Catatan 80 Tahun Hari Guru Antara Realita dan Kondisi Ril Oleh Mereka di Pedalaman Papua
Selasa, 25 November 2025, bangsa ini kembali memperingati Hari Guru Nasional yang ke-80. Jika usia ini disandingkan dengan perjalanan hidup manusia, delapan dekade adalah fase kehidupan yang matang. Di fase ini seseorang bisa memanen jerih payah jelang masa tua. Namun bagaimana gambaran kesejahteraan bagi mereka yang mengabdi di pedalaman di Papua?
Laporan: Karolus Daot_Jayapura
Delapan puluh tahun usia Hari Guru ternyata belum cukup untuk memastikan para pendidik di tanah ini hidup aman, dihormati, dan sejahtera. Terutama mereka yang mengabdi di pedalaman di tempat yang sering kali berhadapan dengan keterisolasian, keterbatasan fasilitas, dan ancaman keamanan yang nyata.
Sepanjang 2025, tercatat dua pendidik di Papua gugur setelah diserang kelompok kriminal bersenjata (KKB). Yang pertama adalah almarhumah Rosalia Rerek, guru di Distrik Angguruk, Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan. Pada 22 Maret 2025, Rosalia tewas diserang secara brutal di tempat ia mengabdi.
Peristiwa itu bukan hanya merenggut nyawanya, tetapi juga menyisakan trauma dalam di benak para tenaga pendidik dan medis yang bekerja bersama almarhumah. Kosmas Paga, rekan Rosalia, adalah salah satu saksi hidup yang paling merasakan peristiwa tersebut. Saat ditemui Cenderawasih Pos pada 17 Juni 2025 lalu, ia mengaku bahwa luka fisiknya memang sudah mengering, namun batin mereka “masih terus berdarah.” Ketakutan masih membayangi, dan rasa kehilangan sulit hilang.
“Di Papua kami masih ingin mengajar. Tapi tidak di Yahukimo. Cukup sampai di situ. Biarlah itu jadi awal dan akhir dari semua penderitaan,” kata Kosmas. Belum sempat luka itu tertutup, kabar duka kembali datang. Pada 10 Oktober 2025, guru bernama Melani Wamea (31) tewas setelah diserang orang tak dikenal (OTK) di Yahukimo.