Friday, November 28, 2025
30.3 C
Jayapura

Panggilan Hati Namun Kerap Terjadi Ancaman Untuk Mati

Bahkan guru-guru yang telah lama mengabdi pun mulai mengundurkan diri atau meminta dipindahkan. Di banyak distrik, sekolah kekurangan guru karena, berbagai alasan diantaranga ancaman keamanan, risiko kekerasan dari kelompok bersenjata, dan kses geografis yang sangat sulit.

“Jika situasi ini terus berlanjut, pendidikan di pedalaman Papua akan semakin tertinggal,” tandasnya.

Hal lain yang disoroti Tiurlina adalah pola penerimaan tenaga guru. Menurutnya, pemerintah daerah kini lebih banyak merekrut guru dari luar Papua ketimbang memprioritaskan alumni FKIP Universitas Cenderawasih, yang selama bertahun-tahun dibentuk untuk memahami konteks sosial budaya Papua.

“Lulusan dari luar Papua belum tentu tahu medan, tradisi, dan dinamika sosial di pedalaman. Sementara alumni Uncen justru dipinggirkan. Ini sangat mengecewakan,” ujarnya.

Baca Juga :  Wadah Untuk Tampilkan Karya Kreatifitas dan Dorong Peningkatan Ekonomi Lokal

Ia menegaskan bahwa prioritas seharusnya diberikan kepada putra-putri Papua terlebih dahulu, baru kemudian mengisi kekurangan dengan guru dari luar. Peringatan Hari Guru Nasional ke-80 seharusnya menjadi momentum untuk refleksi mendalam, khususnya di Papua. Prof. Tiurlina memberikan pesan agar kedepannya nasib kesejahteraan guru lebih diperhatikan.

“Pemerintah dan masyarakat harus melindungi mereka. Tanpa perlindungan, tanpa keamanan, tidak akan ada guru yang mau ke pedalaman. Karena Guru adalah pilar masa depan. Ketika pilar itu retak, maka generasi yang ditopangnya ikut rapuh,” tegas Prof. Tiurlina Ia pun menurutkan bahwa usia 80 tahun Hari Guru Nasional adalah usia matang namun bagi para guru di Papua, kematangan itu belum terasa.

Baca Juga :  Berawal dari Pemeriksaan Kendaraan, Satu Anggota OPM di Intan Jaya Ditangkap

Mereka masih hidup dalam bayang-bayang ancaman, bekerja dengan rasa takut, dan sering kali tak mendapatkan penghormatan ataupun perlindungan yang seharusnya mereka terima.

Sementara negara merayakan Hari Guru dengan pidato dan seremoni. Para guru di pedalaman Papua merayakannya dalam diam di tengah trauma yang belum pulih, dan ketidakpastian yang terus mengintai. “Hari Guru ke-80 menjadi pengingat pahit bahwa perjuangan guru Papua belum sejahtera, belum aman, dan belum merdeka,” pungkas Prof. Tiurlina.

Bahkan guru-guru yang telah lama mengabdi pun mulai mengundurkan diri atau meminta dipindahkan. Di banyak distrik, sekolah kekurangan guru karena, berbagai alasan diantaranga ancaman keamanan, risiko kekerasan dari kelompok bersenjata, dan kses geografis yang sangat sulit.

“Jika situasi ini terus berlanjut, pendidikan di pedalaman Papua akan semakin tertinggal,” tandasnya.

Hal lain yang disoroti Tiurlina adalah pola penerimaan tenaga guru. Menurutnya, pemerintah daerah kini lebih banyak merekrut guru dari luar Papua ketimbang memprioritaskan alumni FKIP Universitas Cenderawasih, yang selama bertahun-tahun dibentuk untuk memahami konteks sosial budaya Papua.

“Lulusan dari luar Papua belum tentu tahu medan, tradisi, dan dinamika sosial di pedalaman. Sementara alumni Uncen justru dipinggirkan. Ini sangat mengecewakan,” ujarnya.

Baca Juga :  Pangkas Anggaran Rp 14,3 Triliun, KIP Kuliah hingga Beasiswa Dosen Terdampak

Ia menegaskan bahwa prioritas seharusnya diberikan kepada putra-putri Papua terlebih dahulu, baru kemudian mengisi kekurangan dengan guru dari luar. Peringatan Hari Guru Nasional ke-80 seharusnya menjadi momentum untuk refleksi mendalam, khususnya di Papua. Prof. Tiurlina memberikan pesan agar kedepannya nasib kesejahteraan guru lebih diperhatikan.

“Pemerintah dan masyarakat harus melindungi mereka. Tanpa perlindungan, tanpa keamanan, tidak akan ada guru yang mau ke pedalaman. Karena Guru adalah pilar masa depan. Ketika pilar itu retak, maka generasi yang ditopangnya ikut rapuh,” tegas Prof. Tiurlina Ia pun menurutkan bahwa usia 80 tahun Hari Guru Nasional adalah usia matang namun bagi para guru di Papua, kematangan itu belum terasa.

Baca Juga :  Menembus Hutan Belantara, Untuk Kembalikan Masyarakat Adat ke Tanah Leluhur

Mereka masih hidup dalam bayang-bayang ancaman, bekerja dengan rasa takut, dan sering kali tak mendapatkan penghormatan ataupun perlindungan yang seharusnya mereka terima.

Sementara negara merayakan Hari Guru dengan pidato dan seremoni. Para guru di pedalaman Papua merayakannya dalam diam di tengah trauma yang belum pulih, dan ketidakpastian yang terus mengintai. “Hari Guru ke-80 menjadi pengingat pahit bahwa perjuangan guru Papua belum sejahtera, belum aman, dan belum merdeka,” pungkas Prof. Tiurlina.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya