Sunday, April 28, 2024
24.7 C
Jayapura

Jangan Fobia Untuk Buka Dialog, Pihak Berkonflik Harus Jaga Hak Warga Sipil

Direktur Eksekutif POHR Thomas Ch. Syufi Terkait Konflik di Papua

Hingga kini konflik antara kelompok separatis bersenjata dengan aparat keamanan masih terus berlanjut. Dampaknya, sejumlah masyarakat sipil terus menjadi korban. Lantas seperti apa pandangan dari Direktur Eksekutif  Papuan Observatory for Human Rights (POHR) Thomas Ch. Syufi?

Laporan: Karolus Daot-Jayapura

Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR), Thomas Ch. Syufi, menyampaikan salah satu langkah untuk menyelesaikan Konflik senjata di Papua, negara Indonesia harus hadirkan pihak Internasional untuk membangun ruang dialog dengan Tentara Nasional Papua Barat (TNPB)

  Pasalnya akibat perbedaan Idiologi ini, masyarakat sipil justru jadi korban. Seperti baru-baru ini 7 pekerja tambang di Kabupaten Yahukimo dibantai oleh Kelompok Sparatis Bersenjata di bawah pimpinan Egianus Kogoya. Bahkan masih banyak lagi warga sipil yang menjadi Korban atas konflik senjata di Papua selama ini.

  Langkah inipun lanjutnya bukan pertama kali terjadi, tapi sudah pernah dilakukan dimana tahun 2005 silam, pemerintah Indonesia pernah menyelesaikan Konflik senjata dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

  Penyelesaian Konflik tersebut berkat kerjasama pemerintah dengan pihak internasional. Pihak GAM dengan pemerintah Indonesia melakukan perundingan di   Finlandia. Perundingan itupun, berhasil dilakukan dan pemerintah Indonesia mencapai kesepakatan dengan GAM. Yang kemudian semua senjata GAM diserahkan kepada AMM dan dengan resmi GAM dibubarkan.

Baca Juga :  Kejari Jayapura Eksekusi Delapan Terpidana Korupsi

  “Jadi Negara tidak boleh fobia dan alergi untuk buka dialog dengan rakyat Papua. Karena hanya lewat dialog terbuka dan jujur bisa menyelesaikan konflik ini,” kata Thomas Ch. Syufy, kepada Cendrawasih pos, Senin (23/10).

  Sebab hal utama yang dipikirkan dari Konflik ini, lanjutnya adalah perlindungan terhadap Penduduk Sipil. Karena perlindungan terhadap penduduk Sipil, dalam Situasi Perang telah diatur dalam Konvensi Jenewa 1949.

  Oleh sebab itu,  semua pihak yang terlibat dalam perang, baik TNI/Polri maupun TPNPB sebagai billigerent (Pemberontak) harus tunduk pada hukum humaniter dan norma internasional yang menjadi hak-hak warga sipil di wilayah konflik atau perang.

  “Bila negara tidak membuka ruang dialog, ini akan merugikan Indonesia sendiri. Karena akan ada banyak penduduk sipil yang menjadi korban,” tegasnya.

  Selain itu apabila negara tidak membuka ruang dialog, maka jangan heran jika banyak pihak yang membangun opini dan bisa dicurigai ada sesuatu kejahatan yang tengah disembunyikan, bahkan dituduh ada upaya holocaust atau slow genoside terhadap orang Papua.

  Sebab akibat ketidakjujuran itu, penduduk Sipil jadi korban. Padahal konflik di Papua terjadi karena akumulasi, dimana terjadi berpuluh-puluh tahun, tanpa adanya solusi.

Baca Juga :  Jadi Motivasi Bagi Dosen  Perempuan Lain Untuk Meraih Gelar Tertinggi   

  “Konflik di Papua ini terjadi karena perbedaan pandangan terkait histori Papua, jadi satu satunya langkah untuk menyelesaikannya harus membua ruang dialog, biar semuanya saling terbuka,” tandasnya.

  Apalagi, kata mantan Pengurus PMKRI St. Thomas Aquinas (2013-2015) itu, semua pihak telah menyerukan untuk membuka ruang dialog. Untuk itu pemerintah tidak perlu meragukan hal itu. Sebab tentu saja dengan langkah itu, maka akan menemukan titik terang atas persoalan yang terjadi di Papua.

  “Tidak perlu takut, karena kehadiran pihak internasional bukan bentu intervensi, tapi itu bentuk kerjasama untuk menyelesaikan konflik di Papua,” ujarnya.

  Namun terlepas belum adanya jawaban atas tuntutan berbagai pihak untuk membuka ruang dialog atas konflik Papua, pria kelahiran tahun 1989 itu, mengharapkan agar pihak yang berkonflik, harus saling menjaga keamanan penduduk sipil. Sebab keamanan pendudik sipil jelas diatur dalam undang undang.

  Terutama hukum internasional atau hukum humaniter, sangat jelas melarang adanya pembantaian warga sipil dalam membela ideologi.

  “Sekali lagi saya tegaskan semua pihak yang terlibat dalam perang, baik TNI/Polri maupun TPNPB sebagai billigerent (Pemberontak) harus tunduk pada hukum humaniter, norma internasional yang menjamin hak-hak warga sipil di wilayah konflik atau perang,” tegas Pria asal Kebar Manokwari tersebut. (*//tri)

Direktur Eksekutif POHR Thomas Ch. Syufi Terkait Konflik di Papua

Hingga kini konflik antara kelompok separatis bersenjata dengan aparat keamanan masih terus berlanjut. Dampaknya, sejumlah masyarakat sipil terus menjadi korban. Lantas seperti apa pandangan dari Direktur Eksekutif  Papuan Observatory for Human Rights (POHR) Thomas Ch. Syufi?

Laporan: Karolus Daot-Jayapura

Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR), Thomas Ch. Syufi, menyampaikan salah satu langkah untuk menyelesaikan Konflik senjata di Papua, negara Indonesia harus hadirkan pihak Internasional untuk membangun ruang dialog dengan Tentara Nasional Papua Barat (TNPB)

  Pasalnya akibat perbedaan Idiologi ini, masyarakat sipil justru jadi korban. Seperti baru-baru ini 7 pekerja tambang di Kabupaten Yahukimo dibantai oleh Kelompok Sparatis Bersenjata di bawah pimpinan Egianus Kogoya. Bahkan masih banyak lagi warga sipil yang menjadi Korban atas konflik senjata di Papua selama ini.

  Langkah inipun lanjutnya bukan pertama kali terjadi, tapi sudah pernah dilakukan dimana tahun 2005 silam, pemerintah Indonesia pernah menyelesaikan Konflik senjata dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

  Penyelesaian Konflik tersebut berkat kerjasama pemerintah dengan pihak internasional. Pihak GAM dengan pemerintah Indonesia melakukan perundingan di   Finlandia. Perundingan itupun, berhasil dilakukan dan pemerintah Indonesia mencapai kesepakatan dengan GAM. Yang kemudian semua senjata GAM diserahkan kepada AMM dan dengan resmi GAM dibubarkan.

Baca Juga :  Bertekad Setelah Bebas Akan Menjadi Pribadi yang Lebih Baik

  “Jadi Negara tidak boleh fobia dan alergi untuk buka dialog dengan rakyat Papua. Karena hanya lewat dialog terbuka dan jujur bisa menyelesaikan konflik ini,” kata Thomas Ch. Syufy, kepada Cendrawasih pos, Senin (23/10).

  Sebab hal utama yang dipikirkan dari Konflik ini, lanjutnya adalah perlindungan terhadap Penduduk Sipil. Karena perlindungan terhadap penduduk Sipil, dalam Situasi Perang telah diatur dalam Konvensi Jenewa 1949.

  Oleh sebab itu,  semua pihak yang terlibat dalam perang, baik TNI/Polri maupun TPNPB sebagai billigerent (Pemberontak) harus tunduk pada hukum humaniter dan norma internasional yang menjadi hak-hak warga sipil di wilayah konflik atau perang.

  “Bila negara tidak membuka ruang dialog, ini akan merugikan Indonesia sendiri. Karena akan ada banyak penduduk sipil yang menjadi korban,” tegasnya.

  Selain itu apabila negara tidak membuka ruang dialog, maka jangan heran jika banyak pihak yang membangun opini dan bisa dicurigai ada sesuatu kejahatan yang tengah disembunyikan, bahkan dituduh ada upaya holocaust atau slow genoside terhadap orang Papua.

  Sebab akibat ketidakjujuran itu, penduduk Sipil jadi korban. Padahal konflik di Papua terjadi karena akumulasi, dimana terjadi berpuluh-puluh tahun, tanpa adanya solusi.

Baca Juga :  Kurikulum dan Alat Bantu/Praktek Disesuaikan dengan Kebutuhan Peserta Didik

  “Konflik di Papua ini terjadi karena perbedaan pandangan terkait histori Papua, jadi satu satunya langkah untuk menyelesaikannya harus membua ruang dialog, biar semuanya saling terbuka,” tandasnya.

  Apalagi, kata mantan Pengurus PMKRI St. Thomas Aquinas (2013-2015) itu, semua pihak telah menyerukan untuk membuka ruang dialog. Untuk itu pemerintah tidak perlu meragukan hal itu. Sebab tentu saja dengan langkah itu, maka akan menemukan titik terang atas persoalan yang terjadi di Papua.

  “Tidak perlu takut, karena kehadiran pihak internasional bukan bentu intervensi, tapi itu bentuk kerjasama untuk menyelesaikan konflik di Papua,” ujarnya.

  Namun terlepas belum adanya jawaban atas tuntutan berbagai pihak untuk membuka ruang dialog atas konflik Papua, pria kelahiran tahun 1989 itu, mengharapkan agar pihak yang berkonflik, harus saling menjaga keamanan penduduk sipil. Sebab keamanan pendudik sipil jelas diatur dalam undang undang.

  Terutama hukum internasional atau hukum humaniter, sangat jelas melarang adanya pembantaian warga sipil dalam membela ideologi.

  “Sekali lagi saya tegaskan semua pihak yang terlibat dalam perang, baik TNI/Polri maupun TPNPB sebagai billigerent (Pemberontak) harus tunduk pada hukum humaniter, norma internasional yang menjamin hak-hak warga sipil di wilayah konflik atau perang,” tegas Pria asal Kebar Manokwari tersebut. (*//tri)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya