Wednesday, April 24, 2024
32.7 C
Jayapura

Pertahankan Alat Masak Tradisional demi Cita Rasa Asli

Coto Ranggong, Makassar, Kuliner Khas yang Jadi Langganan SBY (28)

Konsep open kitchen yang diterapkan Pieter Tanzil pada kedainya menjadi godaan tersendiri bagi mereka yang melintasi Jalan Ranggong, Makassar. Aroma coto menggelitik hidung. Otomatis, otak mencetak visual semangkuk potongan daging gurih dalam kuah nan lezat. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun tak kuasa mengelak.

GALIH ADI PRASETYO, Makassar

ISIANNYA sama saja dengan coto Makassar yang lain. Daging, otak, lidah, limpa, paru, dan hati. Bisa pilih salah satu atau dicampur. Namun, soal kuah, bisa dibilang Coto Ranggong unggul. Itulah yang membuat para pelancong penasaran. Begitu menginjakkan kaki di Tanah Anging Mamiri, kuliner yang kali pertama dicari adalah coto. Dan Coto Ranggong memuncaki daftar coto-coto terlezat di Makassar.

Kedai yang dibangun Pieter itu sederhana saja. Dapurnya ada di luar. Karena itulah, angin bisa dengan leluasa membawa asap coto dari dalam korong butta atau uring butta ke segala arah. Aromanya kemudian akan menuntun orang-orang ke Coto Ranggong yang kini dikelola Antonius, cucu Pieter. ”Usaha ini dimulai kakek saya waktu masih muda, saat usianya sekira 35 tahun,” kata lelaki muda yang biasa disapa Anton itu ketika dijumpai Jawa Pos pada 26 Desember 2021 lalu.

Sambil bercerita, Anton tidak beranjak dari depan tungku yang memanaskan korong butta atau uring butta, istilah setempat untuk menyebut kuali. Tinggi alat masak tradisional yang terbuat dari tanah liat itu hampir sepinggang Anton. Di dalam kuah yang menggelegak itu, terdapat isian coto Makassar dalam ukuran utuh. Alias belum dipotong-potong.

Anton mengaduk dua kuali di depannya dengan sendok sayur bertangkai panjang. Sesekali dia mengecek isian di dalamnya. Ada daging sapi dan berbagai jeroan. Ketika bahan-bahan yang direbus dalam kuah berbumbu rempah itu matang, Anton segera mengangkatnya. Semua ditiriskan, namun proses memanasi kuah terus berlanjut.

Tungku dengan bahan bakar kayu itu menghasilkan panas yang stabil. Maka, setelah semua isian coto tuntas direbus, Anton membiarkan kuali tetap bertengger di atas tungku. Asap meliuk-liuk di atas kuali berisi kuah. Aroma coto Makassar memanggil-manggil siapa pun yang lewat di Jalan Ranggong Nomor 13 untuk singgah. Pada jam makan siang, berbondong-bondonglah pelanggan menghampiri kedai tersebut.

Anton mengatakan bahwa rumah makan dengan ubin merah bermotif kembang itu mulai buka pada jam sarapan. Setiap hari masakan ludes sebelum pukul 4 sore waktu setempat. Seringnya, kata Anton, malah sudah habis pada pukul 2, seusai jam makan siang. Karena itu, dia menyarankan kepada mereka yang datang ke Coto Ranggong di atas jam makan siang untuk menelepon lebih dulu. Memastikan apakah masih ada coto yang tersisa.

Baca Juga :  Melihat Air Masuk, Nakhoda Langsung Teriak Mama...Mamaaa

Seistimewa apakah Coto Ranggong sampai-sampai ludes sebelum hari berganti gelap? ”Resepnya dari kakek saya sendiri karena memang ini dulunya menjadi santapan keluarga,” kata Anton ketika ditanya rahasia di balik larisnya coto di rumah makannya. Dia yakin resep dari sang kakeklah yang menjadikan Coto Ranggong spesial. Sejak resep itu diciptakan sampai hari ini, racikan bumbu dan cara memasak tidak pernah berubah. Dan pelanggan terus berdatangan. Bahkan, jumlahnya terus bertambah.

Bumbu coto adalah perpaduan berbagai rempah. Ada ketumbar, jintan, pala, cengkih, kapulaga, serai, kayu manis, dan rempah-rempah lainnya dalam sekuali coto. Orang Makassar menyebut bumbu rempah komplet itu sebagai rampah patang pulo. Konon, total ada 40 jenis rempah dan bumbu yang digunakan untuk memasak coto.

Selain resep andalan keluarga, Pieter juga mengajari anak-cucunya untuk benar-benar memperhatikan proses memasak dan alat masak yang digunakan. Anton meminimalkan pemakaian alat-alat berteknologi tinggi. Dia memilih alat-alat tradisional. ”Bumbu benar-benar kami cincang sampai halus. Bukan dengan blender. Kalau pakai alat penghalus, rasa yang keluar tidak maksimal,” katanya.

Anton menambahkan bahwa pemakaian alat penghalus tradisional membantu aroma asli keluar dengan sendirinya. Bumbunya pun menjadi lebih tahan lama. Sebab, proses menghaluskan bumbu dengan blender biasanya melibatkan air. Tujuannya, proses penghalusan berjalan lebih cepat. Namun, sebenarnya penambahan air bisa merusak rasa asli rempah. Lagi pula, mesin akan membuat suhu bumbu yang digiling langsung naik.

Detail kecil seperti itu, menurut Anton, sering luput dari perhatian. Padahal, itu pun memengaruhi rasa. Dengan proses alami, racikan bahan diharapkan mengeluarkan zat-zat yang menambah sedap bumbu. Nah, dengan proses modern yang melibatkan mesin, alih-alih bertambah sedap, bumbunya malah mengalami perubahan rasa. ”Kami tidak mau seperti itu. Karena itulah, cara tradisional masih kami pakai,” tegasnya.

Urusan memasak pun demikian. Anton tidak menggunakan panci untuk coto. Dia hanya menggunakan korong butta atau uring butta untuk mematangkan kuah dan isian coto. ”Rasanya lebih enak dan sedap. Tungkunya juga masih pakai kayu bakar. Dari zaman kakek saya seperti itu,” lanjut Anton. Kuali-kuali tersebut dipesan dari perajin khusus. Sebab, kuali seperti itu tidak dijual di pasar.

Baca Juga :  Capai 7.614 Kasus, Jangan Ada Lagi Diskriminasi Penderita HIV-AIDS

Dari kuali, isian coto dibawa ke sudut lain dapur Coto Ranggong. Di sana daging dan berbagai jeroan yang sudah sedap itu dipotong-potong. Khusus daging, potongannya kotak kecil seperti dadu. Jika ada yang memesan, isian coto yang sudah dipotong itu dimasukkan ke dalam mangkuk. Selanjutnya, kuah cokelat gelap dari kuali diguyurkan ke atasnya. Sebagai pemanis, bawang goreng ditaburkan di atas coto siap santap itu.

Rumah makan yang sudah eksis sejak 1965 tersebut menyediakan dua jenis karbohidrat sebagai teman bersantap coto, yakni ketupat dan buras. SBY yang singgah ke kedai dengan tembok berlapis keramik putih itu lebih suka buras. ”Pak SBY habis dua mangkuk. Ketupat dan buras sama-sama dicoba. Tapi, yang paling disuka ya burasnya. Katanya lebih cocok dengan coto,” kisah Anton.

Kunjungan perdana SBY sempat membuat Anton dan para pegawainya kelabakan. Sebab, pemberitahuannya mendadak. Presiden ke-6 RI itu memutuskan untuk singgah ke Coto Ranggong di sela lawatan kepresidenan ke Makassar. Tepatnya pada 20 Februari 2006. ”Sore pas mau tutup didatangi TNI. Katanya, ada presiden mau datang makan. Kaget dan nervous juga. Persiapan cuma satu jam,” katanya.

Kendati waktunya mepet, Paspampres tetap melakukan pengamanan. Tim dokter kepresidenan juga mengecek kualitas makanan. Mereka menyantap coto lebih dulu untuk memastikan semuanya aman. Sekira satu jam kemudian, SBY tiba di lokasi. Anton pun menyajikan coto andalannya. Lengkap dengan ketupat, buras, dan ekstra bawang goreng serta daun bawang.

SBY, imbuh Anton, tidak hanya sekali makan Coto Ranggong. Setelah kunjungan pertama yang mendapatkan perhatian media dan melambungkan nama Coto Ranggong, SBY kembali memesan coto dari Anton. Namun tidak disantap di tempat, tapi dibawa ke lokasi lain. ”Waktunya tidak keburu, minta dibungkus saja dan dibawa,” ujarnya.

Anton bersyukur usaha kuliner yang dirintis kakeknya bisa bertahan sampai sekarang. Bahkan bisa berkembang. ”Giliran saya, cucunya, yang memegang dan mempertahankan resep itu,” ucapnya. (*/c9/hep/JPG)

Coto Ranggong, Makassar, Kuliner Khas yang Jadi Langganan SBY (28)

Konsep open kitchen yang diterapkan Pieter Tanzil pada kedainya menjadi godaan tersendiri bagi mereka yang melintasi Jalan Ranggong, Makassar. Aroma coto menggelitik hidung. Otomatis, otak mencetak visual semangkuk potongan daging gurih dalam kuah nan lezat. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun tak kuasa mengelak.

GALIH ADI PRASETYO, Makassar

ISIANNYA sama saja dengan coto Makassar yang lain. Daging, otak, lidah, limpa, paru, dan hati. Bisa pilih salah satu atau dicampur. Namun, soal kuah, bisa dibilang Coto Ranggong unggul. Itulah yang membuat para pelancong penasaran. Begitu menginjakkan kaki di Tanah Anging Mamiri, kuliner yang kali pertama dicari adalah coto. Dan Coto Ranggong memuncaki daftar coto-coto terlezat di Makassar.

Kedai yang dibangun Pieter itu sederhana saja. Dapurnya ada di luar. Karena itulah, angin bisa dengan leluasa membawa asap coto dari dalam korong butta atau uring butta ke segala arah. Aromanya kemudian akan menuntun orang-orang ke Coto Ranggong yang kini dikelola Antonius, cucu Pieter. ”Usaha ini dimulai kakek saya waktu masih muda, saat usianya sekira 35 tahun,” kata lelaki muda yang biasa disapa Anton itu ketika dijumpai Jawa Pos pada 26 Desember 2021 lalu.

Sambil bercerita, Anton tidak beranjak dari depan tungku yang memanaskan korong butta atau uring butta, istilah setempat untuk menyebut kuali. Tinggi alat masak tradisional yang terbuat dari tanah liat itu hampir sepinggang Anton. Di dalam kuah yang menggelegak itu, terdapat isian coto Makassar dalam ukuran utuh. Alias belum dipotong-potong.

Anton mengaduk dua kuali di depannya dengan sendok sayur bertangkai panjang. Sesekali dia mengecek isian di dalamnya. Ada daging sapi dan berbagai jeroan. Ketika bahan-bahan yang direbus dalam kuah berbumbu rempah itu matang, Anton segera mengangkatnya. Semua ditiriskan, namun proses memanasi kuah terus berlanjut.

Tungku dengan bahan bakar kayu itu menghasilkan panas yang stabil. Maka, setelah semua isian coto tuntas direbus, Anton membiarkan kuali tetap bertengger di atas tungku. Asap meliuk-liuk di atas kuali berisi kuah. Aroma coto Makassar memanggil-manggil siapa pun yang lewat di Jalan Ranggong Nomor 13 untuk singgah. Pada jam makan siang, berbondong-bondonglah pelanggan menghampiri kedai tersebut.

Anton mengatakan bahwa rumah makan dengan ubin merah bermotif kembang itu mulai buka pada jam sarapan. Setiap hari masakan ludes sebelum pukul 4 sore waktu setempat. Seringnya, kata Anton, malah sudah habis pada pukul 2, seusai jam makan siang. Karena itu, dia menyarankan kepada mereka yang datang ke Coto Ranggong di atas jam makan siang untuk menelepon lebih dulu. Memastikan apakah masih ada coto yang tersisa.

Baca Juga :  Bahas Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Tanah Papua

Seistimewa apakah Coto Ranggong sampai-sampai ludes sebelum hari berganti gelap? ”Resepnya dari kakek saya sendiri karena memang ini dulunya menjadi santapan keluarga,” kata Anton ketika ditanya rahasia di balik larisnya coto di rumah makannya. Dia yakin resep dari sang kakeklah yang menjadikan Coto Ranggong spesial. Sejak resep itu diciptakan sampai hari ini, racikan bumbu dan cara memasak tidak pernah berubah. Dan pelanggan terus berdatangan. Bahkan, jumlahnya terus bertambah.

Bumbu coto adalah perpaduan berbagai rempah. Ada ketumbar, jintan, pala, cengkih, kapulaga, serai, kayu manis, dan rempah-rempah lainnya dalam sekuali coto. Orang Makassar menyebut bumbu rempah komplet itu sebagai rampah patang pulo. Konon, total ada 40 jenis rempah dan bumbu yang digunakan untuk memasak coto.

Selain resep andalan keluarga, Pieter juga mengajari anak-cucunya untuk benar-benar memperhatikan proses memasak dan alat masak yang digunakan. Anton meminimalkan pemakaian alat-alat berteknologi tinggi. Dia memilih alat-alat tradisional. ”Bumbu benar-benar kami cincang sampai halus. Bukan dengan blender. Kalau pakai alat penghalus, rasa yang keluar tidak maksimal,” katanya.

Anton menambahkan bahwa pemakaian alat penghalus tradisional membantu aroma asli keluar dengan sendirinya. Bumbunya pun menjadi lebih tahan lama. Sebab, proses menghaluskan bumbu dengan blender biasanya melibatkan air. Tujuannya, proses penghalusan berjalan lebih cepat. Namun, sebenarnya penambahan air bisa merusak rasa asli rempah. Lagi pula, mesin akan membuat suhu bumbu yang digiling langsung naik.

Detail kecil seperti itu, menurut Anton, sering luput dari perhatian. Padahal, itu pun memengaruhi rasa. Dengan proses alami, racikan bahan diharapkan mengeluarkan zat-zat yang menambah sedap bumbu. Nah, dengan proses modern yang melibatkan mesin, alih-alih bertambah sedap, bumbunya malah mengalami perubahan rasa. ”Kami tidak mau seperti itu. Karena itulah, cara tradisional masih kami pakai,” tegasnya.

Urusan memasak pun demikian. Anton tidak menggunakan panci untuk coto. Dia hanya menggunakan korong butta atau uring butta untuk mematangkan kuah dan isian coto. ”Rasanya lebih enak dan sedap. Tungkunya juga masih pakai kayu bakar. Dari zaman kakek saya seperti itu,” lanjut Anton. Kuali-kuali tersebut dipesan dari perajin khusus. Sebab, kuali seperti itu tidak dijual di pasar.

Baca Juga :  Pangkas Jalur Birokrasi agar Kapal Tak Perlu Antre

Dari kuali, isian coto dibawa ke sudut lain dapur Coto Ranggong. Di sana daging dan berbagai jeroan yang sudah sedap itu dipotong-potong. Khusus daging, potongannya kotak kecil seperti dadu. Jika ada yang memesan, isian coto yang sudah dipotong itu dimasukkan ke dalam mangkuk. Selanjutnya, kuah cokelat gelap dari kuali diguyurkan ke atasnya. Sebagai pemanis, bawang goreng ditaburkan di atas coto siap santap itu.

Rumah makan yang sudah eksis sejak 1965 tersebut menyediakan dua jenis karbohidrat sebagai teman bersantap coto, yakni ketupat dan buras. SBY yang singgah ke kedai dengan tembok berlapis keramik putih itu lebih suka buras. ”Pak SBY habis dua mangkuk. Ketupat dan buras sama-sama dicoba. Tapi, yang paling disuka ya burasnya. Katanya lebih cocok dengan coto,” kisah Anton.

Kunjungan perdana SBY sempat membuat Anton dan para pegawainya kelabakan. Sebab, pemberitahuannya mendadak. Presiden ke-6 RI itu memutuskan untuk singgah ke Coto Ranggong di sela lawatan kepresidenan ke Makassar. Tepatnya pada 20 Februari 2006. ”Sore pas mau tutup didatangi TNI. Katanya, ada presiden mau datang makan. Kaget dan nervous juga. Persiapan cuma satu jam,” katanya.

Kendati waktunya mepet, Paspampres tetap melakukan pengamanan. Tim dokter kepresidenan juga mengecek kualitas makanan. Mereka menyantap coto lebih dulu untuk memastikan semuanya aman. Sekira satu jam kemudian, SBY tiba di lokasi. Anton pun menyajikan coto andalannya. Lengkap dengan ketupat, buras, dan ekstra bawang goreng serta daun bawang.

SBY, imbuh Anton, tidak hanya sekali makan Coto Ranggong. Setelah kunjungan pertama yang mendapatkan perhatian media dan melambungkan nama Coto Ranggong, SBY kembali memesan coto dari Anton. Namun tidak disantap di tempat, tapi dibawa ke lokasi lain. ”Waktunya tidak keburu, minta dibungkus saja dan dibawa,” ujarnya.

Anton bersyukur usaha kuliner yang dirintis kakeknya bisa bertahan sampai sekarang. Bahkan bisa berkembang. ”Giliran saya, cucunya, yang memegang dan mempertahankan resep itu,” ucapnya. (*/c9/hep/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya