Saturday, April 20, 2024
26.7 C
Jayapura

Polri Paling Banyak Dilaporkan Atas Dugaan Pelanggaran Kewenangan

JAYAPURA – Dalam beberapa tahun terakhir, Polri merupakan institusi yang paling banyak dilaporkan atas dugaan pelanggaran kewenangan. Sebagian besar pengaduan yang ditujukan kepada Polri bersumber dari proses hukum yang tidak prosedural.

Dir Resnarkoba Polda Papua Kombes Pol. Alfian Tanjung mengatakan, Tindak kekerasan (Coercive) dalam proses penyidikan serta lambatnya penanganan laporan dan pengaduan masyarakat sebenarnya hal ini tidak mengherankan, dengan segala tugas dan kewenangan yang dimiliki Polri wajar saja jika Polri selalu dituding sebagai pelaku pelanggar kewenangan.

“Kurangnya pemahaman personel Polri terhadap prinsip penggunaan kekuatan kepolisian terutama dalam tindakan represif serta pengawasan dan penindakan internal yang tidak tegas menjadi peyebabnya,” tegas Kombes Pol Alfian dalam acara Rakernis F.T Reskrimsus Polda Papua tahun 2021 dalam rangka meningkatkan kompetensi dan kinerja Penyidik Reskrimsus yang prediktif, reponsibilitas, transparansi, berkeadilan guna mewujudkan kepercayaan masyarakat di Aula Rastra Samara Polda Papua, Kamis (9/12).

Baca Juga :  Salat Idul Adha Akan Dilaksanakan di 110 Titik

Lanjutnya, banyaknya informasi yang bersifat anonymous membuat penyebaran hoax dan hate speech pada media online begitu cepat tersebar, hoax merupakan efek samping dari era keterbukaan yang memiliki peluang untuk menciptakan perpecahan dan permusuhan. Karena dapat membuat masyarakat bingung akan sebuah kebenaran informasi.

Kombes Alfian mangajak anggota Polri  untuk bersama-sama dalam menerapkan konsep pemolisian berorientasi permasalahan (Problem Oriented Policing) yang olen herman goldstein (1990) disebut dengan istilah “tailor-made” atau disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani.

“Dengan implementasi POP, maka polisi dapat meningkatkan efektifitas kegiatan yang dilakukan untuk menanggulangi akar permasalahan dengan didukung keahlian dan kreatifitas untuk mempelajari permasalahan didalam masyarakat, serta menemukan solusi inovatifnya. Polisi harus bisa melibatkan pemangku kepentingan untuk mengakomodir kepentigan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani,” tuturnya.

Baca Juga :  Deklarasi Wamena Sebagai Kota DANI

Dalam melakukan pola POP, ia berharap para penyidik dan penyidik pembantu untuk dapat menerapkan metode sara yaitu Scanningadentifikasi masalah analisis permasalahan, langkah intervensi dan evaluasi. (fia/wen)

JAYAPURA – Dalam beberapa tahun terakhir, Polri merupakan institusi yang paling banyak dilaporkan atas dugaan pelanggaran kewenangan. Sebagian besar pengaduan yang ditujukan kepada Polri bersumber dari proses hukum yang tidak prosedural.

Dir Resnarkoba Polda Papua Kombes Pol. Alfian Tanjung mengatakan, Tindak kekerasan (Coercive) dalam proses penyidikan serta lambatnya penanganan laporan dan pengaduan masyarakat sebenarnya hal ini tidak mengherankan, dengan segala tugas dan kewenangan yang dimiliki Polri wajar saja jika Polri selalu dituding sebagai pelaku pelanggar kewenangan.

“Kurangnya pemahaman personel Polri terhadap prinsip penggunaan kekuatan kepolisian terutama dalam tindakan represif serta pengawasan dan penindakan internal yang tidak tegas menjadi peyebabnya,” tegas Kombes Pol Alfian dalam acara Rakernis F.T Reskrimsus Polda Papua tahun 2021 dalam rangka meningkatkan kompetensi dan kinerja Penyidik Reskrimsus yang prediktif, reponsibilitas, transparansi, berkeadilan guna mewujudkan kepercayaan masyarakat di Aula Rastra Samara Polda Papua, Kamis (9/12).

Baca Juga :  Batas Wilayah Kota dan Pemkab Jayapura Tidak Jelas

Lanjutnya, banyaknya informasi yang bersifat anonymous membuat penyebaran hoax dan hate speech pada media online begitu cepat tersebar, hoax merupakan efek samping dari era keterbukaan yang memiliki peluang untuk menciptakan perpecahan dan permusuhan. Karena dapat membuat masyarakat bingung akan sebuah kebenaran informasi.

Kombes Alfian mangajak anggota Polri  untuk bersama-sama dalam menerapkan konsep pemolisian berorientasi permasalahan (Problem Oriented Policing) yang olen herman goldstein (1990) disebut dengan istilah “tailor-made” atau disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani.

“Dengan implementasi POP, maka polisi dapat meningkatkan efektifitas kegiatan yang dilakukan untuk menanggulangi akar permasalahan dengan didukung keahlian dan kreatifitas untuk mempelajari permasalahan didalam masyarakat, serta menemukan solusi inovatifnya. Polisi harus bisa melibatkan pemangku kepentingan untuk mengakomodir kepentigan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani,” tuturnya.

Baca Juga :  Deklarasi Wamena Sebagai Kota DANI

Dalam melakukan pola POP, ia berharap para penyidik dan penyidik pembantu untuk dapat menerapkan metode sara yaitu Scanningadentifikasi masalah analisis permasalahan, langkah intervensi dan evaluasi. (fia/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya