Ngobrol Bareng Ketua Parisada Hindu Papua, Komang A Wardana Soal Lokasi Ngaben
Umat Hindu di Jayapura nampaknya sudah bisa bernafas lega. Satu perjuangan yang selama ini digumuli bertahun – tahun akhirnya berbuah. Lokasi Ngaben atau kremasi telah dimiliki. Sangat membantu tentunya
Laporan : Abdel Gamel Naser – Jayapura
Setelah menjalani pergumulan sejak tahun 2013, pengurus dan umat Hindu di Jayapura akhirnya bisa memiliki lokasi Ngaben atau pemakaman (kremasi) sendiri. Ini jelas sangat membantu dimana selama ini jika ada umat Hindu di Jayapura yang meninggal, umumnya jenazah akan dikirim ke Bali untuk dikremasi. Biayanya juga tak sedikit, paling tidak menelan Rp 30 juta.
Bila keluarga duka merupakan orang berada tentu tak masalah, tapi bagaimana jika keluarga yang berduka memiliki status ekonomi menengah ke bawah. Dari pergumulan itulah akhirnya umat Hindu bisa memiliki tempat Ngaben sendiri. Lokasinya berada di Koya Barat tepatnya di Jl Abepura 1. Dengan luas 1500 meter persegi.
Namun untuk Ngaben sendiri hanya menggunakan lokasi 50 meter persegi. Tempat Ngaben ini juga telah diresmikan oleh Pemerintah Kota Jayapura lewat Wali Kota, Benhur Tomi Mano beberapa waktu lalu. “Ini menjadi satu doa kami dimana selama ini umat Hindu di Jayapura jika mengalami musibah atau kecelakaan kemudian meninggal, selalu dikirim ke Bali dan itu besar biayanya,” kata Ketua Parisada Hindu Provinsi Papua, Komang A Wardana melalui ponselnya, Rabu (11/5). Dikatakan semua mahluk hidup akan menghadap sang pencipta, tinggal waktu dan kapan itu yang kita belum tahu sehingga semua perlu dipersiapkan.
Hanya saja dikatakan bahwa lokasi Ngaben di Jayapura masih memiliki keterbatasan dimana pihaknya masih menunggu peralatan dan tenaga professional yang menangani proses kremasi. Biasanya usai kremasi abu hasil kremasi akan dibuang atau ditebar di laut. “Kami senang sudah punya tempat Ngaben sendiri. Ke depan akan kami dilengkapi dengan bangunan dan fasilitas lainnya sebab saat ini dana kami juga terbatas,” bebernya.
Komang menceritakan bahwa untuk saat ini, proses Ngaben jika meninggal di Jayapura memang sarana prasarana belum lengkap, terutama peralatan untuk membakar jenazah termasuk tenaga professional yang melakukan proses kremasi dan upacara.
Namun dijelaskan bahwa tahun ini, pihaknya mencoba menyiapkan anggaran dan berharap di tahun depan sudah ada petugas di lokasi Ngaben. Komang menambahkan bahwa bila sebelumnya jenazah jika dikirim ke Bali bisa mencapai puluhan juta rupiah, sebab tidak mungkin jenasah berangkat sendiri. Biasanya ada anak dan istri, itu minimal Rp 30 juta tapi kalau dilakukan di Jayapura dengan swadaya umat ia merasa tidak akan semahal itu. Untuk saat ini jumlah umat Hindu di Jayapura kata Komang berjumlah sekitar 800 jiwa dan untuk sementara proses pemakaman masih dilakukan dengan penguburan biasa, sebab sarana prasarana belum mencukupi.
Pihaknya berharap ada bantuan dari Kementerian Agama dan Wali Kota. Ditanya soal mengapa mengambil lokasi di Koya, kata Komang semua telah melalui proses. Lokasi tempat suci Ngaben ini tidak dipilih sembarangan. Sebab harus melalui ritual dari sosok pendeta. Perlu menentukan titik yang sesuai kemudian dilakukan proses mensterilkan lokasi. Mimpi untuk memiliki lokasi Ngaben muncul sejak tahun 2013, karena jumlah warga Hindu sedikit sehingga membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk pekerjaan pembangunan. Lokasi bahkan sempat berpindah – pindah.
“Semua menggunakan petunjuk pendeta dan tidak sembarang memilih tempat. Koya dianggap tepat karena laut juga dekat dan lokasi secara umum tanpa disengaja dekat dengan lokasi kuburan Kristen maupun kuburan muslim,” sambung Komang.
Lokasi Ngaben mulai dibangun sejak 2019, itupun hanya puranya dan dari proses itu pihaknya meminta pandita Hindu guna mengembalikan semua ke unsur alamnya dulu. “Tempat itu diniati menjadi kuburan dan dilakukan ritual untuk mengembalikan unsur – unsurnya,” sambungnya.
Diceritakan bahwa proses lokasi Ngaben ini meski niatnya mulia ternyata jalannya juga berliku, bahkan lahan yang akan dibangun sempat disengketakan dan semua mengikuti prosesnya. “Kami kemudian menyampaikan ke wali kota bahwa setiap umat berhak untuk hidup dan tempat ibadah lalu kami sampaikan bahwa kuburan juga tempat suci, maka kami minta petunjuk dan disetujui untuk selanjutnya mencari lokasi,” beber Komang.
Jika semua berjalan normal maka proses kremasi akan segera dilakukan. “Pembakaran jenazah atau diabukan dan itu namanya Ngaben yang bersal dari kata abu dimana sumber kehidupan manusia berasal dari tanah liat dan kembali ke tanah liat, yang air kembali ke air dan udara kembali ke udara dan dengan dibakar ini akan lebih tepat untuk kembali ke unsur penciptanya,” tambahnya.
Proses penciptaan manusia dikatakan diambil dari sejumlah unsur dan inilah yang harus dikembalikan. “Dibakar karena medis jika orang yang meninggal ini memiliki penyakit menular maka bisa memutus mata rantainya. Jadi aspek ini juga kami perhatikan dan ini untuk mempercepat proses kembalinya unsur – unsur manusia. Setelah menjadi abu kami akan kumpulkan dan diritualkan lagi kemudian dihanyutkan ke laut dan tidak dibawa pulang. Ke laut karena itu menjadi tempat suci dan laut itu sumber kesucian,” tutup Komang. “Mati itu pasti dan lahir itu akan mati, namun tidak diketahui kapan maka perlu disiapkan tempatnya, yang jelas kami sangat terbantu dengan adanya tempat kremasi ini,” imbuhnya. (*/tri)