Sunday, February 2, 2025
25.7 C
Jayapura

BPJS: Bukan Hanya di Papua, Tapi di Seluruh Indonesia!

Alberth Merauje (Karel/Cepos)

  Sementara itu,  anggota DPR Papua, Alberth Meraudje berpendapat kebijakan pasien kecelakaan akibat miras  tidak ditanggung BPJS saat berobat di RSUD Jayapura ini dinilai  bertentangan dengan Pasal 28H dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, serta Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

  Menurutnya, prinsip dasar dari BPJS adalah memberikan akses kesehatan bagi semua peserta yang telah membayar iuran, tanpa melihat latar belakang atau penyebab penyakitnya. Jika pasien yang terkena dampak miras dikecualikan, ini bisa menjadi preseden buruk dalam pelayanan kesehatan publik.

  Jika tujuan kebijakan ini adalah untuk mengurangi konsumsi miras, maka langkah yang lebih efektif adalah memperketat regulasi dan pengawasan terhadap distribusi serta peredaran miras, bukan dengan menolak pelayanan kesehatan bagi korban miras.

Baca Juga :  Proses Sidang Harus Cepat, Siapkan Tiga Hakim Untuk Sidang Sampai Malam   

  “Jika pemerintah serius ingin mengurangi dampak miras, maka seharusnya izin edar miras di Papua juga diperketat atau bahkan dicabut,” tegas Alberth, Kamis (30/1).

  Kebijakan ini juga berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan nasional. Jika pasien merasa ada diskriminasi dalam pelayanan BPJS, mereka bisa kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan sistem jaminan sosial yang seharusnya melindungi mereka.

  “Selain itu, kebijakan seperti ini bisa menciptakan ketidakadilan dalam sistem kesehatan, karena pada dasarnya setiap penyakit memiliki faktor risiko yang berbeda-beda, termasuk yang disebabkan oleh gaya hidup,” tuturnya.

  Sebagai kebijakan, langkah ini memang menimbulkan pro dan kontra. Namun, jika dilihat dari perspektif hukum, hak asasi manusia, dan keadilan sosial, kebijakan ini tampaknya kurang tepat.

Baca Juga :  Sekolah Anak Hebat Papua Pamerkan Hasil Kreatifitas Karyanya

  Alih-alih menolak pembiayaan BPJS bagi pasien yang sakit karena miras, pemerintah dan rumah sakit seharusnya fokus pada edukasi, pencegahan, serta penegakan regulasi terhadap peredaran miras. Jika tidak, kebijakan ini hanya akan menjadi bentuk penghukuman bagi individu tanpa menyelesaikan akar masalahnya.

   “Kebijakan ini sebaiknya dikaji ulang agar tidak melanggar hak-hak dasar warga negara dan tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan dalam pelayanan kesehatan,” pungkasnya. (kar/rel/tri)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Alberth Merauje (Karel/Cepos)

  Sementara itu,  anggota DPR Papua, Alberth Meraudje berpendapat kebijakan pasien kecelakaan akibat miras  tidak ditanggung BPJS saat berobat di RSUD Jayapura ini dinilai  bertentangan dengan Pasal 28H dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, serta Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

  Menurutnya, prinsip dasar dari BPJS adalah memberikan akses kesehatan bagi semua peserta yang telah membayar iuran, tanpa melihat latar belakang atau penyebab penyakitnya. Jika pasien yang terkena dampak miras dikecualikan, ini bisa menjadi preseden buruk dalam pelayanan kesehatan publik.

  Jika tujuan kebijakan ini adalah untuk mengurangi konsumsi miras, maka langkah yang lebih efektif adalah memperketat regulasi dan pengawasan terhadap distribusi serta peredaran miras, bukan dengan menolak pelayanan kesehatan bagi korban miras.

Baca Juga :  Sekolah Anak Hebat Papua Pamerkan Hasil Kreatifitas Karyanya

  “Jika pemerintah serius ingin mengurangi dampak miras, maka seharusnya izin edar miras di Papua juga diperketat atau bahkan dicabut,” tegas Alberth, Kamis (30/1).

  Kebijakan ini juga berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan nasional. Jika pasien merasa ada diskriminasi dalam pelayanan BPJS, mereka bisa kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan sistem jaminan sosial yang seharusnya melindungi mereka.

  “Selain itu, kebijakan seperti ini bisa menciptakan ketidakadilan dalam sistem kesehatan, karena pada dasarnya setiap penyakit memiliki faktor risiko yang berbeda-beda, termasuk yang disebabkan oleh gaya hidup,” tuturnya.

  Sebagai kebijakan, langkah ini memang menimbulkan pro dan kontra. Namun, jika dilihat dari perspektif hukum, hak asasi manusia, dan keadilan sosial, kebijakan ini tampaknya kurang tepat.

Baca Juga :  Komnas HAM Tetap Pantau Jalannya Sidang Kasus Paniai 2014

  Alih-alih menolak pembiayaan BPJS bagi pasien yang sakit karena miras, pemerintah dan rumah sakit seharusnya fokus pada edukasi, pencegahan, serta penegakan regulasi terhadap peredaran miras. Jika tidak, kebijakan ini hanya akan menjadi bentuk penghukuman bagi individu tanpa menyelesaikan akar masalahnya.

   “Kebijakan ini sebaiknya dikaji ulang agar tidak melanggar hak-hak dasar warga negara dan tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan dalam pelayanan kesehatan,” pungkasnya. (kar/rel/tri)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Berita Terbaru

Artikel Lainnya