Thursday, April 25, 2024
33.7 C
Jayapura

Kasus Cenderung Meningkat, Perlu Penanganan dan Pencegahan yang Lebih Serius

Mencermati Tingginya Kasus Kekerasan Terhadap Anak di Papua

Masih tingginya kasus kekerasan terhadap anak di Papua, menggerakkan Universitas Pendidikan Muhamadiyah (Unimuda) Sorong melalui dukungan dari Unicef Indonesia menyelenggarakan lokakarya Tokoh Adat dan Agama dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap anak di Provinsi Papua, Kamis (17/3).

Laporan: Elfira_Jayapura

Plt. Kepala Dinas Sosial, Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Papua, Nius Wenda, S.Pd. M.Si dalam pembukaan kegiatan lokakarya mengajak tokoh agama, adat dan mitra pemerintah untuk sama-sama membantu menyelesaikan masalah kekerasan yang banyak terjadi pada anak di tanah Papua.

  “Tindak kekerasan terhadap anak saat ini umumnya masih dianggap urusan keluarga atau urusan rumah tangga yang bersangkutan, sehingga orang luar tidak boleh atau tidak mau ikut campur,” ucap Nius.

  Menurut data dari Badan Pusat Statistik Tahun 2021 jumlah korban kekerasan terhadap anak di Indonesia meningkat dari 12.285 pada 2019, 12.425 pada 2020, dan menjadi 15.972. Sementara itu, berdasarkan data dari Dinas Sosial, Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Papua kasus kekerasan seksual terhadap anak meningkat secara signifikan selama beberapa tahun terakhir.

  “Tercatat sekitar 4.000 kasus kekerasan seksual sejak tahun 2012 hingga 2021, perlindungan anak menjadi tanggung jawab semua pihak untuk diimplementasikan pada aktivitas sehari-hari. Selain itu, tindak kekerasan anak merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia serta merendahkan harkat dan martabat yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002 yang diubah menjadi UU No.35/2014,” kata Nius sebagaimana rilis yang diterima Cenderawasih Pos, Kamis (17/3).

Baca Juga :  Ajak Generasi Muda Papua Lainnya Untuk Kembangkan Potensi Diri

  Lanjutnya, jika hal ini terus dibiarkan, tindak kekerasan seperti fisik, psikis, seksual, serta diskriminasi dapat mengakibatkan gangguan pada tumbuh kembang anak. Gambaran akibat tindak kekerasan dapat berupa luka, kecacatan, gangguan kejiwaan berupa rasa dendam, ketakutan dan depresi, penderitaan berkepanjangan akibat tindak kekerasan seksual, bahkan dapat menimbulkan kematian.

  Kenyataannya, tindak kekerasan terhadap anak terus meningkat dengan motif dan cara yang semakin beragam. Anak perlu dilindungi dari semua bentuk kekerasan dan eksploitasi anak, termasuk mencatatkan anak sejak lahir, mengakhiri intimidasi dan eksploitasi, mencegah perkawinan anak, pekerja anak dan situasi lain yang menyebabkan anak kehilangan hak dasar mereka, termasuk anak yang berhadapan dengan hukum dan dalam keadaan darurat.

  “Perlindungan anak dari tindak kekerasan merupakan tanggung jawab utama orang tua, masyarakat sekitar dan pemerintah daerah,” tegasnya.

  Melihat meningkatnya kasus dan dampak tindak kekerasan terhadap anak, maka perlu ditingkatkan pula upaya pencegahan dan penanganan yang serius dari tindak kekerasan terhadap anak, melalui kegiatan yang melibatkan dari Kelompok Adat dan Agama. Adat dan agama, bersama pemerintah, merupakan tiga pilar utama di Papua yang efektif dapat berkontribusi dalam mencegah dan membantu dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak, dengan tetap melibatkan partisipasi masyarakat dan anak sendiri secara aktif.

  “Selama ini tokoh adat dan agama di Papua mempunyai peran yang penting dan strategis dalam masyarakat, maka perlu dukungan kuat dari kelompok tokoh adat dan agama untuk pencegahan dan penanganan dini tindak kekerasan terhadap anak,” ungkapnya.

Baca Juga :  Penyalahgunaan Listrik Masih Marak, Rawan Jadi Pemicu Kebakaran

  Perlunya sinergi lintas sektor dan lembaga dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak di Papua adalah sebuah kunci keberhasilan. Oleh karena itu, Universitas Pendidikan Muhammadiyah (Unimuda) Sorong dengan dukungan dari Unicef melakukan lokakarya bagi tokoh Adat dan Agama ini di Papua untuk perlindungan anak.

  Sementara itu, Kepala Kantor Perwakilan UNICEF Papua-Papua Barat, Aminuddin Mohammad Ramdan menyatakan, sebagai lembaga yang bekerja untuk pemenuhan hak – hak anak, Unicef mendorong keterlibatan tokoh adat, tokoh agama, dan OPD guna meningkatkan enabling environment pada layanan perlindungan anak anak Papua serta meningkatkan akses terhadap pemanfaatan layanan yang integratif oleh anak, keluarga dan masyarakat Papua.

  Sementara itu, Nursalim, S.Pd, M.Pd sebagai Partnership Manager menambahkan Unimuda Sorong  sebagai mitra pelaksana Unicef turut menegaskan bahwa diharapkan tokoh agama dan adat mempunyai rekomendasi nantinya terkait pencegahan dan penanganan kasus yang terjadi pada anak.

  “Ini menjadi tanggung jawab kita bersama agar menghentikan sekarang juga kekerasan terhadap anak di Papua,” ungkapnya.

