Friday, April 18, 2025
24.7 C
Jayapura

Tokok Sagu Warisan Budaya, Jati Diri Orang Papua Yang Hampir Dilupakan 

Hanya saja, tanpa disadari kebersamaan, tradisi dan budaya seakan-akan tidak bernilai lagi, karena generasi penerus pasti sudah jarang yang tahu dan dapat meneruskan budaya tokok sagu.

Dengan tokok sagu, banyak pesan yang dapat disampaikan oleh orang tua kepada anak, ada tradisi yang diajarkan, ada bahasa daerah yang dinyanyikan, sementara dengan peralihan kepada pengguna mesin, tidak lagi membutuhkan waktu yang panjang, tidak lagi melibatkan banyak orang.

Bahkan kebersamaan yang dulunya terjalin, kini hampir putus karena setiap keluarga, setiap rumah tangga bisa mengerjakan pekerjaannya sendiri, tanpa harus melibatkan keluarga atau masyarakat disekitarnya.

“Hal-hal seperti ini yang mulai hilang, karena orang lebih cenderung memikirkan bagaimana mendapatkan uang dengan cepat, bagaimana dapat memenuhi permintaan pasar, ketimbang meneruskan jadi diri orang Papua kepada anak cucu,” kata Billy lagi.

Baca Juga :  Tak Ada Listrik, Koleksi Kurang Terawat hingga Pengalaman Mistis dari Pegawai

Bukan hanya itu saja, menurutnya budaya tokok sagu mungkin masih diingat untuk angkatan kelahiran 70-80an, sementara kelahiran berikutnya mungkin hanya tau ceritanya saja.

“Apa lagi generasi milenial pasti hanya tertarik dengan cara-cara tokok sagu demi sebuah konten, tetapi makna dari tokok sagu tradisional sendiri tidak banyak yang mengetahuinya,” jelasnya.

Menurutnya, untuk memperkenalkan dan mengingatkan kembali budaya tokok sagu, hanya bisa dipertunjukkan dalam sebuah event budaya, atau menjual paket-paket wisata yang ditawarkan.

Sedangkan untuk dilakukan seperti dulu, rasanya mustahil, karena hampir tidak semua orang memiliki alat-alat tradisional untuk tokok sagu.

“Kita saja di Kampung Yoboi, untuk mencari alat-alat tradisional, sudah sulit karena lebih banyak alat modern, jadi ketika ada tamu yang pesan untuk paket wisata tokok sagu tradisional, mereka harus pesan dari jauh-jauh hari, agar kami mempersiapkannya terlebih dahulu,” terangnya.

Baca Juga :  20 Kampung Bakal Ditetapkan Jadi Kampung Adat di Biak

Menurutnya, untuk di Kampung Yoboi sendiri, kebiasaan tokok sagu tradisional sudah sulit dan jarang dilakukan, karena masyarakat lebih memikirkan efisiensi waktu, tenaga dan pastinya lebih cepat dijual.

Ada kemungkinan besar di Daerah Sentani juga demikian, untuk itu dirinya juga mengharapkan agar kedepannya tradisi budaya, jadi diri orang Papua harus terus dilakukan dan diwariskan kepada generasi muda.

“Kita harus hidup saling berdampingan dengan budaya kita, jangan sampai warisan budaya kita, justru dilupakan dengan perkembangan zaman saat ini, meski adanya perubahan, tetapi apa yang menjadi budaya kita harus terus diceritakan dan diwariskan, baik itu melalui pesta budaya, festival atau momen-momen tertentu lainnya,” pungkasnya. (ana)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Hanya saja, tanpa disadari kebersamaan, tradisi dan budaya seakan-akan tidak bernilai lagi, karena generasi penerus pasti sudah jarang yang tahu dan dapat meneruskan budaya tokok sagu.

Dengan tokok sagu, banyak pesan yang dapat disampaikan oleh orang tua kepada anak, ada tradisi yang diajarkan, ada bahasa daerah yang dinyanyikan, sementara dengan peralihan kepada pengguna mesin, tidak lagi membutuhkan waktu yang panjang, tidak lagi melibatkan banyak orang.

Bahkan kebersamaan yang dulunya terjalin, kini hampir putus karena setiap keluarga, setiap rumah tangga bisa mengerjakan pekerjaannya sendiri, tanpa harus melibatkan keluarga atau masyarakat disekitarnya.

“Hal-hal seperti ini yang mulai hilang, karena orang lebih cenderung memikirkan bagaimana mendapatkan uang dengan cepat, bagaimana dapat memenuhi permintaan pasar, ketimbang meneruskan jadi diri orang Papua kepada anak cucu,” kata Billy lagi.

Baca Juga :  Pola Penerapan MBG Perlu Dibedakan

Bukan hanya itu saja, menurutnya budaya tokok sagu mungkin masih diingat untuk angkatan kelahiran 70-80an, sementara kelahiran berikutnya mungkin hanya tau ceritanya saja.

“Apa lagi generasi milenial pasti hanya tertarik dengan cara-cara tokok sagu demi sebuah konten, tetapi makna dari tokok sagu tradisional sendiri tidak banyak yang mengetahuinya,” jelasnya.

Menurutnya, untuk memperkenalkan dan mengingatkan kembali budaya tokok sagu, hanya bisa dipertunjukkan dalam sebuah event budaya, atau menjual paket-paket wisata yang ditawarkan.

Sedangkan untuk dilakukan seperti dulu, rasanya mustahil, karena hampir tidak semua orang memiliki alat-alat tradisional untuk tokok sagu.

“Kita saja di Kampung Yoboi, untuk mencari alat-alat tradisional, sudah sulit karena lebih banyak alat modern, jadi ketika ada tamu yang pesan untuk paket wisata tokok sagu tradisional, mereka harus pesan dari jauh-jauh hari, agar kami mempersiapkannya terlebih dahulu,” terangnya.

Baca Juga :  Pengamatan Terbaik di Papua, Gerhana Bulan Total Identik Terjadi 18 Tahun Lagi

Menurutnya, untuk di Kampung Yoboi sendiri, kebiasaan tokok sagu tradisional sudah sulit dan jarang dilakukan, karena masyarakat lebih memikirkan efisiensi waktu, tenaga dan pastinya lebih cepat dijual.

Ada kemungkinan besar di Daerah Sentani juga demikian, untuk itu dirinya juga mengharapkan agar kedepannya tradisi budaya, jadi diri orang Papua harus terus dilakukan dan diwariskan kepada generasi muda.

“Kita harus hidup saling berdampingan dengan budaya kita, jangan sampai warisan budaya kita, justru dilupakan dengan perkembangan zaman saat ini, meski adanya perubahan, tetapi apa yang menjadi budaya kita harus terus diceritakan dan diwariskan, baik itu melalui pesta budaya, festival atau momen-momen tertentu lainnya,” pungkasnya. (ana)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Berita Terbaru

Artikel Lainnya

/