Hal tersebut bisa dijadikan ruang tetap antara pemerintah, adat, dan pemangku kepentingan lainnya. Sebab hanya dengan sinergi paling tidak persoalan di tengah masyarakat adat bisa dituntaskan secara adil dan bermartabat, menggunakan hukum adat dan hukum positif secara seimbang, layaknya dua kaki yang menopang satu tubuh.
“Kita juga tidak boleh lupa bahwa masa depan Papua sedang ditentukan oleh kita semua. Tanggal 6 Agustus 2025, agenda PSU akan menentukan pemimpin Papua lima tahun mendatang. Suksesnya sangat ditentukan oleh stabilitas daerah dan kejujuran penyelenggara,” singgungnya. Meski Pemilu yang memiliki kaitan langsung dengan adat namun Awi melihat bahwa partisipasi publik sangat penting.
Apalagi Papua masuk dalam gerbong besar menuju tahun 2041, masa evaluasi Otsus, dan tahun 2045 ke gerbang Indonesia Emas. “Pertanyaannya apakah Papua akan menjadi rumah besar yang adil, sejahtera, dan beradab, atau hanya menjadi penonton pembangunan? Saya pikir jawabannya ada pada kolaborasi antara yang vertikal dan yang otonom, antara yang punya anggaran dan yang punya kearifan, antara negara dan adat,” tambahnya.
Awi disini memang banyak bercerita karena ia menginginkan peran adat bisa betul-betul dilebur dan dimaksimalkan untuk keikutsertaan dalam pembangunan. “Izinkan saya menyinggung satu hal penting yaitu terkait populasi Orang Asli Papua. Penduduk Asli Papua adalah salah satu komunitas dengan jumlah terkecil di antara 38 provinsi di Indonesia, termasuk jika dibandingkan dengan jumlah populasi Penduduk asli di Papua New Guinea,” paparnya.
Ini dikatakan bukan hanya soal statistik melainkan masa depan. “Maka kita harus mulai berpikir dan bertindak strategis tentang regenerasi, pendidikan, kesehatan, ekonomi, infrastruktur (konektivitas antar wilayah) dan pelestarian budaya yang menjamin eksistensi Penduduk Asli Papua di tanah ini,” tambahnya.