  Ia berharap dapat meningkatkan komitmen semua pihak, khususnya Lembaga adat dan agama, dalam menguatkan jejaring dan mekanisme integrasi antar adat, agama, dan pemerintah, dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap anak di Papua. (*/tri)

Mencermati Tingginya Kasus Kekerasan Terhadap Anak di Papua

Masih tingginya kasus kekerasan terhadap anak di Papua, menggerakkan Universitas Pendidikan Muhamadiyah (Unimuda) Sorong melalui dukungan dari Unicef Indonesia menyelenggarakan lokakarya Tokoh Adat dan Agama dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap anak di Provinsi Papua, Kamis (17/3).

Laporan: Elfira_Jayapura

Plt. Kepala Dinas Sosial, Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Papua, Nius Wenda, S.Pd. M.Si dalam pembukaan kegiatan lokakarya mengajak tokoh agama, adat dan mitra pemerintah untuk sama-sama membantu menyelesaikan masalah kekerasan yang banyak terjadi pada anak di tanah Papua.

  “Tindak kekerasan terhadap anak saat ini umumnya masih dianggap urusan keluarga atau urusan rumah tangga yang bersangkutan, sehingga orang luar tidak boleh atau tidak mau ikut campur,” ucap Nius.

  Menurut data dari Badan Pusat Statistik Tahun 2021 jumlah korban kekerasan terhadap anak di Indonesia meningkat dari 12.285 pada 2019, 12.425 pada 2020, dan menjadi 15.972. Sementara itu, berdasarkan data dari Dinas Sosial, Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Papua kasus kekerasan seksual terhadap anak meningkat secara signifikan selama beberapa tahun terakhir.

  “Tercatat sekitar 4.000 kasus kekerasan seksual sejak tahun 2012 hingga 2021, perlindungan anak menjadi tanggung jawab semua pihak untuk diimplementasikan pada aktivitas sehari-hari. Selain itu, tindak kekerasan anak merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia serta merendahkan harkat dan martabat yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002 yang diubah menjadi UU No.35/2014,” kata Nius sebagaimana rilis yang diterima Cenderawasih Pos, Kamis (17/3).

Baca Juga :  Jangan Sampai Orang Lain Kuasai, Baru Menyesal di Belakang

  Lanjutnya, jika hal ini terus dibiarkan, tindak kekerasan seperti fisik, psikis, seksual, serta diskriminasi dapat mengakibatkan gangguan pada tumbuh kembang anak. Gambaran akibat tindak kekerasan dapat berupa luka, kecacatan, gangguan kejiwaan berupa rasa dendam, ketakutan dan depresi, penderitaan berkepanjangan akibat tindak kekerasan seksual, bahkan dapat menimbulkan kematian.

  Kenyataannya, tindak kekerasan terhadap anak terus meningkat dengan motif dan cara yang semakin beragam. Anak perlu dilindungi dari semua bentuk kekerasan dan eksploitasi anak, termasuk mencatatkan anak sejak lahir, mengakhiri intimidasi dan eksploitasi, mencegah perkawinan anak, pekerja anak dan situasi lain yang menyebabkan anak kehilangan hak dasar mereka, termasuk anak yang berhadapan dengan hukum dan dalam keadaan darurat.

  “Perlindungan anak dari tindak kekerasan merupakan tanggung jawab utama orang tua, masyarakat sekitar dan pemerintah daerah,” tegasnya.

  Melihat meningkatnya kasus dan dampak tindak kekerasan terhadap anak, maka perlu ditingkatkan pula upaya pencegahan dan penanganan yang serius dari tindak kekerasan terhadap anak, melalui kegiatan yang melibatkan dari Kelompok Adat dan Agama. Adat dan agama, bersama pemerintah, merupakan tiga pilar utama di Papua yang efektif dapat berkontribusi dalam mencegah dan membantu dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak, dengan tetap melibatkan partisipasi masyarakat dan anak sendiri secara aktif.

  “Selama ini tokoh adat dan agama di Papua mempunyai peran yang penting dan strategis dalam masyarakat, maka perlu dukungan kuat dari kelompok tokoh adat dan agama untuk pencegahan dan penanganan dini tindak kekerasan terhadap anak,” ungkapnya.

Baca Juga :  Penyalahgunaan Listrik Masih Marak, Rawan Jadi Pemicu Kebakaran

  Perlunya sinergi lintas sektor dan lembaga dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak di Papua adalah sebuah kunci keberhasilan. Oleh karena itu, Universitas Pendidikan Muhammadiyah (Unimuda) Sorong dengan dukungan dari Unicef melakukan lokakarya bagi tokoh Adat dan Agama ini di Papua untuk perlindungan anak.

  Sementara itu, Kepala Kantor Perwakilan UNICEF Papua-Papua Barat, Aminuddin Mohammad Ramdan menyatakan, sebagai lembaga yang bekerja untuk pemenuhan hak – hak anak, Unicef mendorong keterlibatan tokoh adat, tokoh agama, dan OPD guna meningkatkan enabling environment pada layanan perlindungan anak anak Papua serta meningkatkan akses terhadap pemanfaatan layanan yang integratif oleh anak, keluarga dan masyarakat Papua.

  Sementara itu, Nursalim, S.Pd, M.Pd sebagai Partnership Manager menambahkan Unimuda Sorong  sebagai mitra pelaksana Unicef turut menegaskan bahwa diharapkan tokoh agama dan adat mempunyai rekomendasi nantinya terkait pencegahan dan penanganan kasus yang terjadi pada anak.

  “Ini menjadi tanggung jawab kita bersama agar menghentikan sekarang juga kekerasan terhadap anak di Papua,” ungkapnya.

  Ia berharap dapat meningkatkan komitmen semua pihak, khususnya Lembaga adat dan agama, dalam menguatkan jejaring dan mekanisme integrasi antar adat, agama, dan pemerintah, dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap anak di Papua. (*/tri)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya