“Mekanisme berjenjang ini dimaksudkan agar setiap angka dalam rekapitulasi bisa ditelusuri kembali ke sumbernya di tingkat TPS. Karena itu, bila dalam pleno rekapitulasi tingkat kabupaten atau provinsi ditemukan adanya anomali jumlah pengguna hak pilih, maka mekanisme verifikasi yang sah adalah menelusuri kembali angka tersebut secara berjenjang hingga ke D. Daftar Hadir TPS,” tutur Ilham.
Di sisi lain, pihak terkait menghadirkan I Gusti Putu Artha yang pernah menjadi anggota KPU RI periode 2007-20012. Menurut dia, data DPT bisa tetap sama dari yang digunakan pada 27 November 2024 dengan PSU pada 6 Agustus 2025. Namun, pada kenyataannya jumlah DPT bisa berkurang karena misalnya ada pemilih yang alih status dari sipil menjadi TNI/Polri ataupun meninggal dunia.
Putu melanjutkan perubahan jumlah tentu bisa terjadi pada DPTb dan DPK. Sebab, penyelenggara pilkada tidak bisa memaksa pemilih yang masuk DPTb dan DPK untuk kembali mencoblos di TPS yang sama ketika 27 November 2024 karena misalnya yang bersangkutan sudah berada di tempat atau daerah lain.
Menurut Putu, yang paling penting ialah jumlah pengguna hak pilih pada saat PSU tidak melebihi pengguna hak pilih pada saat pemungutan pada 27 November 2024. “Cek saja di situ berapa jumlah DPT-nya, pengguna hak pilihnya, berapa kemudian yang menggunakan hak suara, berapa DPK (Daftar Pemilih Khusus) secara keseluruhan. Kalau kemudian jumlahnya menjadi sangat besar tidak rasional dilevel seluruh pilkada provinsi baru lah kita boleh curiga,” tutur dia.