Mengunjungi Event Perdana Pagelaran Seni Budaya Sanggar Robonghollo Kampung Sereh, Sentani
Kota Sentani nampaknya menyimpan sejumlah potensi wisata yang masih bisa dikembangkan. Meski menjadi kota jasa namun di sudut-sudut kota ternyata masih ada sumber daya alam yang bisa dibuat wah.
Laporan: Yohana Wenggi, Abdel Gamel Naser -Sentani
Siapa yang bisa lupa kejadian memilukan pada 16-19 Maret 2019 lalu. Sebuah bencana yang tak pernah diprediksi siapapun menghantam Kota Sentani dan sekitarnya. Hujan yang turun dengan intensitas tinggi berlangsung beberapa hari membuat bendungan alam yang selama ini terbentuk secara alami di Gunung Cycloop terlepas.
Air bersama material bebatuan termasuk ribuan batang pohon terjun bebas menyapu semua yang ada di kaki gunung hingga tengah kota. Dampaknya tak berhenti disitu. Warga yang tinggal di pulau juga terkena imbas. Jalan penuh dengan sendimen termasuk kesulitan air bersih.
Dan yang lebih miris adalah dari banjir bandang ini, tim SAR dan relawan harus mengangkut mengevakuasi 100 lebih jenasah. Catatan kelam bagi warga Sentani dampak dari teguran alam ketika itu. Berbicara soal banjir 2019 tak bisa lepas dari Kampung Sereh, Sentani. Pasalnya Sereh menjadi kampung terdekat yang berada persis di bawah kaki gunung Cycloop. Jadi sudah bisa dibayangkan bagaimana situasinya saat itu.
Ada beberapa bocah di kampung ini juga menjadi korban amuk banjir bandang. Jenasah tubuh mungil mereka baru bisa ditemukan beberapa hari setelah kejadian. Banyak cerita memilukan saat itu. Meski telah berlalu 6 tahun lamanya namun ternyata sisa-sisa banjir masih bisa terlihat saat ini. Tumpukan sendimen itu masih bisa dirasa di lokasi Dusun Sagu Ebha Hekhe. Lokasi yang dijadikan event Pagelaran Seni Budaya Sanggar Robonghollo.
“Dulu waktu banjir, pemuda kampung sempat panik dan kebingungan. Air itu mengalir deras sekali dan di bagian bawah banyak perumahan warga. Harus ada keputusan segera,” kata Ketua Sanggar Robonghollo, Jemy Ondikeleuw kepada Cenderawasih Pos sebelum event. Akhirnya dengan situasi darurat air dan sendimen yang turun dari gunung  langsung dialihkan ke lokasi hutan sagu Ebha Hekhe. Ini dilakukan sebab jika tidak maka akan ada banyak korban termasuk rumah yang rusak.
“Teman-teman berupaya sekuat tenaga mengalihkan arus air masuk ke hutan sagu. Makanya kalau sekarang dilihat ada banyak pasir itulah sendimen yang memang mengalir deras saat itu namun tertahan di hutan sagu. Kami berfikir bahwa hanya sagu yang bisa menyerap air bagus dan terbukti,” ceritanya. Saat ini lokasi Ebha Hekhe dijadikan tempat pagelaran seni. Meski menjadi event perdana namun ada sejumlah pesan yang dititipkan disini.
Sagu menjadi makanan pokok secara turun temurun dan menjadi dapur bagi masyarakat di Sentani. Pesan penyelamatan dan rasa banggapun terlontar dimana meski bukan sebagai orang hebat dan terkenal namun masih memiliki dusun sagu artinya masih mengenal jati diri. Orang boleh bangga dengan gelar dan jabatan namun bila tak memiliki jati diri maka ia akan lupa siapa dirinya.