Sunday, April 28, 2024
27.7 C
Jayapura

Impian Awal Terbangun karena Nonton Kurniawan Dwi Yulianto

Cedera yang Gagalkan Kukuh Prasetya, Pencipta Mendung Tanpo Udan, Jadi Pemain Liga 3 Nasional

Karena bakat yang diasah di SSB dan klub, Kukuh Prasetya laris dibon tim-tim di Karesidenan Madiun semasa SMA. Cedera mengubah impiannya, tapi kini sudah menyiapkan satu lagu bertema patah hati dengan metafora sepak bola.

FARID S. MAULANA, Surabaya

CEDERA hamstring membelokkan keinginan Kukuh Prasetya. Dia meninggalkan sepak bola, bahkan tak mau mengambil jurusan olahraga saat kuliah, dan memilih kuliah teater.

One thing leads to another. Satu hal mengarah ke hal lain. Pilihan berkuliah teater itu pada akhirnya membawanya ke seni peran di televisi. Dan, suatu hari di sebuah tempat kos di Jakarta, saat masih bingung apakah bertahan di ibu kota atau balik ke Jogjakarta, seorang kawan memintanya mengangkat jemuran. Mendung memang sudah menggelayut siang itu.

Jemuran diangkat, eh lha kok hujan tidak jadi datang. Mendung Tanpo Udan, dari sanalah lagu karya Kukuh yang kemudian melambungkan namanya ke lapis demi lapis kemasyhuran itu berasal.

Mesin waktu memang belum ditemukan. Tapi, bagaimana seandainya di hari ketika dikontrak jutaan rupiah untuk main futsal sekian tahun lalu itu Kukuh tidak cedera? Lalu bisa memenuhi undangan Persipon Pontianak bermain di Liga 3. Dan, dengan bakatnya sebagai gelandang yang telah kondang di seantero Madiun Raya, Jawa Timur, siapa tahu kariernya lantas melaju dan membawanya ke puncak ketenaran serupa.

Siapa tahu…

***     

Surat panggilan kedua dari Persipon diterimanya beberapa bulan sebelum lulus SMA pada 2011. Surat yang memang sangat dinantinya setelah pemanggilan setahun sebelumnya batal dipenuhi karena aktivitas sekolah di SMAN 5 Madiun. Surat yang membuat mimpinya menjadi pesepak bola profesional kembali merekah.

Kukuh yang saat itu berusia 18 tahun pun mempersiapkan diri dengan baik. Dia mulai membenahi fisiknya. ”Mulai main sepak bola lapangan besar lagi. Karena memang banyak di futsal ketika di SMA,” papar alumnus SMAN 5 Madiun yang kini bernama panggung Kukuh Prasetya Kudamai itu. Kukuh berlatih serius. Pelajaran sekolah yang selama ini tidak pernah masuk ke otaknya kian ditinggalkan. Di pikirannya, ”toh akhirnya saya menjadi pemain bola”.

Karier yang memang sudah diidam-idamkannya sejak kelas III sekolah dasar. Persisnya setelah menonton kehebatan Kurniawan Dwi Yulianto yang sedang naik daun dan meraih gelar Liga Indonesia bersama Persebaya. Kurniawan yang dididik di PSSI Primavera juga lama malang melintang di tim nasional.

Tapi, jalannya menuju mimpi itu tak ubahnya mendaki bukit terjal. Keterbatasan ekonomi membuat orang tuanya tak mampu membelikan sepatu dan jersey.

Baca Juga :  Alhamdulillah, Kami Urut sampai Terkantuk-kantuk

Kukuh pun harus menabung dari uang saku yang tak seberapa sampai akhirnya sepatu dan jersey terbeli. Masuklah dia ke sekolah sepak bola (SSB) milik PSM Madiun, salah satu klub pendiri PSSI.

”Tapi, persaingan ternyata sangat ketat. Akhirnya, saya mundur dan ikut SSB di kampung,” kata Kukuh yang sedari awal memilih posisi gelandang, baik bertahan maupun pengatur permainan.

Yang juga membuatnya sulit bersaing adalah fisik. Postur pria kelahiran 20 Juni 1992 itu kecil. ”Untung ae sing liyane gede… Semangat maksute (Untung saja yang lain besar… Semangat maksudnya) hahaha,” katanya.

Sambil berlatih serius di kampung, Kukuh juga getol ikut ekstrakurikuler renang. Dengan harapan tubuhnya bisa tinggi. ”Tapi, dari renang itu justru saya dapat banyak piagam,” paparnya.

Piagam itulah yang kemudian membawanya masuk ke SMP favorit di kotanya: SMP Negeri 2 Madiun. Di sekolah tersebut, keseriusan Kukuh terhadap sepak bola menjadi-jadi. Dia pun masuk PS Inka, salah satu klub lokal terkenal di Madiun. Bakatnya semakin terasah.

”Tapi, masuk akhir-akhir kelas VIII SMP, saya berhenti. Gara-gara nge-band, punk-punkan, Rek,” terangnya.

Maklum, zaman itu, kata Kukuh, pemain bola masih dipandang sebelah mata oleh anak-anak muda. Terutama kaum hawa. Anak band lebih diidolakan. Jalur punk juga dipilih karena Superman is Dead, band punk asal Bali, sedang naik daun. ”Aku ngedrum karo vokal lho. Cah (anak) SMP favorit yang punya band punk ya mek (cuma) sekolahku di Madiun,” kenangnya bangga.

Lulus SMP, Kukuh kembali masuk ke SMA favorit di Madiun: SMA Negeri 5 Madiun. Masuk ke situ bukan karena prestasi band-band-an. Tapi lebih karena kemampuan olah bolanya.

Karena sadar nge-band tak lagi menjanjikan, Kukuh kembali fokus main bola. Dia masuk ke klub futsal SMA. Dasar berbakat dan pernah mengenyam latihan di SSB dan klub, dia membuat tim futsal SMAN 5 Madiun ditakuti.

Buntutnya, Kukuh sering dibon (diajak main tim lain) berbagai tim di Karesidenan Madiun.

”Tiap minggu dibon tiga pertandingan. Satu pertandingan bisa dapat Rp 100–200 ribu,” bebernya, lantas tertawa, ketika ditemui Jawa Pos pekan lalu di sela jadwal manggungnya di Surabaya.

Naik ke kelas XI SMA, Kukuh kembali ke PS Inka. Namanya yang sudah luas dikenal menarik perhatian klub lokal di Madiun, Tanjung Anom. Semua fasilitas diberikan, mulai seragam hingga beasiswa sekolah.

Dari sanalah bakatnya terendus Persipon Pontianak. Surat panggilan untuk seleksi meluncur. ”Tapi, saya tidak bisa datang. Lupa karena apa. Mungkin ya diajak bon-bonan itu,” katanya.

Baca Juga :  Prokes Diperketat Lagi, Kembali Belajar Online bila Tejadi Kasus Covid-19

Ternyata Persipon masih tertarik. Surat panggilan kedua itu akhirnya meluncur. Kukuh pun antusias menyambut.

Dia berlatih keras karena yakin bisa menembus skuad Persipon. Tapi, lagi-lagi tawaran tanding futsal bon-bonan datang. Kali ini, nilai kontrak per pertandingan besar. ”Jutaan saat itu. Ya saya mau,” ujarnya.

Tapi, malang tak dapat ditolak. Saat bertanding futsal, dia mengalami cedera hamstring kaki kiri. Parah. Bukan hanya panggilan Persipon yang kembali tak dia datangi. Sepak bola perlahan dia hapus sebagai pilihan hidup.

***

Batal menjadi pesepak bola, sang ibu meminta Kukuh kuliah jurusan olahraga di Universitas Negeri Yogyakarta. Selain karena tahu sang anak berbakat sepak bola, mungkin juga dimaksudkan sebagai obat kecewa.

Tapi, Kukuh bersikukuh. Sepak bola bukan impiannya lagi. ”Saya bilang ke ibu sudah mpun mboten saget, sikil kulo sakit (sudah tidak bisa, kaki saya sakit,” paparnya.

Dia pun memilih masuk Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta. Jurusan teater. Alasannya sederhana. ”Karena saya pikir gampang kuliahnya. Gak pake mikir abot-abot (berat-berat). Tapi faktanya, saya baru lulus setelah tujuh tahun kuliah,” katanya, lantas kembali tergelak.

Untuk sekadar melepas kangen, dia masih main bola bersama kawan-kawan sejurusan. Lumayan, tim jurusan teater yang selama ini menjadi bulan-bulanan tim-tim jurusan lain di ISI, dengan adanya Kukuh, jadi lebih diperhitungkan.

Sekali lagi, sepak bola hanya menjadi selingan. Begitu pula ketika sekitar 2020 tinggal di Jakarta setelah bermain di serial Para Pencari Tuhan. Walau indekos bareng wartawan-wartawan sepak bola nasional, dia sama sekali tidak mau membahas sepak bola Indonesia.

Ketika pandemi Covid-19 mendera dan hidupnya kian tidak jelas, apakah terus menjadi pemain sinetron atau pulang ke Jogjakarta meneruskan teater, waktu Kukuh pun banyak dihabiskan untuk menulis lagu. Salah satunya Mendung Tanpo Udan.

Lagu itu membuatnya terkenal seantero Indonesia. Menjadi salah satu lagu yang sempat paling sering diputar selama pandemi dua tahun terakhir.

Kini, walau keinginan menjadi pemain bola telah lama dikubur dalam-dalam, Kukuh ternyata sudah menyiapkan satu karya yang masih berhubungan dengan olahraga yang dicintainya itu. ”Tema patah hati, tapi metaforanya sepak bola. Tinggal direkam, mungkin akan jadi single,” terangnya.

Cedera sekian tahun silam memang membuat Indonesia kehilangan kesempatan menyaksikan salah satu bakat. Tapi, cedera itu pula yang menganugerahkan seorang musikus potensial yang menyatukan negeri ini dalam satu dendang.

Mendung tanpo udan

Ketemu lan kelangan

Kabeh kuwi sing diarani perjalanan (*/c19/ttg/JPG)

Cedera yang Gagalkan Kukuh Prasetya, Pencipta Mendung Tanpo Udan, Jadi Pemain Liga 3 Nasional

Karena bakat yang diasah di SSB dan klub, Kukuh Prasetya laris dibon tim-tim di Karesidenan Madiun semasa SMA. Cedera mengubah impiannya, tapi kini sudah menyiapkan satu lagu bertema patah hati dengan metafora sepak bola.

FARID S. MAULANA, Surabaya

CEDERA hamstring membelokkan keinginan Kukuh Prasetya. Dia meninggalkan sepak bola, bahkan tak mau mengambil jurusan olahraga saat kuliah, dan memilih kuliah teater.

One thing leads to another. Satu hal mengarah ke hal lain. Pilihan berkuliah teater itu pada akhirnya membawanya ke seni peran di televisi. Dan, suatu hari di sebuah tempat kos di Jakarta, saat masih bingung apakah bertahan di ibu kota atau balik ke Jogjakarta, seorang kawan memintanya mengangkat jemuran. Mendung memang sudah menggelayut siang itu.

Jemuran diangkat, eh lha kok hujan tidak jadi datang. Mendung Tanpo Udan, dari sanalah lagu karya Kukuh yang kemudian melambungkan namanya ke lapis demi lapis kemasyhuran itu berasal.

Mesin waktu memang belum ditemukan. Tapi, bagaimana seandainya di hari ketika dikontrak jutaan rupiah untuk main futsal sekian tahun lalu itu Kukuh tidak cedera? Lalu bisa memenuhi undangan Persipon Pontianak bermain di Liga 3. Dan, dengan bakatnya sebagai gelandang yang telah kondang di seantero Madiun Raya, Jawa Timur, siapa tahu kariernya lantas melaju dan membawanya ke puncak ketenaran serupa.

