Saturday, December 6, 2025
26 C
Jayapura

Harus Ada Intervensi Untuk HIV/AIDS

JAYAPURA – Kasus penyebaran Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immuno Deficienci Syndrome (HIV/AIDS) di dua provinsi di Tanah Papua, kini masuk dalam kondisi darurat. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua merilis, jumlah kasus HIV/AIDS telah mencapai 23.500. Dari total jumlah yang ada kasus (Orang Dengan HIV-AIDS ODHA) yang terpapar adalah usia produktif 19-25 tahun sampai usia 49 tahun.

Kondisi ini terjadi tidak terlepas dari tangung jawab pemerintah daerah dalam menegakan aturan demi menyelamatkan generasi Papua dimasa yang akan datang dari pengaruh virus mematikan itu. Menyikapi terkait dengan itu, Pengamat Kebijakan Publik Papua, Dr. Methodius Kossay, SH., M.Hum., menilai, penanganan HIV/AIDS di Papua sanggat membutuhkan pendekatan yang jauh lebih serius, terukur, dan berbasis budaya.

Baca Juga :  Kini Paham Kapan Harus Keras, Kapan Harus Gunakan Hati

Hal ini ia disampaikan merespons terkait dengan masih tingginya angka kasus HIV dan belum optimalnya intervensi pemerintah daerah dalam menekan menurutnya penderita kasus tersebut. Menurut Kossay, epidemi HIV di Papua tidak dapat dipandang sebagai persoalan kesehatan semata, tetapi telah menjadi masalah pembangunan manusia dan ketimpangan layanan publik.

“Papua menghadapi situasi epidemi yang unik. Akses geografis sulit, ketersediaan tenaga kesehatan terbatas, dan minimnya edukasi berbasis budaya membuat penanganan HIV di Papua tidak bisa disamakan dengan provinsi lain,” kata Kossay kepada Cenderawasih Pos via telepon, Rabu (3/12).

Pengamat kebijakan publik itu menyoroti bahwa banyak program penanggulangan HIV bergantung hanya pada Lembaga Survei Masyarakat (LSM) atau bantuan donor, sementara komitmen Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) masih belum konsisten.

Baca Juga :  Normalisasi Sungai Sudah Capai 90 Persen

Dengan tegas Kossay mengatakan, negara tidak boleh menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab ini kepada lembaga non-pemerintah. Pemerintah daerah harus menempatkan HIV sebagai isu prioritas, bukan program tambahan.

JAYAPURA – Kasus penyebaran Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immuno Deficienci Syndrome (HIV/AIDS) di dua provinsi di Tanah Papua, kini masuk dalam kondisi darurat. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua merilis, jumlah kasus HIV/AIDS telah mencapai 23.500. Dari total jumlah yang ada kasus (Orang Dengan HIV-AIDS ODHA) yang terpapar adalah usia produktif 19-25 tahun sampai usia 49 tahun.

Kondisi ini terjadi tidak terlepas dari tangung jawab pemerintah daerah dalam menegakan aturan demi menyelamatkan generasi Papua dimasa yang akan datang dari pengaruh virus mematikan itu. Menyikapi terkait dengan itu, Pengamat Kebijakan Publik Papua, Dr. Methodius Kossay, SH., M.Hum., menilai, penanganan HIV/AIDS di Papua sanggat membutuhkan pendekatan yang jauh lebih serius, terukur, dan berbasis budaya.

Baca Juga :  Pemprov Papua dan PNG Siap Bahas Berbagai Isu Perbatasan

Hal ini ia disampaikan merespons terkait dengan masih tingginya angka kasus HIV dan belum optimalnya intervensi pemerintah daerah dalam menekan menurutnya penderita kasus tersebut. Menurut Kossay, epidemi HIV di Papua tidak dapat dipandang sebagai persoalan kesehatan semata, tetapi telah menjadi masalah pembangunan manusia dan ketimpangan layanan publik.

“Papua menghadapi situasi epidemi yang unik. Akses geografis sulit, ketersediaan tenaga kesehatan terbatas, dan minimnya edukasi berbasis budaya membuat penanganan HIV di Papua tidak bisa disamakan dengan provinsi lain,” kata Kossay kepada Cenderawasih Pos via telepon, Rabu (3/12).

Pengamat kebijakan publik itu menyoroti bahwa banyak program penanggulangan HIV bergantung hanya pada Lembaga Survei Masyarakat (LSM) atau bantuan donor, sementara komitmen Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) masih belum konsisten.

Baca Juga :  Kini Paham Kapan Harus Keras, Kapan Harus Gunakan Hati

Dengan tegas Kossay mengatakan, negara tidak boleh menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab ini kepada lembaga non-pemerintah. Pemerintah daerah harus menempatkan HIV sebagai isu prioritas, bukan program tambahan.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya