Friday, April 26, 2024
24.7 C
Jayapura

Ramai-ramai Dukung Regulasi Penyelesaian HAM di Papua

Anggota DPR Papua, John Gobai, melakukan hearing publik di Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua, Selasa (14/5), dalam upaya mendorong mendorong regulasi daerah tentang penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. ( FOTO : Gratianus Silas/Cepos)

JAYAPURA- Dalam rangka mendorong regulasi daerah tentang penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua, Anggota DPR Papua, John Gobai, melukukan hearing publik, melibatkan Komnas HAM Perwakilan Papua, akademisi, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), di Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua, Selasa (14/5.

“Pelanggaran HAM terjadi sejak 1961 hingga 2000, kemudian muncul Otonomi Khusus, dan diprediksi waktu itu akan terjadi lagi pelanggaran HAM, sehingga kewajiban moral saya untuk bisa memberikan kontribusi dalam bentuk Perda dalam penyelesaian HAM di Papua,” terang John Gobai kepada wartawan, Selasa (14/5)kemarin.

Selain itu, Papua dinilai belum memiliki payung hukum yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu dengan banyaknya pelanggaran HAM di Papua,dan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus telah diakomodirnya bab soal HAM, sehingga regulasi ini dapat menjadi pedoman di Papua dalam penyelesaian pelanggaran HAM.

Baca Juga :  Pemakaman Pencipta Lagu Mars Polri Diwarnai Isak Tangis

“Dengan asas lex specialis derogates lex generalis, yakni aturan hukum khusus mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum, sehingga saya mendorong regulasi ini agar ada pedoman bagi kita di Papua terkait penyelesaian pelanggaran HAM,” tambahnya.

Gobai telah menyelesaikan draf yang Ia susun terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM di Papua. Inilah yang menjadi bahan pembahasan dalam hearing publik, di mana terdapat pula banyak masukkan yang diterimanya. Dalam waktu dekat, ketika dilakukannya rapat Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bappemperda) DPR Papua, Gobai akan melaporkan draf tersebut terhadap pimpinan dewan agar dimasukkan dalam Prolekda 2019.

“Saya harapkan pimpinan dewan, Bappemperda, dan anggota DPR Papua lainnya dapat mendukung draf ini di sisa masa jabatan. Saya percaya DPR Papua pasti beri dukungan,” terangnya.

Sementara itu, Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey, mengaku bahwa dalam upaya pemajuan dan penegakkan HAM membutuhkan payung hukum turunan dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan kemudian aturan pelaksanaan dari Pasal 45 Undang-Undang Otsus dalam konteks Papua.

Baca Juga :  Kapolda: Terus Berkarya Polwan Polda Papua

“Oleh sebab itu, inisiatif yang didorong Anggota DPR Papua, John Gobay, untuk menyusun draft menyusunan peraturan daerah dalam mendorong regulasi daerah tentang penyelesaian pelanggaran HAM di Papua sangat diapresiasi Komnas HAM Perwakilan Papua,” sambung Frits Ramandey.

Ramandey menyebutkan pula bahwa per 10 Desember 2016, Gubernur Papua, Lukas Enembe, di depan para korban pelanggaran HAM, menjanjikan untuk memberikan bantuan sosial. Makanya, Gubernur Enembe membutuhkan payung hukum yang mana diintruksikannya Biro Hukum untuk menyusun Peraturan Gubernur agar para korban bisa diberikan bantuan sosial.

“Tujuannya ini tidak bermaksud untuk menggugurkan kasus pelanggaran HAM yang ditangani Komnas HAM. Sebaliknya, secara historis, Gubernur menyadari perjuangan Otsus, di mana isu pertama yang menjadi perhatian ialah isu HAM. Oleh sebab itu, penyelesaian HAM dalam konteks Otsus, pemerintah wajib memberikan perhatian,” pungkasnya. (gr/gin)

Anggota DPR Papua, John Gobai, melakukan hearing publik di Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua, Selasa (14/5), dalam upaya mendorong mendorong regulasi daerah tentang penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. ( FOTO : Gratianus Silas/Cepos)

JAYAPURA- Dalam rangka mendorong regulasi daerah tentang penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua, Anggota DPR Papua, John Gobai, melukukan hearing publik, melibatkan Komnas HAM Perwakilan Papua, akademisi, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), di Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua, Selasa (14/5.

“Pelanggaran HAM terjadi sejak 1961 hingga 2000, kemudian muncul Otonomi Khusus, dan diprediksi waktu itu akan terjadi lagi pelanggaran HAM, sehingga kewajiban moral saya untuk bisa memberikan kontribusi dalam bentuk Perda dalam penyelesaian HAM di Papua,” terang John Gobai kepada wartawan, Selasa (14/5)kemarin.

Selain itu, Papua dinilai belum memiliki payung hukum yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu dengan banyaknya pelanggaran HAM di Papua,dan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus telah diakomodirnya bab soal HAM, sehingga regulasi ini dapat menjadi pedoman di Papua dalam penyelesaian pelanggaran HAM.

Baca Juga :  DJPb Salurkan Anggaran Papua Sehat  Rp 232 M

“Dengan asas lex specialis derogates lex generalis, yakni aturan hukum khusus mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum, sehingga saya mendorong regulasi ini agar ada pedoman bagi kita di Papua terkait penyelesaian pelanggaran HAM,” tambahnya.

Gobai telah menyelesaikan draf yang Ia susun terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM di Papua. Inilah yang menjadi bahan pembahasan dalam hearing publik, di mana terdapat pula banyak masukkan yang diterimanya. Dalam waktu dekat, ketika dilakukannya rapat Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bappemperda) DPR Papua, Gobai akan melaporkan draf tersebut terhadap pimpinan dewan agar dimasukkan dalam Prolekda 2019.

“Saya harapkan pimpinan dewan, Bappemperda, dan anggota DPR Papua lainnya dapat mendukung draf ini di sisa masa jabatan. Saya percaya DPR Papua pasti beri dukungan,” terangnya.

Sementara itu, Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey, mengaku bahwa dalam upaya pemajuan dan penegakkan HAM membutuhkan payung hukum turunan dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan kemudian aturan pelaksanaan dari Pasal 45 Undang-Undang Otsus dalam konteks Papua.

Baca Juga :  LBH Papua Mengkadvokasi Belasan Ribu Honorer

“Oleh sebab itu, inisiatif yang didorong Anggota DPR Papua, John Gobay, untuk menyusun draft menyusunan peraturan daerah dalam mendorong regulasi daerah tentang penyelesaian pelanggaran HAM di Papua sangat diapresiasi Komnas HAM Perwakilan Papua,” sambung Frits Ramandey.

Ramandey menyebutkan pula bahwa per 10 Desember 2016, Gubernur Papua, Lukas Enembe, di depan para korban pelanggaran HAM, menjanjikan untuk memberikan bantuan sosial. Makanya, Gubernur Enembe membutuhkan payung hukum yang mana diintruksikannya Biro Hukum untuk menyusun Peraturan Gubernur agar para korban bisa diberikan bantuan sosial.

“Tujuannya ini tidak bermaksud untuk menggugurkan kasus pelanggaran HAM yang ditangani Komnas HAM. Sebaliknya, secara historis, Gubernur menyadari perjuangan Otsus, di mana isu pertama yang menjadi perhatian ialah isu HAM. Oleh sebab itu, penyelesaian HAM dalam konteks Otsus, pemerintah wajib memberikan perhatian,” pungkasnya. (gr/gin)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya