Berkah Menjalani Puasa Penderita Hemofilia
Ramadan jadi berkah tersendiri bagi penderita hemofilia. Menjalani puasa bukan halangan. Pengobatan tetap jalan.
Laporan: M RIDHUAN & NOFFIYATUL CHALIMAH
DI rumah sederhana di ujung gang sempit, belasan orang berkumpul. Di rumah milik Jumaidah di RT 40, Kelurahan Muara Rapak, Balikpapan Utara, Jumat (15/4) sore. Mereka hendak melaksanakan buka puasa bersama. Kegiatan rutin selama Ramadan yang dilakukan Komunitas Hemofilia Mandiri Balikpapan.
“Tahun ini anggota kami bertambah dua orang. Semua jadi 16 orang,” kata Jumaidah, sekretaris komunitas.
Karena termasuk penyakit langka, jumlah penderita hemofilia memang tidak banyak. Pada 2020 lalu, di seluruh Indonesia tercatat ada 2 ribuan penderita hemofilia A. Sementara di Kaltim, belum ada data resmi. Kebanyakan kasusnya baru diketahui setelah dirawat di rumah sakit akibat pendarahan. “Yang terbaru masih bayi mengalami pendarahan di kepalanya. Kini dirawat di RSKD (RSUD Kanujoso Djatiwibowo) Balikpapan,” kata Jumaidah.
Perempuan berjilbab itu memiliki dua putra. Dua-duanya penderita hemofilia A. Yang tertua, Syaed Muhammad Arkan kini berusia 12 tahun. Sementara adiknya, Muhammad Osama Novanda berusia 2 tahun. Sekilas, keduanya tampak sehat. Bahkan Novanda lincah bermain di luar rumah di antara motor yang terparkir. “Kuncinya sih rutin ya suntiknya. Sama kalau Arkan itu selama puasa dia tidak pernah kambuh,” ujar Jumaidah.
Kata dia, hemofilia tak menjadi halangan berpuasa selama Ramadan. Bahkan selama berpuasa, sangat kecil kemungkinan terjadi pendarahan. Itu yang sudah dibuktikan Jumaidah selama enam tahun. Sejak kelas 1 SD, pertama kali dirinya mengajarkan Arkan berpuasa di Ramadan. “Sudah saya buktikan ke Arkan. Pokoknya selama puasa dia tak pernah sakit,” ungkapnya.
Namun, berbeda kasus bagi penderita yang memiliki penyakit lain. Misalnya mag. Karena ada kasus, saat berpuasa, mag kambuh dan mengakibatkan pembengkakan serta pendarahan.
Jadi, bagi dirinya, setiap penderita memiliki pengalaman dan cara tersendiri menjalani ibadah puasa selama Ramadan. Karena setiap mereka yang memiliki hemofilia itu tidak sama. Seperti dosis obat rutin saja berbeda. Tingkat keparahan kalau pendarahan. Sampai ketahanan orangnya kalau kambuh. “Ada yang tahan baru suntik kalau udah pendarahan hebat. Ditahan meski sendinya membiru. Saking kuatnya,” sebutnya.
Kebanyakan penderita hemofilia juga tidak pantang untuk mengonsumsi asupan tertentu. Pun selama Ramadan, tidak ada cara khusus agar mereka kuat berpuasa. Semua dijalani secara normal. Aktivitas fisik pun tak dibatasi. Seperti Arkan, yang semangat menjalani sekolah tatap muka dibandingkan daring. “Sayangnya di luar Ramadan, dia (Arkan) tidak mau puasa. Ya namanya masih anak-anak,” ucapnya.
MENUNGGU TERAPI TERBARU
Dunia kedokteran sudah membuktikan jika berpuasa terbukti menyehatkan. Bahkan direkomendasikan bagi mereka yang memiliki penyakit tertentu. Tentu semua harus dikonsultasikan lebih dulu dengan dokter. “Untuk hemofilia tidak ada hambatan untuk berpuasa,” kata Elsa Maimon, konsultan Hematologi-Onkologi Anak RSUD Kanujoso Djatiwibowo (RSKD) Balikpapan, Kamis (14/4).
Elsa menyebut, berdasarkan penelitian kedokteran, dalam tubuh seseorang yang berpuasa, sel yang memiliki kelainan atau berpotensi bermutasi, seperti menjadi kanker akan mati dalam periode tertentu. Efek dari berpuasa. Karena itu, sebagai dokter, dirinya tidak menghalangi pasiennya yang muslim untuk tidak berpuasa saat Ramadan. Yang terpenting dijaga pola tidur dan tingkat stresnya.
“Yang terpenting istirahatnya cukup. Kalau puasa ya pola tidurnya diubah. Misal karena bangun sahur, ya tidurnya lebih awal,” jelasnya.
Soal asupan pun, dirinya tidak menambahkan anjuran tertentu. Seperti orang normal pada umumnya, cukup menjaga makanan sehat dan berolahraga ringan secara teratur. Terpenting lagi, pemberian suntikan anti hemofilik faktor tidak boleh terlambat. Bagi orangtua yang memiliki anak penderita hemofilia, disarankan juga tidak terlalu mengekang anaknya untuk beraktivitas.
“Karena dalam penelitian saya, anak dengan orangtua yang cenderung ketat lebih sering mengalami pendarahan dibandingkan orangtua yang biasa saja. Jadi, indikator terburuk adalah keluarga yang terlalu khawatir terhadap kondisi penderita hemofilia,” bebernya.
Selain itu, Elsa mendorong para penderita hemofilia untuk melengkapi vaksinasi Covid-19. Sebab, saat ini dia masih banyak menemukan penderita hemofilia yang enggan disuntik vaksin karena khawatir pendarahan. Padahal pada masa pandemi ini, vaksin penting untuk mengurangi risiko terpapar corona.
Dan yang disayangkannya, ada kasus di mana dirinya sudah memberikan surat rujukan resmi agar penderita hemofilia bisa vaksin, tapi justru ditolak oleh vaksinator. “Inilah pentingnya edukasi. Dan saya berharap bagi teman-teman atau orangtua yang anaknya sudah bisa divaksin tapi enggan divaksin bisa segera vaksin,” ujarnya.
Saat ini terapi untuk penyakit hemofilia disebutnya masih terus berkembang. Terbaru para dokter di Unit Kelompok Kerja (UKK) Hematologi tengah menggencarkan terapi profilaksis untuk diaplikasikan ke penderita hemofilia.
Terapi itu berupa pemberian suntikan rutin seminggu dua kali. Saat ini para dokter berjuang agar terapi itu bisa masuk tanggungan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sebab besarnya biaya yang harus ditanggung pasien jika menerima terapi ini.
“Dosisnya bergantung berat badan. Paling murah terapi ini menghabiskan Rp 2,5 juta setiap sekali suntikan. Jadi kami sedang berjuang agar terapi ini bisa masuk BPJS Kesehatan,” ucapnya.
Selain terapi profilaksis, ada kabar dari Amerika Serikat. Di mana dokter hematologi juga mengembangkan imunoterapi sebagai cara menyembuhkan hemofilia. Dalam sebuah suntikan, imunoterapi bertujuan untuk memicu munculnya kekurangan faktor pembeku VIII atau IX. Faktor yang menyebabkan pembekuan darah di dalam plasma darah. Di mana biasanya penderita hemofilia adalah mereka yang kekurangan faktor tersebut.
“Tapi metode ini masih kontroversial. Karena disebut menimbulkan efek munculnya penyakit lain. Dan proses ini masih panjang, karena di Amerika dan Eropa metode ini masih jadi perdebatan sengit,” tukasnya.
Diketahui setiap tahun, pada 17 April diperingati sebagai Hari Hemofilia Sedunia untuk meningkatkan kesadaran akan hemofilia. Peringatan Hari hemofilia cukup penting untuk membangun kesadaran, sehingga diagnosis dini bisa terjadi.
Saat berpuasa, para penderita hemofilia harus pintar-pintar mengatur asupan makanan. Di sisi lain, akses penderita hemofilia untuk layanan kesehatan dan pengobatan mestinya terbuka lebar.
Sekretaris Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) Kaltim Bobby Seppmaeir mengatakan, sebenarnya tak ada kiat khusus saat berpuasa. Seperti orang lain pada umumnya berpuasa. “Pantangan biasanya kami menghindari makan makanan yang pedas atau asam seperti cuka dan minuman bersoda. Itu biasanya bisa meningkatkan asam lambung,” kata Bobby.
Sementara bagi penderita hemofilia berat, rawan terjadi perdarahan lambung. Pada penderita hemofilia berat umumnya sering mengalami perdarahan spontan. Selain itu, mesti berhati hati saat makan ikan. Sebab, sangat berisiko ketika makan ikan dan tertusuk duri ikan.
Hemofilia adalah penyakit kelainan pembekuan darah akibat kekurangan kadar faktor pembeku darah. Yaitu salah satu protein yang sangat diperlukan dalam proses pembekuan darah dan terjadi akibat kelainan genetik.
Dijelaskan Bobby, ada dua jenis hemofilia yaitu hemofilia A yaitu kekurangan faktor VIII atau antihemophilic factor (AHF) dan hemofilia B yang kekurangan faktor IX. Gejalanya adalah lebam-lebam dan pembengkakan sendi akibat perdarahan di dalam sendi. Juga terjadi secara spontan atau akibat benturan ringan.
Nah, deteksi hemofilia bisa dilakukan sejak dini. Pada bayi atau anak laki-laki, sering memar, bengkak, atau nyeri luar biasa di sendi tanpa sebab. Pada bayi, biasanya terlihat saat dia belajar berjalan atau merangkak.
Selain itu, jika berdarah, susah berhenti atau ada keluarga yang memiliki gejala serupa. Pengalaman Bobby, dia baru mengetahui mengidap hemofilia pada usia 34 tahun. Sekitar 12 tahun lalu. Sebelumnya, dia merasa ada yang tak beres dengan dirinya.
Tiap sakit dan terluka, dia tidak bisa pulih mudah seperti orang lain. Dia harus mendapat transfusi darah dahulu. Hingga, perdarahannya bisa pulih. Tiap berobat dia menanyakan agar dokter memeriksa lebih lanjut.
Tetapi, jawaban dokter kala itu mengatakan bahwa teknologi di kotanya saat itu tidak mumpuni untuk pemeriksaan. Bobby pun berselancar di internet, berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya. “Ternyata di Jakarta bisa periksa. Akhirnya saya periksa ke sana, waktu itu ke RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo),” kisah Bobby kepada Kaltim Post sebelumnya.
Di rumah sakit itu Bobby didiagnosis positif hemofilia. Sakit yang Bobby derita tergolong sedang. Dia mengaku, di usia tersebut, berat badannya bertambah. Sementara ketika seseorang gemuk, beban kerja sendi-sendinya akan lebih berat. Di situ, keluhan mulai muncul. Berbeda dengan sebelumnya yang paling-paling hanya gusi berdarah tetapi tidak parah.
“Setelah didiagnosis saya pulang, terus banyak belajar. Saya baca-baca soal sakit ini. Saya mulai mensosialisasikan soal hemofilia. Lalu kami kerja sama dengan Dinas Kesehatan, juga ke berbagai media massa. Akhirnya dari yang beberapa orang saja, kini menjadi 60-an orang yang bergabung di HMHI Kaltim,” beber Bobby.
Dia menyadari pemahaman masyarakat soal hemofilia masih sangat minim. Tidak sedikit kasus masyarakat yang tak menyadari bahwa anak mereka menderita hemofilia, tetapi melakukan treatment medis seperti cabut gigi atau sunat. Sehingga si anak mengalami perdarahan bahkan hingga meninggal. Jadi, pihaknya berusaha merangkul banyak orang untuk menyosialisasikan hemofilia.
Pada dasarnya hemofilia memang tidak bisa disembuhkan tetapi masih bisa dikendalikan. Mesti rutin seminggu sekali ke rumah sakit untuk mendapatkan injeksi obat agar bisa beraktivitas seperti biasa.
Bagi penderita hemofilia, injeksi obat sangat penting, agar mereka bisa beraktivitas seperti biasa. Sebab, mereka harus berusaha keras agar bisa bekerja normal. Tak sedikit penderita yang memilih berwirausaha. Sebab ketika mereka bekerja di perusahaan, mereka tak bisa beristirahat leluasa ketika sakit. Namun, bagi mereka yang memilih bekerja di perusahaan, mereka akan teratur injeksi agar bisa lebih prima.
Pasien hemofilia akan merasa terbantu bila didukung oleh semua pihak. Mulai distributor obat yang memasok obatnya dari luar negeri hingga dukungan tim medis yang memadai. “Juga perhatian pemerintah dalam hal pembiayaan obatnya, dalam hal ini BPJS Kesehatan,” beber Bobby.
Beruntung, BPJS Kesehatan meng-cover pengobatan hemofilia. Pada September 2021, BPJS Kesehatan sudah memudahkan akses pelayanan dan administrasi bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), khususnya penyandang thalassemia mayor dan hemofilia yang menjalani terapi rutin transfusi darah, obat antihemofilia, dan obat kelasi besi di rumah sakit.
Dengan simplifikasi layanan tersebut, mereka tak perlu lagi mengunjungi fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) untuk memperbarui surat rujukannya. “Sesuai mekanisme, surat rujukan peserta JKN-KIS yang menjalani perawatan thalassemia mayor dan hemofilia berlaku selama 90 hari. Jika masa berlakunya habis, peserta JKN-KIS harus mengunjungi FKTP untuk kembali mendapatkan surat rujukan ke rumah sakit,” jelas Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Lily Kresnowati.
Menurutnya, dengan adanya simplifikasi layanan, nantinya surat rujukan tersebut bisa langsung diperpanjang oleh pihak rumah sakit melalui aplikasi V-Claim. Prosesnya pun cepat, hanya dalam hitungan menit.
Untuk memperpanjang masa berlaku surat rujukan yang sudah habis, peserta JKN-KIS penyandang thalassemia mayor dan hemofilia cukup menunjukkan kartu JKN-KIS dan surat keterangan kontrol kepada petugas administrasi rumah sakit. Selanjutnya, dengan aplikasi V-Claim, petugas rumah sakit akan memperpanjang masa berlaku surat rujukan peserta JKN-KIS tersebut untuk 90 hari berikutnya. (rom/k16)