Cegah Tindakan Anarkis, Pengamanan Aksi Demo Harus Lebih Humanis dan Persuasif
Aksi massa dari Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Tanah Adat Papua (AMPPTAP) Kota Jayapura saat menyampaikan aspirasinya di seputar lingkaran Abepura, Rabu (15/10). (foto:Gamel/Cepos)
Sementara itu, Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR), Thomas Ch. Syufi, menyesalkan tindakan aparat kepolisian yang dinilai represif terhadap aksi demonstrasi damai mahasiswa di Abepura, Kota Jayapura, pada Rabu (15/10).
Aksi yang awalnya berlangsung tertib untuk menyuarakan penolakan terhadap investasi dan militerisasi di Papua itu berujung ricuh tanpa alasan yang jelas.
Thomas menilai, aspirasi yang disampaikan mahasiswa merupakan bentuk kepedulian terhadap berbagai persoalan ketidakadilan dan dugaan pelanggaran kemanusiaan yang masih terjadi di Tanah Papua.
Praktisi Hukum Asal Papua Thomas Ch. Syufi (foto:Karel/Cepos)
“Itu bentuk dari moral obligation mahasiswa sebagai kaum terpelajar yang kritis terhadap fenomena sosial dan kemanusiaan. Mereka wajib menyuarakan kebenaran secara damai. Mengapa harus direspons dengan cara-cara kekerasan yang berlebihan?,” ujar Thomas kepada wartawan di Jayapura, Kamis (16/10).
Menurutnya, tindakan aparat kepolisian yang menggunakan gas air mata hingga mengenai lingkungan sekolah merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip jus in bello aturan yang mengatur batasan penggunaan kekerasan dalam situasi konflik.
“Kaum sipil dan orang-orang tidak bersenjata tidak boleh dijadikan sasaran. Ini pertanda buruk bagi kinerja dan profesionalisme kepolisian di Papua,” tegasnya.
Thomas juga menyoroti kesalahpahaman aparat mengenai izin demonstrasi. Ia menegaskan, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum tidak mengatur kewajiban memiliki surat izin, melainkan hanya pemberitahuan tertulis kepada kepolisian paling lambat 3×24 jam sebelum aksi digelar.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR), Thomas Ch. Syufi, menyesalkan tindakan aparat kepolisian yang dinilai represif terhadap aksi demonstrasi damai mahasiswa di Abepura, Kota Jayapura, pada Rabu (15/10).
Aksi yang awalnya berlangsung tertib untuk menyuarakan penolakan terhadap investasi dan militerisasi di Papua itu berujung ricuh tanpa alasan yang jelas.
Thomas menilai, aspirasi yang disampaikan mahasiswa merupakan bentuk kepedulian terhadap berbagai persoalan ketidakadilan dan dugaan pelanggaran kemanusiaan yang masih terjadi di Tanah Papua.
Praktisi Hukum Asal Papua Thomas Ch. Syufi (foto:Karel/Cepos)
“Itu bentuk dari moral obligation mahasiswa sebagai kaum terpelajar yang kritis terhadap fenomena sosial dan kemanusiaan. Mereka wajib menyuarakan kebenaran secara damai. Mengapa harus direspons dengan cara-cara kekerasan yang berlebihan?,” ujar Thomas kepada wartawan di Jayapura, Kamis (16/10).
Menurutnya, tindakan aparat kepolisian yang menggunakan gas air mata hingga mengenai lingkungan sekolah merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip jus in bello aturan yang mengatur batasan penggunaan kekerasan dalam situasi konflik.
“Kaum sipil dan orang-orang tidak bersenjata tidak boleh dijadikan sasaran. Ini pertanda buruk bagi kinerja dan profesionalisme kepolisian di Papua,” tegasnya.
Thomas juga menyoroti kesalahpahaman aparat mengenai izin demonstrasi. Ia menegaskan, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum tidak mengatur kewajiban memiliki surat izin, melainkan hanya pemberitahuan tertulis kepada kepolisian paling lambat 3×24 jam sebelum aksi digelar.