Siapa tahu…

***     

Surat panggilan kedua dari Persipon diterimanya beberapa bulan sebelum lulus SMA pada 2011. Surat yang memang sangat dinantinya setelah pemanggilan setahun sebelumnya batal dipenuhi karena aktivitas sekolah di SMAN 5 Madiun. Surat yang membuat mimpinya menjadi pesepak bola profesional kembali merekah.

Kukuh yang saat itu berusia 18 tahun pun mempersiapkan diri dengan baik. Dia mulai membenahi fisiknya. ”Mulai main sepak bola lapangan besar lagi. Karena memang banyak di futsal ketika di SMA,” papar alumnus SMAN 5 Madiun yang kini bernama panggung Kukuh Prasetya Kudamai itu. Kukuh berlatih serius. Pelajaran sekolah yang selama ini tidak pernah masuk ke otaknya kian ditinggalkan. Di pikirannya, ”toh akhirnya saya menjadi pemain bola”.

Karier yang memang sudah diidam-idamkannya sejak kelas III sekolah dasar. Persisnya setelah menonton kehebatan Kurniawan Dwi Yulianto yang sedang naik daun dan meraih gelar Liga Indonesia bersama Persebaya. Kurniawan yang dididik di PSSI Primavera juga lama malang melintang di tim nasional.

Tapi, jalannya menuju mimpi itu tak ubahnya mendaki bukit terjal. Keterbatasan ekonomi membuat orang tuanya tak mampu membelikan sepatu dan jersey.

Baca Juga :  Ada yang Bahas Sampah Hingga Narkoba dan Lampu Sein Motor

Kukuh pun harus menabung dari uang saku yang tak seberapa sampai akhirnya sepatu dan jersey terbeli. Masuklah dia ke sekolah sepak bola (SSB) milik PSM Madiun, salah satu klub pendiri PSSI.

”Tapi, persaingan ternyata sangat ketat. Akhirnya, saya mundur dan ikut SSB di kampung,” kata Kukuh yang sedari awal memilih posisi gelandang, baik bertahan maupun pengatur permainan.

Yang juga membuatnya sulit bersaing adalah fisik. Postur pria kelahiran 20 Juni 1992 itu kecil. ”Untung ae sing liyane gede… Semangat maksute (Untung saja yang lain besar… Semangat maksudnya) hahaha,” katanya.

Sambil berlatih serius di kampung, Kukuh juga getol ikut ekstrakurikuler renang. Dengan harapan tubuhnya bisa tinggi. ”Tapi, dari renang itu justru saya dapat banyak piagam,” paparnya.

Piagam itulah yang kemudian membawanya masuk ke SMP favorit di kotanya: SMP Negeri 2 Madiun. Di sekolah tersebut, keseriusan Kukuh terhadap sepak bola menjadi-jadi. Dia pun masuk PS Inka, salah satu klub lokal terkenal di Madiun. Bakatnya semakin terasah.

”Tapi, masuk akhir-akhir kelas VIII SMP, saya berhenti. Gara-gara nge-band, punk-punkan, Rek,” terangnya.

Maklum, zaman itu, kata Kukuh, pemain bola masih dipandang sebelah mata oleh anak-anak muda. Terutama kaum hawa. Anak band lebih diidolakan. Jalur punk juga dipilih karena Superman is Dead, band punk asal Bali, sedang naik daun. ”Aku ngedrum karo vokal lho. Cah (anak) SMP favorit yang punya band punk ya mek (cuma) sekolahku di Madiun,” kenangnya bangga.

Lulus SMP, Kukuh kembali masuk ke SMA favorit di Madiun: SMA Negeri 5 Madiun. Masuk ke situ bukan karena prestasi band-band-an. Tapi lebih karena kemampuan olah bolanya.

Karena sadar nge-band tak lagi menjanjikan, Kukuh kembali fokus main bola. Dia masuk ke klub futsal SMA. Dasar berbakat dan pernah mengenyam latihan di SSB dan klub, dia membuat tim futsal SMAN 5 Madiun ditakuti.

Buntutnya, Kukuh sering dibon (diajak main tim lain) berbagai tim di Karesidenan Madiun.

”Tiap minggu dibon tiga pertandingan. Satu pertandingan bisa dapat Rp 100–200 ribu,” bebernya, lantas tertawa, ketika ditemui Jawa Pos pekan lalu di sela jadwal manggungnya di Surabaya.

Naik ke kelas XI SMA, Kukuh kembali ke PS Inka. Namanya yang sudah luas dikenal menarik perhatian klub lokal di Madiun, Tanjung Anom. Semua fasilitas diberikan, mulai seragam hingga beasiswa sekolah.

Dari sanalah bakatnya terendus Persipon Pontianak. Surat panggilan untuk seleksi meluncur. ”Tapi, saya tidak bisa datang. Lupa karena apa. Mungkin ya diajak bon-bonan itu,” katanya.

Baca Juga :  Terbiar Kosong Jadi Tempat Miras, Minta Pemprov Bantu Untuk Perbaiki Kerusakan 

Ternyata Persipon masih tertarik. Surat panggilan kedua itu akhirnya meluncur. Kukuh pun antusias menyambut.

Dia berlatih keras karena yakin bisa menembus skuad Persipon. Tapi, lagi-lagi tawaran tanding futsal bon-bonan datang. Kali ini, nilai kontrak per pertandingan besar. ”Jutaan saat itu. Ya saya mau,” ujarnya.

Tapi, malang tak dapat ditolak. Saat bertanding futsal, dia mengalami cedera hamstring kaki kiri. Parah. Bukan hanya panggilan Persipon yang kembali tak dia datangi. Sepak bola perlahan dia hapus sebagai pilihan hidup.

***

Batal menjadi pesepak bola, sang ibu meminta Kukuh kuliah jurusan olahraga di Universitas Negeri Yogyakarta. Selain karena tahu sang anak berbakat sepak bola, mungkin juga dimaksudkan sebagai obat kecewa.

Tapi, Kukuh bersikukuh. Sepak bola bukan impiannya lagi. ”Saya bilang ke ibu sudah mpun mboten saget, sikil kulo sakit (sudah tidak bisa, kaki saya sakit,” paparnya.

Dia pun memilih masuk Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta. Jurusan teater. Alasannya sederhana. ”Karena saya pikir gampang kuliahnya. Gak pake mikir abot-abot (berat-berat). Tapi faktanya, saya baru lulus setelah tujuh tahun kuliah,” katanya, lantas kembali tergelak.

Untuk sekadar melepas kangen, dia masih main bola bersama kawan-kawan sejurusan. Lumayan, tim jurusan teater yang selama ini menjadi bulan-bulanan tim-tim jurusan lain di ISI, dengan adanya Kukuh, jadi lebih diperhitungkan.

Sekali lagi, sepak bola hanya menjadi selingan. Begitu pula ketika sekitar 2020 tinggal di Jakarta setelah bermain di serial Para Pencari Tuhan. Walau indekos bareng wartawan-wartawan sepak bola nasional, dia sama sekali tidak mau membahas sepak bola Indonesia.

Ketika pandemi Covid-19 mendera dan hidupnya kian tidak jelas, apakah terus menjadi pemain sinetron atau pulang ke Jogjakarta meneruskan teater, waktu Kukuh pun banyak dihabiskan untuk menulis lagu. Salah satunya Mendung Tanpo Udan.

Lagu itu membuatnya terkenal seantero Indonesia. Menjadi salah satu lagu yang sempat paling sering diputar selama pandemi dua tahun terakhir.

Kini, walau keinginan menjadi pemain bola telah lama dikubur dalam-dalam, Kukuh ternyata sudah menyiapkan satu karya yang masih berhubungan dengan olahraga yang dicintainya itu. ”Tema patah hati, tapi metaforanya sepak bola. Tinggal direkam, mungkin akan jadi single,” terangnya.

Cedera sekian tahun silam memang membuat Indonesia kehilangan kesempatan menyaksikan salah satu bakat. Tapi, cedera itu pula yang menganugerahkan seorang musikus potensial yang menyatukan negeri ini dalam satu dendang.

Mendung tanpo udan

Ketemu lan kelangan

Kabeh kuwi sing diarani perjalanan (*/c19/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya