“Papua itu indah. Saat pertama kali datang, saya terkesima dengan alamnya yang hijau dan udara yang sejuk. Tapi di balik keindahan itu, saya tahu ada tantangan besar yang harus dihadapi,” kenang Ita kepada Cenderawasih Pos. Selama tiga bulan pertama bertugas, Ita mulai menyadari bahwa Papua bukan hanya tentang keindahan alamnya.
Ada banyak hal yang selama ini tidak terlihat di layar televisi. Perbedaan budaya, kehidupan masyarakat, dan tantangan sehari-hari menjadi pelajaran baru baginya. Ia mengaku harus beradaptasi dengan kehidupan yang jauh berbeda dari kampung halamannya di Balikpapan.
“Disini, saya belajar banyak tentang kehidupan masyarakat Papua. Mereka hidup sederhana, tapi punya semangat yang luar biasa. Namun, ada juga tantangan seperti akses yang terbatas, infrastruktur yang belum memadai, dan dampak konflik yang masih terasa,” ujarnya.
Meski awalnya merasa cemas, alumni SMA Nurul Falah Pekanbaru, Riau itu perlahan mulai merasa nyaman dengan kehidupan di Papua. Ia belajar untuk memahami budaya dan kebiasaan masyarakat setempat. Kehangatan dan keramahan orang Papua, terutama yang tinggal di pedalaman, membuatnya merasa diterima dengan baik.
“Saya duduk bersama mereka di honai, makan pinang, dan bercengkerama. Meski saya berbeda, mereka tidak pernah membuat saya merasa terasing. Justru, saya merasa seperti bagian dari keluarga mereka,” ceritanya.
Tugas pertama Ita sebagai agen trauma healing adalah di Kiwirok, pada bulan maret 2024, sebuah daerah yang terdampak konflik antara Kelompok Kekerasan Bersenjata (KKB) dan aparat keamanan pada tahun 2022.
Bersama tim Satgas ODC, ia medan yang penuh tantangan untuk mencapai Kiwirok. Namun, semua itu tak menyurutkan semangatnya. Di Kiwirok, Ita bertemu dengan anak-anak dan masyarakat yang hidup dalam ketakutan akibat konflik. Dengan penuh kasih sayang, ia memberikan motivasi dan semangat kepada mereka.
Meski bukan berlatar belakang pendidik, namun Ita memiliki kemampuan alami untuk merangkul anak-anak, seolah ia adalah seorang mama bagi mereka.
“Disana, saya mengajarkan bahwa meskipun kita hidup di pedalaman, kita punya semangat yang sama seperti anak-anak lain di Indonesia,” tuturnya.