Wednesday, December 4, 2024
25.7 C
Jayapura

Masyarakat Adat Tegas Tolak PSN dan Investasi

MERAUKE – Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) dipimpin Ketuanya Badikenita Sitepu didampingi Wakil Ketua Komite II A. Abdul Waris Walid melakukan pertemuan dengan masyarakat adat dari 5 distrik.

Mereka ini yang terdampak langsung dengan Program Strategis Nasional (PSN) lewat rencana cetak sawah baru 1 juta hektar serta Investasi Industri Tebu di Auditorium Kantor Bupati Merauke, Senin (2/12), kemarin.

Hadir pula 2 anggota DPD RI Perwakilan Papua Selatan, Sularso dan Frits Tobo Wakasu. Komite II DPD RI juga membawa mitra kerja mereka untuk pertemuan tersebut. Ketua Komite II DPD RI Badikenita Sitepu menjelaskan diawal pertemuan tersebut mengungkapkan, bahwa kedatangan pihaknya ke Merauke, Papua Selatan tersebut terkait dengan adanya surat yang masuk langsung ke DPD RI terkait dengan PSN dan investasi di Merauke.

Sementara itu, dari masyarakat adat dari 6 distrik yang akan menjadi sasaran dari PSN dan investasi tersebut tersebut dengan kompak menyatakan menolak program strategis nasional dna investasi akan akan masuk ke Merauke. Masing-masing ketua adat dari 6 distrik tersebut berbicara dan menyatakan penolakan terhadap PSN dan investasi.

Bahkan dalam pertemuan itu, masyarakat adat meminta pemerintah untuk menarik sekitar 2.000 lebih TNI dari PSN tersebut dan menghentikan sementara PSN tersebut.

Sementara itu, surat pernyataan solidaritas Merauke yang diserahkan oleh Ketua Solidaritas Adat Merauke Simon Petrus Balagaize dan LBH Papua Pos Merauke, Teddy Wakum yang ia serahkan langsung ke Ketua Komite II DPD RI memuat 6 pernyataan sikap.

Baca Juga :  Satpol PP Ungkap 3 Titik Penimbunan BBM Subsidi    

Pertama, kebijakan PSN Merauke diterbitkan tanpa ada kesepakatan luas masyarakat berdasarkan prinsip free prior informed consent (FPIC) yakni persetujuan masyarakat berdasarkan informasi sejak awal proyek dan tanpa ada paksaan, manipulasi dan rayuan melainkan secara sadar dan bebas. Kedua, kebijakan dan proyek PSN Merauke diterbitkan tanpa disertai kajian sosial dan lingkungan hidup yang memadai serta melibatkan masyarakat adat terdampak langsung dan tidak langsung.

‘’Hingga saat ini kami belum mendapatkan dan memperoleh bahan kajian lingkungan hidup strategis, analisa mengenai dampak lingkungan dan dokumen lingkungan hidup lainnya,’’ katanya.

Ketiga, bahwa pemerintah dan perusahaan Jhonlin Group serta 10 perusahaan perkebunan tebu dan biothanol, telah mengoperasikan alat dan sumber daya untuk menggusur kawasan hutan, savana, rawa dan lahan gambut hingga mengakibatkan terjadinya pengrusakan, penggundulan dan penghilangan kawasan hutan dan lahan, rawa, savaba dan lahan gambut, tempat sumber mata pencaharian, sumber pangan, tempat penting dan sakral dalam jumlah luas lebih dari 10.000 hektar dan dapat mencapai jutaan hektar.

Keempat, bahwa pemberian izin usaha dilakukan secara tertutup diduga terjadi praktik kolusi dan nepotisme, tidak adil dan monopoli, hanya menguntungkan kelompok dan orang tertentu. Terjadi pengambilalihan tanah dan hutan adat dalam skala luas hingga dapat melebihi 2 juta hektar.

Baca Juga :  Danrem: Tidak Ada Lagi Pendekatan Kekerasan

Kelima, bahwa pemerintah nasional, kementerian dan Panglima TNI sepemahaman membuat kebijakan, membentuk dan menggunakan aparat meliter TNI dalam PSN Merauke, termasuk memfasilitasi proses pengalihan hak atas tanah dan pengamanan proyek cetak sawah baru.

‘’Keberadaan dan aktivitas aparat meliter telah menimbulkan rasa tidak aman dan tekanan psikis bagi masyarakat di Kampung,’’ katanya.

‘’Kami berpandangan dan menilai kebijakan dan PSN Merauke bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hak asasi manusia, hak masyarakat adat, hak petani, hak atas tanah, hutan dan air, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas pembangunan, hak atas pangan dan gizi, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” bebernya.

Masyarakat adat menyatakan menokak proyek PSN Merauke karena menimbulkan pelanggaran HAM serius, hak hidup orang asli Papua dan kerusakan lingkungan hidup,’’ katanya lagi. Karena itu, masyarakat adat tersebut meminta kepada pimpinan DPD RI, Ketua Komite II DPD RI dan Anggota DPD RI Perwakilan Papua Selatan agar mendesak Presiden RI, Kementrian dan Lembaga Negara terkait PSN Merauke untuk menghentikan proyek tersebut.

MERAUKE – Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) dipimpin Ketuanya Badikenita Sitepu didampingi Wakil Ketua Komite II A. Abdul Waris Walid melakukan pertemuan dengan masyarakat adat dari 5 distrik.

Mereka ini yang terdampak langsung dengan Program Strategis Nasional (PSN) lewat rencana cetak sawah baru 1 juta hektar serta Investasi Industri Tebu di Auditorium Kantor Bupati Merauke, Senin (2/12), kemarin.

Hadir pula 2 anggota DPD RI Perwakilan Papua Selatan, Sularso dan Frits Tobo Wakasu. Komite II DPD RI juga membawa mitra kerja mereka untuk pertemuan tersebut. Ketua Komite II DPD RI Badikenita Sitepu menjelaskan diawal pertemuan tersebut mengungkapkan, bahwa kedatangan pihaknya ke Merauke, Papua Selatan tersebut terkait dengan adanya surat yang masuk langsung ke DPD RI terkait dengan PSN dan investasi di Merauke.

Sementara itu, dari masyarakat adat dari 6 distrik yang akan menjadi sasaran dari PSN dan investasi tersebut tersebut dengan kompak menyatakan menolak program strategis nasional dna investasi akan akan masuk ke Merauke. Masing-masing ketua adat dari 6 distrik tersebut berbicara dan menyatakan penolakan terhadap PSN dan investasi.

Bahkan dalam pertemuan itu, masyarakat adat meminta pemerintah untuk menarik sekitar 2.000 lebih TNI dari PSN tersebut dan menghentikan sementara PSN tersebut.

Sementara itu, surat pernyataan solidaritas Merauke yang diserahkan oleh Ketua Solidaritas Adat Merauke Simon Petrus Balagaize dan LBH Papua Pos Merauke, Teddy Wakum yang ia serahkan langsung ke Ketua Komite II DPD RI memuat 6 pernyataan sikap.

Baca Juga :  Pengurangan Masa Tinggal Jamaah Haji Terus Dikaji

Pertama, kebijakan PSN Merauke diterbitkan tanpa ada kesepakatan luas masyarakat berdasarkan prinsip free prior informed consent (FPIC) yakni persetujuan masyarakat berdasarkan informasi sejak awal proyek dan tanpa ada paksaan, manipulasi dan rayuan melainkan secara sadar dan bebas. Kedua, kebijakan dan proyek PSN Merauke diterbitkan tanpa disertai kajian sosial dan lingkungan hidup yang memadai serta melibatkan masyarakat adat terdampak langsung dan tidak langsung.

‘’Hingga saat ini kami belum mendapatkan dan memperoleh bahan kajian lingkungan hidup strategis, analisa mengenai dampak lingkungan dan dokumen lingkungan hidup lainnya,’’ katanya.

Ketiga, bahwa pemerintah dan perusahaan Jhonlin Group serta 10 perusahaan perkebunan tebu dan biothanol, telah mengoperasikan alat dan sumber daya untuk menggusur kawasan hutan, savana, rawa dan lahan gambut hingga mengakibatkan terjadinya pengrusakan, penggundulan dan penghilangan kawasan hutan dan lahan, rawa, savaba dan lahan gambut, tempat sumber mata pencaharian, sumber pangan, tempat penting dan sakral dalam jumlah luas lebih dari 10.000 hektar dan dapat mencapai jutaan hektar.

Keempat, bahwa pemberian izin usaha dilakukan secara tertutup diduga terjadi praktik kolusi dan nepotisme, tidak adil dan monopoli, hanya menguntungkan kelompok dan orang tertentu. Terjadi pengambilalihan tanah dan hutan adat dalam skala luas hingga dapat melebihi 2 juta hektar.

Baca Juga :  Bakal Garap Proyek Food Estate di Papua, Pesan 2.000 Ekskavator

Kelima, bahwa pemerintah nasional, kementerian dan Panglima TNI sepemahaman membuat kebijakan, membentuk dan menggunakan aparat meliter TNI dalam PSN Merauke, termasuk memfasilitasi proses pengalihan hak atas tanah dan pengamanan proyek cetak sawah baru.

‘’Keberadaan dan aktivitas aparat meliter telah menimbulkan rasa tidak aman dan tekanan psikis bagi masyarakat di Kampung,’’ katanya.

‘’Kami berpandangan dan menilai kebijakan dan PSN Merauke bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hak asasi manusia, hak masyarakat adat, hak petani, hak atas tanah, hutan dan air, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas pembangunan, hak atas pangan dan gizi, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” bebernya.

Masyarakat adat menyatakan menokak proyek PSN Merauke karena menimbulkan pelanggaran HAM serius, hak hidup orang asli Papua dan kerusakan lingkungan hidup,’’ katanya lagi. Karena itu, masyarakat adat tersebut meminta kepada pimpinan DPD RI, Ketua Komite II DPD RI dan Anggota DPD RI Perwakilan Papua Selatan agar mendesak Presiden RI, Kementrian dan Lembaga Negara terkait PSN Merauke untuk menghentikan proyek tersebut.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya

/