua. Mirisnya, para pelaku adalah orang orang terdekat korban. Seperti suami, orang tua dan pacar korban.

Laporan: Elfira-Jayapura 

Kekerasan yang terjadi dalam lingkungan rumah tangga  (KDRT) sering kali dianggap aib keluarga. Ironisnya perempuan dan anak yang sering menjadi korban, masih sulit untuk mendapatkan keadilan. Ujung-ujungnya, kasus kekerasan ini terus terbiar dan cenderung meningkat.

  Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jayapura mencatat, Januari tahun 2024, ada satu kasus kekerasan terhadap anak yang ditanganinya.

Baca Juga :  Tahun ini Tak Ada Rekrutmen Untuk Beasiswa Otsus 

  “Tahun ini, kami dampingi satu kasus kekerasan terhadap anak yang korbannya dua orang. Pelaku adalah orang tua korban,” kata Direktur LBH Apik Jayapura, Nur Aida Duwila, saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Senin (29/1).

  Sementara tahun 2023, Nona menyebut ada 70 kasus yang didampinginya. Kasus tersebut meliputi kekerasan terhadap anak dan perempuan, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan seksual dan kekerasan dalam pacaran.

  “Kasus tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2022 yang hanya 22 kasus,” ujarnya.

  Dikatakan Nona, dalam pendampingan terhadap kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, KDRT, kekerasan seksual dan kekerasan dalam pacaran. Pihaknya lebih mengutamakan pemulihan korban.

Baca Juga :  Belum Ada Keluarga, Jenazah Masih di RS Bhayangkara

  “Yang kami kejar adalah pemulihan psikososial korban, dan setelah mendapatkan laporan kami mendampingi para korban di tingkat Polres, Polda maupun di tempat lain,” jelasnya.

  Yang harus diingat kata Nona, setelah berlakunya Undang undang tindak pidana kekerasan seksual (UU TPKS). Bukan sekedar melakukan pendampingan, melainkan penanganan secara konperhensif dengan penyidik sampai ke pengadilan dan juga bagaimana rehabilitasi terhadap korban.

  “Tujuannya agar korban tidak terbawa oleh situasi dan kondusi saat dia menjadi korban dan juga tidak dihukum oleh masyarakat atas apa yang menimpanya,” ujarnya.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya