Friday, March 29, 2024
24.7 C
Jayapura

Enam Produsen Migor Stop Produksi

Tidak Dapat Pasokan CPO, Pengusaha Keberatan Kewajiban DMO Naik

JAKARTA-Keputusan pemerintah melalui kementerian perdagangan menaikkan Domestic Market Obligation (DMO) minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO) mendapat penolakan dari kalangan pengusaha. Pelaku usaha industri minyak nabati keberatan kenaikan DMO dari 20 menjadi 30 persen.

Alasannya, kebijakan itu tidak berpihak ada industri sawit dan ekosistemnya.”Kami terus terang tidak setuju dengan DMO 30 persen ini memojokkan perindustrian persawitan. Kalau ekspor macet itu semua akan macet,” ujar Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga, Sabtu lalu (12/3).

Sahat mengapresiasi kebijakan DMO sebelumnya yang mampu mengumpulkan sekitar 415 ribu kilo liter minyak goreng sawit dalam waktu 22 hari. Jumlah tersebut sudah melebihi kebutuhan selama sebulan yaitu, 330 ribu kilo liter. Artinya, pemerintah tak perlu menaikkan kebijakan DMO menjadi 30 persen. ” Itu berarti ada 48 persen tambahan margin produk ekspor yang hilang, harus dicari penggantinya. Dan, itu tidak mudah,” bebernya.

DMO yang naik, lanjut Sahat, juga akan meningkatkan stok minyak sawit. Padahal, kapasitas tampung tiap perusahaan disebut terbatas. ”Tangki-tangki kita itu menurut pengalaman kami bersama Gapki (Gabungan Pengusaha Kepala Sawit Indonesia) itu hanya sekitar 4,8 juta ton bisa menampung. Jika ekspor dikurangi maka, stok menjadi 5,9 juta ton,” urainya.

Baca Juga :  Bergelut dengan Aspal, Prediksi Hujan, dan Cengkeraman Ban

Sahat menegaskan, kelangkaan minyak goreng yang terjadi saat ini terjadi bukan dikarenakan kekurangan pasokan. Tapi, alur distribusi yang harus diperbaiki. Apabila, ekspor itu terhalang maka perkebunan sawit akan rugi. ”Serta mayoritas TBS (tandan buah segar) petani tidak akan terolah karena market mayoritas ada di luar negeri,” ucapnya.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menerima laporan GIMNI bahwa sudah ada enam produsen minyak goreng (migor) yang berhenti produksi lantaran tidak mendapat pasokan CPO. Oleh karena itu, dia meminta pemerintah memastikan DMO untuk industri migor nasional ini mengalir dengan baik. Perlu dibentuk lembaga pengelola DMO CPO untuk memastikan aliran minyak sawit lancar dan sehat.

Menurut Mulyanto, pemerintah perlu berkoordinasi lebih intens dan komprehensif dari hulu hingga hilir. Sehingga, soal kelangkaan migor segera diselesaikan. Jangan berhenti pada kebijakan di bagian hilir, sementara hulunya tidak dibenahi. “Kelangkaan ini sudah lewat satu bulan, padahal sebentar lagi kita segera akan memasuki Ramadan,” imbuhnya.

Baca Juga :  Kejam Politikus Korea Selatan Lee Jae Myung Ditusuk Ketika Konferensi Pers

Untuk diketahui dari kegiatan ekspor CPO, industri migor dibagi menjadi tiga jenis. Yakni, produsen yang terintegrasi (pasar ekspor sekaligus pasar domestik), produsen migor domestik (hanya pasar domestik), dan produsen migor ekspor (hanya pasar ekspor).

Produsen terintegrasi tidak menghadapi masalah terkait pasokan. Karen,  produsen jenis itu kuota DMO CPO-nya dapat diambil langsung dengan menyisihkan 20 persen dari kuota ekspor minyak sawit .

Yang bermasalah adalah produsen migor domestik. Bila tidak memiliki relasi bisnis dengan produsen ekspor, maka akan kesulitan mendapat pasokan bahan baku yang murah. Mereka juga tidak bisa mengambil pasokan CPO dari pasar umum. Sebab, harga produk tidak bisa mengejar HET.

“Sedangkan, produsen CPO ekspor juga punya masalah. Mereka punya pekerjaan rumah tambahan, yakni harus menyalurkan DMO sebanyak 20 persen dari kuota ekspornya ke produsen migor domestik, yang selama ini kewajiban tersebut tidak ada,” pungkasnya. (agf/han/dio/JPG)

Tidak Dapat Pasokan CPO, Pengusaha Keberatan Kewajiban DMO Naik

JAKARTA-Keputusan pemerintah melalui kementerian perdagangan menaikkan Domestic Market Obligation (DMO) minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO) mendapat penolakan dari kalangan pengusaha. Pelaku usaha industri minyak nabati keberatan kenaikan DMO dari 20 menjadi 30 persen.

Alasannya, kebijakan itu tidak berpihak ada industri sawit dan ekosistemnya.”Kami terus terang tidak setuju dengan DMO 30 persen ini memojokkan perindustrian persawitan. Kalau ekspor macet itu semua akan macet,” ujar Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga, Sabtu lalu (12/3).

Sahat mengapresiasi kebijakan DMO sebelumnya yang mampu mengumpulkan sekitar 415 ribu kilo liter minyak goreng sawit dalam waktu 22 hari. Jumlah tersebut sudah melebihi kebutuhan selama sebulan yaitu, 330 ribu kilo liter. Artinya, pemerintah tak perlu menaikkan kebijakan DMO menjadi 30 persen. ” Itu berarti ada 48 persen tambahan margin produk ekspor yang hilang, harus dicari penggantinya. Dan, itu tidak mudah,” bebernya.

DMO yang naik, lanjut Sahat, juga akan meningkatkan stok minyak sawit. Padahal, kapasitas tampung tiap perusahaan disebut terbatas. ”Tangki-tangki kita itu menurut pengalaman kami bersama Gapki (Gabungan Pengusaha Kepala Sawit Indonesia) itu hanya sekitar 4,8 juta ton bisa menampung. Jika ekspor dikurangi maka, stok menjadi 5,9 juta ton,” urainya.

Baca Juga :  Sekelompok Pemuda Tolak Penempatan PJ Bukan OAP

Sahat menegaskan, kelangkaan minyak goreng yang terjadi saat ini terjadi bukan dikarenakan kekurangan pasokan. Tapi, alur distribusi yang harus diperbaiki. Apabila, ekspor itu terhalang maka perkebunan sawit akan rugi. ”Serta mayoritas TBS (tandan buah segar) petani tidak akan terolah karena market mayoritas ada di luar negeri,” ucapnya.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menerima laporan GIMNI bahwa sudah ada enam produsen minyak goreng (migor) yang berhenti produksi lantaran tidak mendapat pasokan CPO. Oleh karena itu, dia meminta pemerintah memastikan DMO untuk industri migor nasional ini mengalir dengan baik. Perlu dibentuk lembaga pengelola DMO CPO untuk memastikan aliran minyak sawit lancar dan sehat.

Menurut Mulyanto, pemerintah perlu berkoordinasi lebih intens dan komprehensif dari hulu hingga hilir. Sehingga, soal kelangkaan migor segera diselesaikan. Jangan berhenti pada kebijakan di bagian hilir, sementara hulunya tidak dibenahi. “Kelangkaan ini sudah lewat satu bulan, padahal sebentar lagi kita segera akan memasuki Ramadan,” imbuhnya.

Baca Juga :  Pengawasan Terintegrasi Jadi PR Ketua OJK Baru

Untuk diketahui dari kegiatan ekspor CPO, industri migor dibagi menjadi tiga jenis. Yakni, produsen yang terintegrasi (pasar ekspor sekaligus pasar domestik), produsen migor domestik (hanya pasar domestik), dan produsen migor ekspor (hanya pasar ekspor).

Produsen terintegrasi tidak menghadapi masalah terkait pasokan. Karen,  produsen jenis itu kuota DMO CPO-nya dapat diambil langsung dengan menyisihkan 20 persen dari kuota ekspor minyak sawit .

Yang bermasalah adalah produsen migor domestik. Bila tidak memiliki relasi bisnis dengan produsen ekspor, maka akan kesulitan mendapat pasokan bahan baku yang murah. Mereka juga tidak bisa mengambil pasokan CPO dari pasar umum. Sebab, harga produk tidak bisa mengejar HET.

“Sedangkan, produsen CPO ekspor juga punya masalah. Mereka punya pekerjaan rumah tambahan, yakni harus menyalurkan DMO sebanyak 20 persen dari kuota ekspornya ke produsen migor domestik, yang selama ini kewajiban tersebut tidak ada,” pungkasnya. (agf/han/dio/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya